Selasa, 22 Mei 2012

Produk penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah dalam teori dan praktek



Ada banyak produk penghimpunan dan penyaluran dana yang secara teknis-finansial dapat dikembangkan sebuah lembaga keuangan islam. Hal ini dimungkinkan karena sistem syariah memberi ruang yang cukup untuk itu. Namun dalam praktek, sebagian besar lembaga keuangan syariah masih membatasi diri dengan hanya menerapkan beberapa produk saja yang dianggap aman dan Profitable. Dalam memobilisasi dana misalnya, pihak lembaga  lebih menyukai produk bagi hasil “Mudharabah” dengan pertimbangan tidak terlalu berisiko karena kapasitasnya sebagai Mudharib, serta relatif mudah dalam penerapannya. Tetapi sayangnya, bila harus menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemberian fasilitas pembiayaan kepada nasabah, pihak lembaga keuangan syariah lebih mengedepankan produk Murabahah dengan alasan, produk tersebut dapat lebih memberi jaminan perolehan keuntungan dengan jumlah memadai berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada saat perjanjian ditandatangani. Hanya saja dalam praktik, keadaan ini sering sekali berjalan dengan mengingkari prinsip-prinsip murabahah, seperti objek barang yang tidak jelas keberadaannya maupun ukuran-ukurannya.
Sebenarnya, separti yang dijelaskan diatas, terdapat banaya kproduk yang secara teknis-finansial dapat dikembangakan oleh lembaga keuangan syariah untuk menjalankan usahanya, seperti penghimpunan dana Wadi’ah, penghimpuanan dan penyaluran dana  Mudharabah, Musyarakah, serta Murabahah. Adapu pokok-pokok lain separti, Bai’ Salam, Ijarah, Ijarah Wa itqina, hiwalah, Sarf, qard dan seterusnya, lembaga keungan yang disebutkan berbasis islam tersebut belum terbiasa menerapkannya.
Oleh karena itu, paparan mengenai produk-produk lembaga keuangan syariah dan prakteknya lebih terfokuskan pada empat hal saja, yaitu :
a.                   Penghimpuanan Dana Wadi’ah Yad Dhamanah
Dalam kegiatan penghimpuanan dana dari masyarakat, lembaga keuangan syariah dapat menawarkan produk jasa wadi’ah, yang dari segi kebahasaan berarti titipan. Aqad wadiah tergolong dari bagian aqad tabarru’, yakni akad yang mengandung kebajikan karena mengandung unsur tol9ong menolong antar sesama manusia dalam lingkungan sosialnya.
Prinsip dasar wadiah menyebutkan bahwa seorang penitip barang wajib membayar seluruh biaya yang dikeluarkan oleh yang dititipi, secara otomatis, untuk keperluan memelihara barang titipan tersebut, disamping imbalan jasa dalam jumlah yang sesuai dengan kadar kepatutan atau berdasarkan kesepakatan diawal antara kedua belah pihak ketika perjanjian wadi’ah dibuat.
Demikian juga dalam hal pengarahan dana Wadi’ah, pada perinsipnya pihak lembaga boleh memungut biaya administrasi kepada nasabah, karena ini menjadi haknya, dan nasabah wajib memenuhi sebagai imbalan jasa yang diberikan untuk memelihara keamanan harta (dana) yang diditipkan nasabah kepadanya. Adapun besarnya biaya administrasi, kadarnya ditentukan berdasarkan parameter yang wajar dalam dunia perbankan.
Dalam rangka pengerahan dana ini, atas seijin penitip (nasabah), pihak lembaga dapat mengelolanya untuk tujuan komersial, sehingga bila diperoleh keuntungan pihak lembaga dapat m,emberikan hibbah (bonus) yang besarnya tidak boleh ditetapkan secara pasti dimuka dengan kalkulasi angka-angka rupiah ataupun presentasi atas nilai pokok dana wadiah. Sebaliknya bila kerugian yang didapat, pihak lembagalah yang menaggung kerugian tersebut, sehingga wadiah seperti ini lazim dikenal dalam istilah fiqih dengan sebutan Wadi’ah yad ad-dhamanah, (titipan dengan resiko ganti rugi).
Dalam praktiknya, sebagian pengelola lembaga keuangan syariah menyebut bonus wadi’ah sebagai istilah Bagi Hasil yang besarnya ditentukan dimuka atas dasar perhitungan persentase angka-angka rupiah serta dengan membandingkan besaran bunga tabungan yang diberikan oleh bank konvensional dalam menarik minat caln nasabah. Hal ini dilakukan karena pihak pengelola merasa kesulitan ketika harus menjelaskan dengan semestinya prinsip wadi’ah dalam ajaran syariah, sementara pada saat yang sama pengetahuan ke-syariahan nasabah sendiri masih sangat rendah. Dismping itu ditemukan pula bukti bahwa sebagian besar pengelola lembaga keuangan syariah melakukan hal sama karena kurang percaya diri dan menganggap pola yang ditawarkan lembaga keuangan syariah tidak lebih efektif daripada yang dilakukan bank konvensional.
b.                  Penghimpunan dan Penyaluran Dana Mudharabah
Mudharabah  merupakan wahana utama bagi perbankan syariah untuk memobilisasi dana masyarakat yang terserak dalam jumlah besar dan untuk menyediakan berbagai fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha.
Mudharabah adalah salah satu aqad kerjasama kemitraan yang berdasarkan prinsip berbagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle), yang dilakukan sekurang-kurangnya oleh dua belah pihak, dimana pihak yang pertama memiliki dan menyediakan modal, sedang pihak yang kedua memiliki keahlian dan beratanggung jawab atas pengelolaan dana/ manajemen usaha halal tertentu. Dasar perjanjian Mudharabah adalah kepercayaan murni, sehingga dalam rangka pengelolaan dana oleh pihak ke-2, pihak pemilik modal tidak diperkenankan mengintervensi dalam bentuk apapun selain hak melakukan pengawasan untuk menghindari pemanfaatan dana diluar rencana yang disepakati, serta bagaimana antisipasi bagaimana terjadinya kecerobohan dan atau kecurangan yang dapat dilakukan pengelola.
Pada dasarnya manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari. Manusia hanya mampu berusaha, namun tuhanlah jua yang berhak menentukan hasilnya. Atas dasar itulah penentuan keuntungan dimuka (keuntungan Pasti)dalam bentuk dan cara bagaimana pun, sebelum usaha nasabah dijalankan, merupakan bagian dari mendahului kehendak tuhan, dan ini bertentangan dengan ajaran agama. Namun sedemikian fakta dilapangan menunjukan bahwa sebagian pngelola perbankan syariah menggunakan cara konvensional dalam memasarkan produknya. Merekan menghimpun dana tabungan dan deposito Mudharabah dengan menjanjikan pemberian keuntungan tetap setiap bulan pada nasabah, baik diminta ataupun tidak, selama jangka waktu tertentu, misalnya tiga, enam, ataupun dua belas bulan dan sebagainya.
Fakta lain juga menunjukan, rata-rata pengelola perbankan syariah merasa kesulitan dalam menawarkan prodduk penghimpunan dan mudharabah kepada masyarakat. Mereka hampir selalu gagal memeberikan jawaban yang memuaskan ketika calon nasabah menanyakan “Berapa besar bagi hasil (keuntungan tetap) yang saya terima setiap bulan jika saya menyimpan dana saya sekian di bank ini ?”.
Persoalannya adalah, ketika jawaban pertanyaan tersebut diberikan sesuai prinsip syariah, calon nasabah cenderung meragukan dan menganggap Mudharabah berpotensi mengancam keselamatan dananya, atau paling tidak ia diyakini tidak memeberi jaminan perolehan keuntungan atas dana yang dipercayakan untuk dikelola secara syariah tersebut. realita demikian membverikan doronngan pada pihak pengelola yang kuarang kreatif dan tidak hati-hati dalam mengikuti petunjuk agama, untuk nekat menghalalkan segala cara untuk menjual jasa-jasanya kemasyarakat samapai akhirnyya praktek-praktek tersebut dibiarkan terus berlanjut sehingga menjadi tradisi yang sulit dihilangkan. Dan pada akhirnya dengan adanya tradisi seperti itu menimbulkan opinopini dalam masyakat perbankan syariah yang belum tentu islami.
Adapun dalam hal penyaluran dana Mudharabah, pihak perbankan bertindak sebagai pemilik dana dan nasabah sebagai pengelola. Pihak perbankan memberikan kepercayaan penuh kepada nasabah untuk memanfaatkan fasilitas pembiayaan berbagi hasil ini sebagai modal mengelola usaha halal tertentu dan Feasible. Karena landasan dasar mudharabah ialah murni kepercayaan dari pemilik modal, maka pihak perbankan dituntut ekstra hati-hati dan slektif terhadap pembiayaan yang diajukan nasabah, lebih dari yang sewajarnya dilakukan. Hal ini penting dikemukakan, karena sedikit saja kesalahan dilakukan, akibatnya fatal bagi pihak bank mengingat produk mudharabah selalu terkait dengan prinsip berbagi untung dan rugi.
Kendati demikian, guna meminimalkan risiko kerugian yang ditimbulkan, pihak perbankan dapat memberikan batasan-batasan teretentu mengenai jenis usaha, alokasi dana, waktu dan tempat dimulainya usaha dan sebagainya, sepanjang tidak menyalahi prinsip dasar perjanjian Mudharaba itu sendiri.
Hal lain yang peru diperhatikan adalah bahwa pihak perbankan tidak boleh meminta jaminan kepada nasabah dalam bentuk apapun. Karena hal demikian dianggap mengingkari kepercayaan yang menjadi esensi mudharabah, dan karena pembiayaan ini bokanlah dalam konteks piutang bagi pihak bank. Oleh karena itu statemen pengakuan hutang oleh nasabah dalam diktum perjanjian mudharabah tidak boleh ada, dan pabila ada maka perjanjian tersebut batal demi hukum, karena yang demikian itu mengandung pengertian adanya pembebanan resiko kerugian pada satu pihak saja, yaitu nasabah.
Suatu kesalahan yang terjadi dalam praktik pelaksanaan pembiayaan mudhrabah yang sering terjadi ialah dalm bentuk tidak terpenuhinya syarat dan rukun mudharabah. Fakta dilapangan menjelaskan pada kita, beberapa lembaga menerapkan ketentuan, nasabah penerima fasilitas pembiayaan diwajibkan mengembalikan pokok berikut bagi hasinya secara berangsur setiap bulan. Ironisnya,kendati dalam aqad disebut porsi bagi hasil yang dapat diperoleh kedua pihak bila usaha mendapat untung, namun dalam praktik pihak perbankan meminta keuntungan itu dalam hitungan angka-angka rupiah yang bersifat tetap.
c.                   Penyaluran dana Murabahah
Murabahah adalah salah satu produk penyaluran dan yang cukup digemari perbankan syariah karena karakternya yang profitable, mudah dalam penerapan. Serta risk-faktor yang ringan untuk diperhitungkan. Dalam penerapannya, Pihak bank berlaku sebagai pembeli dan sekaligus penjual barang halal yang dibutuhkan nasabah.
Namun dalam praktek tidak semuanya benar sesuai prinsip syariah. Ada beberapa diantaranya yang dalam peenerapan tidak memenuhi ketentuan yang mutlak adanya menurut syariah. Seperti objek barang yang berstatus tidak jelas atau bahkan tidak ada sama sekali. Fakta dilapangan sering menunjukan hal demikian.
d.                  Penyaluran Dana Musyarakah
Pada prinsipnya produk ini tidak banyak berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan bagian dari kemitraan antara dua pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha halal tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (Nisbah) yang disepakati bersama diawal perjanjian. Kedunaya berbeda mengenai beberapa hal yaitu :
Dalam mudharabah, pemilik modal menyediakan seluruh modal/dana yang dibutuhkan pihak pengelola untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu yang halal atas dasar kepercayaan murni. Dan pihak pengelola dengan keahliannya bertanggung jawab atas pengelolaan dana untuk keperluan membiayai usaha halal tertentu. Dan pihak pemilik modal tidak diperkenankan mengintervensi dalam hal pengelolaan dana tersebut dalam bentuk apapun, selain sekedar mengawasi guna mengantisipasi resiko kerugian. Sedang dalam musyarakah kedua pihak ikut andil dalam penyertaan modal, dan masing-masing dapat pula terjun langsung secara bersama-sama dalam proses manajemen.
Penghimpunan dana musyarakah di pebankan syariah sebenarnya tidak lazim, kecuali dalam bentuk penyertaan modal usaha oleh seseorang pada bank atau oleh suatu bank ke bank lainnya. Dalam praktik pihak ketiga yang menyertakan modalnya biasanya memberikan syarat agar dananya yang disertakan dalam bank tidak merugi, dan bahkan tidak jarang mereka meminta keuntungan pasti dalam jumlah tertentu setiap bulan kepada pihak bank sebelum dana tersebut benar-benar dikelola. Selain itu, dalam praktik juga sering dijumpai pengelola bank yang sengaja menawarkan produk penyertaan modal kepada pihak lain yang diwujudkan dalam bentuk, semacam, saham penyertaan, dan iming-iming bagi hasil tetap perbulan dalam jumlah yang besar, melebihi bunga deposito pada bank konvensional pada umumnya. Di sinilah deviasi muncul karena salah satu pihak tidak bersedia menanggung beban kerugian bila usaha yang dijalankan pihak lain diluar dugaan merugi.
Demikian juga openyaluran dana. Pihak bank kesulitan menerapkan produk muyakah secara konsekuen, kendati sebenarnya risk-factor yang menyertai relatif lebih ringan dibanding produk mudharabah karena nasabah telah menyediakan sebagian modalnya untuk keperluan pengelolaan usaha. Dari fakta dilapangan dapat diketahui, bahwa beberapa bank syariah menerapkan produk musyarakah dengan cara, mula-mula petugas bank menawarkan besarnya bagi hasil tetap perbulan kepada calon nasabah dalam jangka waktu tertentu, selanjutnya pabila tawaran tersebut disepakati, banka akan merealisasikan akad pembiayaan musyarakah kepada nasabah. Fakta lain menjelaskan juga kepada kita, terdapat bank yang aplikasi produk musyarakahnya dilakukan dengan pengajuan syarat agar usaha yang dikelola nasabah tidak merugi. Bila kemudian kenyataan berbicara lain, dalam artian kerugian yang diluar dugaan, pihak bank hanya menuntut pengembalian pokok pembiayaan yang diberikan. Ini sering dikatakan orang bahwa bank syariah mau berbagi hasil namun tidak mau berbagi kerugian.


Þ    Makhalul Ilmi SM. TEORI DAN PRAKTEK LEMBAGA MIKRO KEUANGAN SYARIAH,Beberapa Permasalahan dan Alternatif solusi. Yogyakarta:UII Press, 2002

Jumat, 11 Mei 2012

Prosedur Penyelesaian Sengketa


BAB I
A.    Latar Belakang Masalah
Tanah adalah salah satu kebutuhan manusia yang cukup fital,dari hidup hingga meninggal pun manusia membutuhkan tanah. Namu seiring dengan perkembangan zaman populasi penduduk semakin berkembang & bertambah banyak, sehingga meningkatlah pula kebutuhan manusia terhadap tanah serta penduduk yang ingin mendayagunakan tanah (Ihya Almawat) sebagai tempat tinggal, tempat usaha (perkebunan, pertokoan Dll). Namun, keinginan tersebut tidak bisa diimbangi oleh keadaan tanah yang terbatas. Dengan keadaan yang demikian tanpa adanya peraturan yang tegas tentang hal tersebut, maka tanah sering menjadikan malapetaka bagi manusia, baik yang disebabkan karena Perebutan hak yang menimbulkan perselisihan (Sengketa), ataupun pendaya gunaan yang salah terhadap tanah tersebut. mengenai hal ini, maka akan diuraikan beberapa hal tindakan pemerintah guna terjadinya perselisihan, serta akan sedikit dijelaskan bagaiana prosedur penyelesaian kasus sengketa tersebut.
B.     Pengertian Ihya Almawat & Dasar Hukumnya

Terdapat banyak berbagai pendapat Ulama Mengenai Pengertian Ihyaul Mawat ini, diantaranya menurut Sulaiman Rasyid dalam Fiqh Islam bahwa yang dimaksud Ihyaul Mawat adalah membuka tanah baru.[1]Serta dalam Literartur lain, Menyebutkan bahwa Ihyaul Mawat ialah orang muslim pergi ketanah yang tidak dimiliki siapapun, kemudian memakmurkannya dengan memakmurkannya dengan menenam pohon didalamnya, atau membangun rumah diatasnya, atau menggali sumur untuk dirinya dan menjadi milik pribadinya.[2]
Dalam Islam sebenarnya hukum Ihyaul Mawat ini dibolehkan dalam Islam, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
مَنْ أحْيَا أرْضًا ميتًا فهي له
Barang siapa menghidupkan lahan yang mati, maka lahan tersebut menjadi miliknya”.(H.R Ahmad & Turmudzi yang menshahihkannya).
Dalam hal IDalam hal Ihyaul mawat terdapa 4 hukum yang bersangkutan, diantaranya sebagai berikut:
1.      Kepemilikannya itu tidak sah kecuali dengan dua syarat, yaitu :
a.      Ia memang betul-betul memakmurkan lahan tersebut,
b.      Lahan yang dihidupkannya tersebut tidak dimiliki oleh oleh siapapun.
2.      Jika lahan dekan dengan ssuatu daerah, maka seseorang tidak boleh memakmurkannya kecuali dengan ijin Penguasa atau pemimpin daerah setempat.[3] Mayoritas ulama berpendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapatkan izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan (akta agrarian). Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun, apabila jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjai milik orang yang pertama membukanya.[4]
3.      Barang tambang dilahan yang mati tidak boleh dimiliki oleh orang yang memakmurkannya, karena menyangkut dengan kemaslahatan umum kaum Muslimin,
4.      Jika dilahan mati yang dihidupkannya tersebut muncul air yang mengalir, maka ia lebih berhak untuk mengambil sesuai dengan kebutuhannya sebelum orang lain.[5]







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Penyebab Terjadinya Sengekta
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.[6]
Sedang penyebab yang sering terjadi pada masyarakat pedesaan adalah tidak adanya tanda bukti yang jelas tentang kepemilikan tanah, batas-batasan tanah tersebut. biasanya tanda bukti pembayran pajak atas tanah (girik/Petok D), Dianggap oleh masyarakat sebagai bukti hak milik.[7] dengan tidak adanya bukti hak yang jelas akan kepemilikannya, sehingga dapat menimbulkan perselisihan-perselisihan tentang batas patok luas tanah, maupun hak milik atas tanah tersebut.

B.     Tindakan  Pemerintah Guna Mencegah Terjadinya Sengketa
Tentang hak-hak yang diberikan Pemerintah kepada Warga Negara Indonesia (penduduk). Dalam UUPA telah ditentukan pula, yaitu : Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha (Perkebunan, Pertanian, Tambak-tambak perikanan dengan Area yang luas), Hak Pakai, Hak Penguasa atau pengelolaan dan sebagaiya. Hak-hak mana agar dapat dipertahankan dengan baik, artinya agar pada waktu pendayagunaannya tidak ada yang mengganggu gugat. Menurut UUPA sendiri harus didaftarkan pada kantor Agraria setempat ditingkat Kabupaten/Kotamadya (PP 10/1961). Pendaftaran meliputi :
1.      Pengukuran, Pemetaan & Pembukuan Tanah,
2.      Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah & Peralihan atas Hak Tersebut,
3.      Pemberian Surat Tanda Bukti Hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (Sertifikat).[8]

C.    Solusi Penyelesaian Sengketa
Permasalahan sengketa tanah ini sangatlah penting dan harus cepat diselesaikan. Karena permasalahan ini dapat menimbulkan permusuhan-permusuhan baik diantara individu maupun kelompok (suku/ras). Dan cara Penyelesaian masalah sengketa ini sebenarnya ada 3 cara yaitu :
1.      Melalui sebuah musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa, musyawarah tersebut bisa dimediatori oleh para pemuka agama, tokoh masyarakat atu pun pihak pemerintah (BPN (Badan Pertanahan Nasional)), cara ini bisa juga disebut dengan Mediasi,
2.      Melalui Arbitrase, yaitu Tahkim yang secara harfiah berari menjadikan seorang sebagai penengah bagi suatu sengketa.[9]cara ini sebenarnya sama saja dengan dengan cara mediasi, yaitu meminta seseorang untuk menjadi mediator guna penyelesaian masalah sengketa yang dihadapi.
3.      Cara yang ialah jalan terakhir setelah cara-cara yang diatas tidak memberikan hasil yang bagus. Namun dalam pengadilan pun sebelum disidangkan wajib pula melakukan upaya Mediasi, Ini adalah hal yang paling utama harus dilaksanakan oleh hakim, sesuai dengan pasal 154 (1) RNG. Pasal 130 HIR. Pasal 66 UU No 3 Tahun 2006. Tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama yang sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujurat ayat 9-10[10]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari sedikit penjabaran diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Ihyaul Mawat ialah ialah orang muslim pergi ketanah yang tidak dimiliki siapapun, kemudian memakmurkannya dengan memakmurkannya dengan menenam pohon didalamnya, atau membangun rumah diatasnya, atau menggali sumur untuk dirinya dan menjadi milik pribadinya. Dari permasalahan-permasalahan yang menyangkut hal Ihyaul Mawat ini ialah suatu perkara sengketa tanah yang mana permaslahan tersebut sangatlah harus segera diselesaikan, karena permasalahan ini apabila didiamkan akan berakibat fatal, yaitu terjadinya permusuhan antar individu, ras, suku bahkan antara sesama saudara. Adapun cara penyelasaiannya dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: Mediasi, Arbitrase dan melalui jalur hukum yaitu pengadilan.
B.     Keritik dan saran
Dalam makalah  yang sederhana ini terdapat banyak sekali kekurangannya, oleh karena itu, saya berharap kepada para pembaca agar memberikan banyak keritik dan saran agar makalah sederhana ini dapat menjadi lebih baik lagi.













DAFTAR PUSTAKA

o   Dasuqi, Ahmad, Lembaga Damai Dalam Prespektif Penyelesaian Perkara  Secara sederhana, Cepat dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama,(Banjarmasin), 2008
o   Kartasapoetra dan Kawan-kawan, HUKUM TANAH Jaminan UUPA Bagi Pendayagunaan Tanah. (Jakarta; PT.Melfon Putra). Cet. II, 1991
o   Khazawi , Adami. Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada). Ed. 1, Cet. 3, 2005
o   Mas’ud, Ibnu, & Abidin, Zainal.  Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, ( CV Pustaka Setia), Cet. II, 2007
o   Jabir, Abu Bakar, Terj. Fadhli Bahri, Minhaajul Muslim / Ensiklopedi Muslim, ( Jakarta: Darul Falah), Cet. 1, 2000
o   Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan Harta, Hak milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), Ed. 1, Cet. 5, 2010


[1] Hendi. Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan Harta, Hak milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), Ed. 1, Cet. 5, 2010, Hal.267
[2] Abu bakar, Jabir. Terj. Fadhli Bahri, Minhaajul Muslim / Ensiklopedi Muslim, ( Jakarta: Darul Falah), Cet. 1, 2000, Hal. 540
[3] Ibid. Abu bakar, Jabir, Hal. 540
[4] Drs. H. Ibnu Mas’ud & Drs. H. Zainal Abidin S., Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, ( CV Pustaka Setia), Cet. II, 2007, Hal.

[5] Op. Cit, Abu bakar, Jabir, Hal. 541
[7] Adami, Khazawi. Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada). Ed. 1, Cet. 3, 2005. Hal. 137
[8] G. Kartasapoetra dan Kawan-kawan, HUKUM TANAH Jaminan UUPA Bagi Pendayagunaan Tanah.(Jakarta; PT.Melfon Putra). Cet. II, 1991, Hal. 133-134
[9] Ahmad, Dasuqi, Lembaga Damai Dalam Prespektif Penyelesaian Perkara  Secara sederhana, Cepat dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama,(Banjarmasin), 2008, Hal. 45
[10] Ibid. Ahmad, Dasuqi, Hal. 36

Laporan Keuangan Koperasi

  apa itu laporan keuangan ??? Laporan keuangan  sangat penting bagi koperasi. Laporan ini merupakan hal yang terkait dengan berjalannya k...