Jumat, 11 Mei 2012

Prosedur Penyelesaian Sengketa


BAB I
A.    Latar Belakang Masalah
Tanah adalah salah satu kebutuhan manusia yang cukup fital,dari hidup hingga meninggal pun manusia membutuhkan tanah. Namu seiring dengan perkembangan zaman populasi penduduk semakin berkembang & bertambah banyak, sehingga meningkatlah pula kebutuhan manusia terhadap tanah serta penduduk yang ingin mendayagunakan tanah (Ihya Almawat) sebagai tempat tinggal, tempat usaha (perkebunan, pertokoan Dll). Namun, keinginan tersebut tidak bisa diimbangi oleh keadaan tanah yang terbatas. Dengan keadaan yang demikian tanpa adanya peraturan yang tegas tentang hal tersebut, maka tanah sering menjadikan malapetaka bagi manusia, baik yang disebabkan karena Perebutan hak yang menimbulkan perselisihan (Sengketa), ataupun pendaya gunaan yang salah terhadap tanah tersebut. mengenai hal ini, maka akan diuraikan beberapa hal tindakan pemerintah guna terjadinya perselisihan, serta akan sedikit dijelaskan bagaiana prosedur penyelesaian kasus sengketa tersebut.
B.     Pengertian Ihya Almawat & Dasar Hukumnya

Terdapat banyak berbagai pendapat Ulama Mengenai Pengertian Ihyaul Mawat ini, diantaranya menurut Sulaiman Rasyid dalam Fiqh Islam bahwa yang dimaksud Ihyaul Mawat adalah membuka tanah baru.[1]Serta dalam Literartur lain, Menyebutkan bahwa Ihyaul Mawat ialah orang muslim pergi ketanah yang tidak dimiliki siapapun, kemudian memakmurkannya dengan memakmurkannya dengan menenam pohon didalamnya, atau membangun rumah diatasnya, atau menggali sumur untuk dirinya dan menjadi milik pribadinya.[2]
Dalam Islam sebenarnya hukum Ihyaul Mawat ini dibolehkan dalam Islam, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
مَنْ أحْيَا أرْضًا ميتًا فهي له
Barang siapa menghidupkan lahan yang mati, maka lahan tersebut menjadi miliknya”.(H.R Ahmad & Turmudzi yang menshahihkannya).
Dalam hal IDalam hal Ihyaul mawat terdapa 4 hukum yang bersangkutan, diantaranya sebagai berikut:
1.      Kepemilikannya itu tidak sah kecuali dengan dua syarat, yaitu :
a.      Ia memang betul-betul memakmurkan lahan tersebut,
b.      Lahan yang dihidupkannya tersebut tidak dimiliki oleh oleh siapapun.
2.      Jika lahan dekan dengan ssuatu daerah, maka seseorang tidak boleh memakmurkannya kecuali dengan ijin Penguasa atau pemimpin daerah setempat.[3] Mayoritas ulama berpendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapatkan izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan (akta agrarian). Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun, apabila jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjai milik orang yang pertama membukanya.[4]
3.      Barang tambang dilahan yang mati tidak boleh dimiliki oleh orang yang memakmurkannya, karena menyangkut dengan kemaslahatan umum kaum Muslimin,
4.      Jika dilahan mati yang dihidupkannya tersebut muncul air yang mengalir, maka ia lebih berhak untuk mengambil sesuai dengan kebutuhannya sebelum orang lain.[5]







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Penyebab Terjadinya Sengekta
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.[6]
Sedang penyebab yang sering terjadi pada masyarakat pedesaan adalah tidak adanya tanda bukti yang jelas tentang kepemilikan tanah, batas-batasan tanah tersebut. biasanya tanda bukti pembayran pajak atas tanah (girik/Petok D), Dianggap oleh masyarakat sebagai bukti hak milik.[7] dengan tidak adanya bukti hak yang jelas akan kepemilikannya, sehingga dapat menimbulkan perselisihan-perselisihan tentang batas patok luas tanah, maupun hak milik atas tanah tersebut.

B.     Tindakan  Pemerintah Guna Mencegah Terjadinya Sengketa
Tentang hak-hak yang diberikan Pemerintah kepada Warga Negara Indonesia (penduduk). Dalam UUPA telah ditentukan pula, yaitu : Hak milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha (Perkebunan, Pertanian, Tambak-tambak perikanan dengan Area yang luas), Hak Pakai, Hak Penguasa atau pengelolaan dan sebagaiya. Hak-hak mana agar dapat dipertahankan dengan baik, artinya agar pada waktu pendayagunaannya tidak ada yang mengganggu gugat. Menurut UUPA sendiri harus didaftarkan pada kantor Agraria setempat ditingkat Kabupaten/Kotamadya (PP 10/1961). Pendaftaran meliputi :
1.      Pengukuran, Pemetaan & Pembukuan Tanah,
2.      Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah & Peralihan atas Hak Tersebut,
3.      Pemberian Surat Tanda Bukti Hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (Sertifikat).[8]

C.    Solusi Penyelesaian Sengketa
Permasalahan sengketa tanah ini sangatlah penting dan harus cepat diselesaikan. Karena permasalahan ini dapat menimbulkan permusuhan-permusuhan baik diantara individu maupun kelompok (suku/ras). Dan cara Penyelesaian masalah sengketa ini sebenarnya ada 3 cara yaitu :
1.      Melalui sebuah musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa, musyawarah tersebut bisa dimediatori oleh para pemuka agama, tokoh masyarakat atu pun pihak pemerintah (BPN (Badan Pertanahan Nasional)), cara ini bisa juga disebut dengan Mediasi,
2.      Melalui Arbitrase, yaitu Tahkim yang secara harfiah berari menjadikan seorang sebagai penengah bagi suatu sengketa.[9]cara ini sebenarnya sama saja dengan dengan cara mediasi, yaitu meminta seseorang untuk menjadi mediator guna penyelesaian masalah sengketa yang dihadapi.
3.      Cara yang ialah jalan terakhir setelah cara-cara yang diatas tidak memberikan hasil yang bagus. Namun dalam pengadilan pun sebelum disidangkan wajib pula melakukan upaya Mediasi, Ini adalah hal yang paling utama harus dilaksanakan oleh hakim, sesuai dengan pasal 154 (1) RNG. Pasal 130 HIR. Pasal 66 UU No 3 Tahun 2006. Tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama yang sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujurat ayat 9-10[10]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari sedikit penjabaran diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Ihyaul Mawat ialah ialah orang muslim pergi ketanah yang tidak dimiliki siapapun, kemudian memakmurkannya dengan memakmurkannya dengan menenam pohon didalamnya, atau membangun rumah diatasnya, atau menggali sumur untuk dirinya dan menjadi milik pribadinya. Dari permasalahan-permasalahan yang menyangkut hal Ihyaul Mawat ini ialah suatu perkara sengketa tanah yang mana permaslahan tersebut sangatlah harus segera diselesaikan, karena permasalahan ini apabila didiamkan akan berakibat fatal, yaitu terjadinya permusuhan antar individu, ras, suku bahkan antara sesama saudara. Adapun cara penyelasaiannya dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: Mediasi, Arbitrase dan melalui jalur hukum yaitu pengadilan.
B.     Keritik dan saran
Dalam makalah  yang sederhana ini terdapat banyak sekali kekurangannya, oleh karena itu, saya berharap kepada para pembaca agar memberikan banyak keritik dan saran agar makalah sederhana ini dapat menjadi lebih baik lagi.













DAFTAR PUSTAKA

o   Dasuqi, Ahmad, Lembaga Damai Dalam Prespektif Penyelesaian Perkara  Secara sederhana, Cepat dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama,(Banjarmasin), 2008
o   Kartasapoetra dan Kawan-kawan, HUKUM TANAH Jaminan UUPA Bagi Pendayagunaan Tanah. (Jakarta; PT.Melfon Putra). Cet. II, 1991
o   Khazawi , Adami. Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada). Ed. 1, Cet. 3, 2005
o   Mas’ud, Ibnu, & Abidin, Zainal.  Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, ( CV Pustaka Setia), Cet. II, 2007
o   Jabir, Abu Bakar, Terj. Fadhli Bahri, Minhaajul Muslim / Ensiklopedi Muslim, ( Jakarta: Darul Falah), Cet. 1, 2000
o   Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan Harta, Hak milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), Ed. 1, Cet. 5, 2010


[1] Hendi. Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan Harta, Hak milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), Ed. 1, Cet. 5, 2010, Hal.267
[2] Abu bakar, Jabir. Terj. Fadhli Bahri, Minhaajul Muslim / Ensiklopedi Muslim, ( Jakarta: Darul Falah), Cet. 1, 2000, Hal. 540
[3] Ibid. Abu bakar, Jabir, Hal. 540
[4] Drs. H. Ibnu Mas’ud & Drs. H. Zainal Abidin S., Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, ( CV Pustaka Setia), Cet. II, 2007, Hal.

[5] Op. Cit, Abu bakar, Jabir, Hal. 541
[7] Adami, Khazawi. Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada). Ed. 1, Cet. 3, 2005. Hal. 137
[8] G. Kartasapoetra dan Kawan-kawan, HUKUM TANAH Jaminan UUPA Bagi Pendayagunaan Tanah.(Jakarta; PT.Melfon Putra). Cet. II, 1991, Hal. 133-134
[9] Ahmad, Dasuqi, Lembaga Damai Dalam Prespektif Penyelesaian Perkara  Secara sederhana, Cepat dan Biaya Ringan di Pengadilan Agama,(Banjarmasin), 2008, Hal. 45
[10] Ibid. Ahmad, Dasuqi, Hal. 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laporan Keuangan Koperasi

  apa itu laporan keuangan ??? Laporan keuangan  sangat penting bagi koperasi. Laporan ini merupakan hal yang terkait dengan berjalannya k...