Rabu, 10 September 2014

FUNGSI JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN MUSYARAKAH (STUDI PADA PT BANK KALSEL SYARIAH CABANG BANJARMASIN)


oleh :
SYAIFURRAHMAN                 
Abstract

Basicly Musyarakah in fiqh muamalah is agreement of trust (amanah), which each of partners be rialiable with their own partner that have agreement with them, then in agreement of musyarakah each of partners do not allowed to ask for assurance to other partners. In other hand, in the banking word within the facility of musyarakah finance, the bank requires an assurance which is given by the clients when they propose the finance of musyarakah. So, there problems of how the procedure and assurance function in musyarakah finance in the bank. This research uses field research method by directly interviews the authorities of PT Bank Kalsel Syariah Banjarmasin Branch.

The result of the procedure of musyarakah finance which is given by PT Bank Kalsel Syariah Banjarmasin Branch  is a coorperation agreement between the bank and the clients where each of partners gives the contribution of fund and work in undertaking productive business. The profit result divide based on nisbah that has been agreed and one of the partners can ask the more pofit based on their works and the loss devides proportionally based on the fund that had been deposited by each of partners. The client is asked to include the additional material wealth assurance that worth of the price as a serious prove and responsible reflection of the clients to undertake a coopertion and also as bank media in undertaking the principle of carefulness in giving the finance.
Keyword : Function, Assurance, Musyarakah, Prudence
1.       Pendahuluan
Perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk memungut maupun meminjam dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan berinvestasi dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak Islami (haram). Sebagai lebaga intermediary keuangan, bank syariah memiliki kegiatan utama berupa penghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat.[1]
Bank syariah menyalurkan dana demi menggerakkan roda ekonomi dalam bentuk pembiayaan. Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, dengan kata lain pembiayaan adalah yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang direncanakan. Bank syariah membiayai setiap usaha produktif atau ide kreatif dan memiliki prospek bagus para pengusaha atau calon pengusaha dalam bentuk kerjasama.[2]
Salah satu produk pembaiayaan usaha produktif oleh bank syariah adalah musyarakah. Musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kejasama antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. [3]
Bank syariah bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank syariah atas dasar kepercayaan, serta mempunyai posisi yang sangat strategis bagi penyelenggaraan negara, maka setiap bank selalu menjaga kesehatan dirinya yang merupakan suatu konsekuensi guna mendukung terciptanya perbankan yang sehat. Ketentuan perundangundangan yang demikian merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum kepada bank syariah. Pada tahap awal pelaksanaan operasionalnya mutlak diterapkan prinsip prudential banking terhadap tumbuh dan berkembangnya setiap bank syariah di Indonesia. Landasan diterapkannya prinsip prudential banking adalah Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu:
a.       Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
b.      Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas.[4]
Pembebanan jaminan kepada nasabah debitur tersebut, juga berlaku pada Bank Kal-Sel Syariah cabang Banjarmasin. Bank Kal-Sel Syariah cabang Banjarmasin berkantor di Jl. S. Parman Banjarmasin. Bank Kal-Sel Syariah cabang Banjarmasin membebankan jaminan kepada nasabah debitur karena merasa sulit mencari nasabah debitur yang benar-benar bisa jujur. Selain hal tersebut, pembebanan tersebut dilakukan guna mengurangi risiko sesuai dengan ketentuan dana perbankan.
Tujuan dari pembebanan jaminan terhadap nasabah kreditur sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, menyatakan sebagai berikut: “Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas pengkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur”. [5]
Begitu juga pada Penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 23 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menegaskan bahwa “Penyaluran dana berdasarkan Prinsip  Syariah oleh Bank Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan Bank Syariah dan UUS”. Untuk itu dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. Dan untuk memperoleh keyakinan tersebut. Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas”.[6]

Berdasarkan Penjelasan yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 dan Pasal 37 ayat (1) serta Pasal 23 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, memberikan pengertian bahwa jaminan yang dibebankan kepada nasabah debitur adalah untuk melindungi kepentingan bank syariah selaku kreditor dari ancaman kerugian. Bank syariah tidak ingin rugi bila memberikan dana pembiayaannya kepada nasabah debitur, padahal kebersamaan dalam musyarakah baik untung maupun rugi dijunjung tinggi dan di sisi lain bahwa kedudukan syarik adalah sejajar, namun kenyataannya nasabah debitur yang menanggung kerugian dari usaha bersama dan bank syariah enggan melaksanakan hal yang sama dengan nasabah.
Akad dalam pembiayaan Al Musyarakah adalah akad kepercayaan, di mana akad ini  berdasarkan amanah dan wakalah (perwakilan), masing-masing mitra menjadi seorang amin (terpercaya) bagi mitra lain yang berakad dengannya, sementara itu harta dalam perserikatan adalah merupakan amanat, maka dalam pembiayaan Al Musyarakah masing-masing mitra tidak diperkenankan meminta adanya jaminan dari pihak yang lain. Adanya syarat jaminan atas salah satu mitra dianggap tidak berlaku.
Jaminan erat kaitannya dengan masalah hutang-piutang sedangkan dalam musyarakah bukanlah masalah hutang piutang melainkan tentang kerjasama dalam bentuk musyarakah yang mana para pihak memasukkan sesuatu (inbreng) yang dijadikan sebagai modal bersama untuk menjalankan suatu usaha bersama yang tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan Hadits. Menurut hukum positif Indonesia, jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor yang diserahkan oleh debitur untuk menjamin bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.[7]
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 menyebutkan bahwa dalam pembiayaan Al Musyarakah pada prinsipnya tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan oleh nasabah (syarik), bank syariah boleh meminta jaminan. Berlandaskan fatwa tersebut, dalam pembiayaan Musyarakah kedudukan jaminan hanya sebagai bentuk kehati-hatian (penerapan prudential banking principle) bukan merupakan syarat mutlak dalam penentuan pemberian pembiayaan Al Musyarakah oleh pihak bank syariah, namun kenyataannya bank syariah selalu mengharuskan adanya jaminan kepada nasabah dalam setiap pembiayaan Al Musyarakah. Keberadaan jaminan sebagai bentuk kehati-hatian menjadi hal yang mutlak harus ada yang harus disediakan oleh pihak nasabah debitur.
Berdasarkan uraian tersebut timbullah beberapa permasalahan yang dirumuskan, yaitu bagaimana prosedur pembiayaan musyarakah dan fungsi jaminan pada PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin.
2.      Metode Penelitian
Dalam peneltian ini, peneliti menggunakan metode penelitian lapangan (field research), yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan  pihak berwenang di PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin.
3.      Beberapa Ketentuan Tentang Pembiayaan Musyarakah
3.1   Musyarakah
3.1.1          Pengertian Musyarkah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[8] Dalam Musyarakah, keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindari perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan diawal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Seorang boleh mengusulkan jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. Kerugian modal dibagi sesuai dengan presentase modal masing-masing.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pembiayaan musyarakah dilakukan oleh dua orang pemilik modal atau lebih untuk menjalankan suatu proyek. Semua pihak berhak ikut serta dalam manajemen proyek. Proporsi pembagian laba tidak harus sebanding dengan persentase penyertaan modal, karena pada prinsipnya penyertaan tidak hanya modal tetapi juga keahlian dan waktu. Apabila terjadi kerugian masing-masing pihak bertanggung jawab sesuai proporsi modal masing-masing.
3.1.2            Landasan Hukum Musyarakah
a.       Al-Qur’an
Firman Allah QS. Shad (38): 24 :
   . . . وَ إِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلاَّ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مّا هُمْ . . .
. . . . dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". . .[9]
b.      Hadits
Hadits riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW, Berkata :
 عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ٬ قَالَ اللهُ تَعَالى: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمأ. (رواه أبوداود وصحّحه الحاكم)
Allah SWT. berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah-satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah-satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka”. (HR. Abu Dawud, yang dishahihkan oleh al Hakim dari Abu Hurairah)”.[10]
c.       Kaidah Fiqh
الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلَاتِ الإِبَاحَةُ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلى تَحْرِيْمِهَا
Pada dasarnya sega macam bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.[11]
d.      Hukum Positif
Musyarakah adalah kemitraan antara bank dan nasabah untuk bersama-sama memberikan modal dengan cara membeli saham untuk membiayai suatu investasi.[12] Musyarakah merupakan pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Dasar hukum musyarakah berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Fatwa DSN No.8.DSN-MUI/IV/2000.
Secara teknis pembiayaan musyarakah ini diataur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang pada intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha yang meliputi penyaluran dana yang menggunakan prinsip bagi hasil berdasarkan akad musyarakah.[13]
Sebagai landasan hukum akad pembiayaan musyarakah antara lain adalah Pasal 19 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c serta Pasal 21 huruf b angka 1 UU Perbankan Syariah, Fatwa Dewan Syariah Nasional No.8.DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah berikut perubahannya dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.[14]
3.1.3       Jenis-jenis Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis yaitu musyarakah pemilikan dan musyawarah akad (kontrak). Dalam musyarakah ini, pemilik dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.[15]
a.       Serikat Amlak
Syirkatul-amla>k (Pemilikan) berarti eksistensi suatu perkongsian tidak perlu kepada suatu kontrak membentuknya tetapi terjadi dengan sendirinya.[16]
Bentuk Syirkatul-amla>k ini terbagi menjadi Amla>kul-jabr, Terjadinya suatu perkongsian secara otomatis dan paksa. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya, dan Amla>kul-ikhtiya>r, Terjadinya perkongsian secara otomatis tetapi bebas. Otomatis seperti pengertian di atas: Adanya pilihan/option untuk menolak.[17]
b.      Syirkah Uqud
Syirkatul-‘uqu>d berarti perkongsian yang terbentuk karena suatu kontrak, syirkah ini terbagi kepada lima jenis, yaitu Syirkatul-‘ina>n, Syirkatul-mufawwa«ah, Syirkatul-‘abda>n atau ‘Amal, Syirkatul-wuju>h, dan  Mu«arabah.[18]
Dalam Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, menyebutkan:
. والشركة بالجملة عند فقهاء الأمصار على أربعة أنواعٍ: شركة العنان٬ شركة الأبدان٬ شركة المفاوضة٬ وشركة الوجوه[19].
secara garis besar – menurut fuqaha Amshar – serikat (persekutuan/perseroan) itu dibagi menjadi empat macam: serikat ‘ina>n, serikat abdan, serikat mufawwadah, dan serikat wuju>h.[20]
3.1.4       Syarat dan Rukun Musyarakah
a.       Rukun
Rukun dari akad pembiayaan musyarakah ada beberapa, yaitu : Pelaku akad, Objek akad, Ijab dan Qabul. [21]
b.      Syarat
Dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan, terdapat dua syarat dalam syirakah, yaitu :
1)      Syarat Umum
sebagaimana disebutkan dalam Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan :
Disyaratkan untuk sahnya serikat uqud dengan beberapa syarat :
1.      Bisa diwakilkan. Pekerjaan yang menjadi objek akad syirkah harus bisa diwakilkan, karena di antara ketentuan syirkah adalah adanya persekutuan dalam keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan. Dan keuntungan perdagangan tidak akan menjadi hak milik bersama, kecuali jika masing-masing pihak bersedia menjadi wakil bagi mitranya dalam mengelola sebagian harta syirkah, dan bekerja untuk dirinya sendiri atas sebagian harta syirkah lain.
2.      Jumlah keuntungan yang dihasilkan hendaknya jelas. Dengan kata lain, bagian keuntungan tiap-tiap mitra harus jelas, seperti seperlima, sepertiga, atau seper sepuluh persen. Jika keuntungannya tidak jelas, maka akad syirkah menjadi tidak sah, karena keuntungan itulah yang menjadi objek transaksi, dan tidak jelasnya objek akan merusak akad.
3.      Bagian keuntungan yang diberikan hendaknya tidak dapat terbedakan dan tidak tertentu. Jika keduanya menentukan keuntungan tertentu untuk salah satu pihak, seperti sepuluh atau seratus, maka syirkah tersebut batal atau tidak sah. Pasalnya transaksi syirkah mengharuskan persekutuan dalam keuntungan, karena bisa saja keuntungan itu tidak tercapai kecuali sesuai dengan keuntungan salah satu mitra. Oleh karena itu penentuan bagian keuntungan dalam jumlah tertentu adalah bertentangan dengan konsekuensi akad syirkah.[22]

2)      Syarat Khusus
1.      Modal syirkah hendaknya nyata, baik saat akad maupun saat membeli.
2.      Modal syirkah hendaknya berupa barang berharga secara mutlak, yaitu uang, seperti dirham dan dinar di masa lalu atau mata uang yang tersebar luas sekarang di masa modern.[23]
3.2   Jaminan
3.2.1       Pengertian Jaminan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, jaminan berasal dari kata jamin yang artinya menanggung. Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima (brog) atau garansi atau janji seseorang untuk menanggung utang atau kewajiban tersebut tidak terpenuhi.[24]
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya disamping pertanggung-jawaban debitur terhadap barang-barangnya.[25]
3.2.2      Jaminan Menurut KUH Perdata
Di Indonesia telah diatur mengenai hukum jaminan. Pengaturan hukum positif tentang jaminan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1150-1161.
Jaminan merupakan perjanjian yang bersifat accesoir yaitu perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.[26] Perjanjian pokok dari jaminan adalah perjanjian pemberian kredit atau pembiayaan. Perjanjian terbagi menjadi dua jenis, yaitu Jaminan Materiil (Kebendaan) dan Jaminan Immateriil (Perorangan). [27]
3.2.3      Jaminan Menurut Hukum Islam
Jaminan dalam hukum Islam dekenal dengan A«-¬aman. Perkataan “«aman” itu keluar dari  masdar «immu yang berarti menghendaki untuk ditanggung. ¬aman menurut pengertian etimologis atau lugat ialah menjamin atau menyanggupi apa yang ada dalam tanggungan orang lain. Yang semakna dengan «aman adalah kata kafa>lah. Dalam kamus istilah fiqih disebutkan pengertian «aman adalah jaminan utang atau dalam hal lain menghadirkan seseorang atau barang ketempat tertentu untuk diminta pertanggungjawabannya atau sebagai jaminan.[28] Selain «aman dan kafa>lah dalam hukum Islam dikenal juga degan istilah rahn, yaitu berarti £ubu>t dan dawa>m yaitu tetap dan lestari. Secara Syara’, rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diberikan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.[29]
3.2.4      Fungsi Jaminan
Jaminan memiliki fungsi antara lain :
a.       Jaminan berupa watak, kemampuan, dan prospek usaha yang dimiliki debitur merupakan jaminan imateriel yang berfungsi sebagai first way out. Dengan jaminan imateriel tersebut, debitur diharapkan dapat mengelola modal dan perusahaannya dengan baik sehingga memperoleh pendapatan (revenue) bisnis guna melunasi pembiayaan yang telah diterimanya dari bank syariah/UUS sesuai dengan akad pembiayaan.[30]
b.      Jaminan pembiayaan berupa agunan yang bersifat materiel/kebendaan sebagai second way out. Sebagai second way out, pelaksanaan penjualan agunan (eksekusi) baru dilakukan apabila debitur gagal (wanprestasi) atau macet dalam pelunasan/pembayaran kembali pembiayaan melalui first out way.[31]
c.       Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggal usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.[32]
d.      Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.[33]
4.      Penyajian dan Analisis Data
4.1.        Penyajian Data
4.1.1.      Prosedur Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin.
Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin menyediakan fasilitas pembiayaan musyarakah bagi nasabah. Untuk memperoleh pembiayaan musyarakah tersebut, terdapat prosedur yang mengatur agar pembiayaan dapat terlaksana dengan lancar.
Berdasarkan penuturan staff maketing bank Kalsel syariah dalam wawancara,Pada saat nasabah mengajukan permohonan pembiayaan musyarakah, pihak bank Kalsel syariah cabang Banjarmasin menayakan lebih dahulu, apakah nasabah sudah mempunyai rekening bank Kalsel syariah. Jika ternyata nasabah belum memiliki rekening, maka nasabah diwajibkan untuk membuka rekening tabungan dengan cara mengisi blangko pembukaan rekening tabungan yang telah disediakan oleh bank Kalsel syariah. Setelah mengisi blangko pembukaan rekening tabungan, nasabah diminta untuk melampirkan fotokopi KTP (kartu tanda penduduk) dan dikenakan setoran awal sebesar Rp. 50.000,00-.[34]
Setelah nasabah resmi menjadi nasabah Bank Kalsel Syariah, nasabah akan mendapatkan nomor dan buku rekening tabungan. Setelah itu barulah permohonan pembiayaan musyarakah dapat diajukan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
·         Mengisi formulir permohonan pembiayaan,
·         Menyerahkan daftar penghasilan, pendapatan yang diperoleh rata-rata perbulan,
·         Menyerahkan photocopy (KTP/SIM/PASPOR),
·         Menyerahkan agunan tambahan,
·         Copy Dokumen perusahaan seperti: TDP, SIUP, SITU, NPWP.[35]
Setelah pihak bank menerima surat permohonan pembiayaan dari calon nasabah pembiayaan yang telah dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang diperlukan, maka selanjutnya Acount Officer (AO) Melakukan Survey/kunjungan untuk melihat kondisi usaha nasabah, kemudian AO melukan anaalisis aspek yuridis. Setelah itu dilakukan analisis pembiayaan. Analaisis dilakukan oleh AO dengan dua metode, metode yang di dalamnya terkandung unsure 6 C (character, capacity, capital, cash flow, condition, dan collateral),[36] metode tersebut adalah :[37]
a.       Analisa kualitatif
Analisa Kualitatif adalah analisa terhadap keauan bayar calon nasabah penerima pembiayaan, yang terdiri dari :
1)      Penilaian terhadap karakter (character)
Untuk membaca watak atau sifat dari nasabah, dapat dilakukan dengan melihat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobi dan jiwa sosial. Dari sifat dan watak ini dapat menjadi ukuran tentang kemauan nasabah untuk membayar.[38]
2)      Penilaian terhadap integritas
Penilaian dilakukan dengan cara menganalisis kemauan nasabah dalam mengelola bisnis. Kemauan ini dihubungkan dengan latarbelakang pendidikan dan pengalamannya selama ini dalam mengelola usahanya, shingga akan terlihat “kemauannya” dalam pengembalian modal.[39]
b.      Analisis kuantitatif
Analisis kuantitatif adalah analisi terhadap “kemampuan bayar” calon nasabah penerima pembiayaan, yang terdiri dari :[40]
1)          Kelayakan usaha (condition)
Penilaian terhadap kelayakan usaha adalah dengan memproyeksikan usaha tersebut membutuhkan dana berapa banyak dan dapat memberikan keuntungan seberapa besar. Dengan memperkirakan seluruh biaya selama pembiayaan berlangsung, maka akan dapat diketahui berapa keuntungan yang diperoleh sehingga permohonan pembiayaan tersebut dapat disetujui.[41]
Penilaian juga dilakukan dengan menilai kondisi/keadaan ekonomi, sosial dan politik yang ada sekarang dan prediksi untuk masa yang akan datang. Penilaian kondisi atau prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik sehingga kemungkinan pembiayaan tersebut bermasalah relatif kecil.[42]
2)      Repayment capacity
Repayment capacity dapat dilihat dari cash flow (aliran kas) pada calon nasabah pembiayaan yaitu dengan melihat rekenig tabungannya 6 bulan terakhir, rekening listriknya dan rekening telpon.[43]
Analisis terhadap nasabah telah dilakukan oleh acount officer yang kemudian kepada manajer. Untuk tahap selanjutnya adalah pengajuan pembiayaan kepada komite Bank Kalsel Syariah untuk memperoleh persetujuan apakah pembiayaan tersebut dapat disetujui atau ditolak.
Komite pembiayaan menerima dan mempertimbangkan data permohonan pembiayaan musyarakah yang diajukan oleh nasabah, kemudian memutuskan, apabila pembiayaan tersebut layak, maka pembiayaan tersebut disetujui dan dapat dilakukan. Persetujuanpun diterangkan dalam Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan (SP3) yang kemudian ditanda tangani oleh manajer dan pemohon.[44]
Pengikatan dilakukan dengan membuat surat perjanjian akad pembiayaan musyarakah dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Kalsel Syariah, yang selanjutnya ditanda tangani oleh pihak-pihak Bank Kalsel Syariah dan nasabah pemohon. Dengan demikian kedua belah pihak, Baik bank maupun nasabah telah terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing selaku mitra dalam akad tersebut.[45]
Setelah Surat Perjanjian Akad Musyarakah ditanda tangani, maka dilakukan serah terima jaminan dari nasabah kepada pihak bank. Serah terima jaminan tertuang dalam Surat Form Berita Acara Serah Terima Jaminan yang ditanda tangani oleh nasabah pembiayaan dan manajer Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin. Namun apabila pembaiayaan ditolak, maka pihak bank akan memberitahukan alasan mengapa pembiayaan itu ditolak. Bank akan mengembalikan seluruh data dan dokumen yang telah diserahkan oleh pemohon.[46]
Langkah selanjutnya adalah pencairan dana yang dilakukan di bagian keuangan atau teller. Pencairan dana dilakukan segera setelah surat persetujuan ditanda tangani.[47]





4.1.2.     Penerapan Jaminan Dalam Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan musyarakah adalah salah satu produk pembiayaan yang disalurkan oleh PT Bank Klasel Syariah Cabang Banjarmasin kepada pihak lain untuk melakukan usaha produktif. Dalam pembiayaan ini pihak bank dan nasabah berlaku sebagai syarik (orang yang berserikat/mitra) dimana masing-masing pihak telah memiliki modal masing-masing yang akan digabung dalam suatu proyek usaha produktif.
Untuk menjalankan pembiayaan musyarakah yang diadakan oleh PT Bank Kalsel Syariah, pihak bank memiliki ketentuan khusus mengenai pembiayaan musyarakah. Dalam proses pengajuan pembiayaan yang dilakukan oleh nasabah, terdapat salah satu syarat tambahan. Syarat tambahan itu adalah nasabah diminta untuk menyertakan jaminan, jaminan tersebut berupa barang yang tidak bergerak dan barang bergerak sebagai tambahan pabila barang yang tidak bergerak tersebut tidak mencukupi nilai jaminan yang telah ditetapkan oleh pihak bank, yaitu minimal 125% dari nilai pembiayaan.[48]
Jaminan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko pembiayaan, setiap pembiayaan yang dilakukan oleh pihak PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin haruslah memenuhi prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan itu maka setiap pembiayaan yang diberikan dapat mepersyaratkan jaminan, termasuk pembiayaan musyarakah.
Jaminan terbagi dua, yaitu :[49]
a.       Jaminan utama, jaminan utama dalam pembiayaan musyarakah ini ialah adalah kelayakan dan prospek usaha.
b.      Jaminan tambahan, jaminan ini berupa tanah dan bangunan (SHM/HGB/HGU/AJB), kendaraan roda dua dan roda empat (BPKB).
Meskipun hanya sebagai syarat tambahan, namun syarat ini yang menentukan apakah pembiayaan musyarakah dapat dilanjutkan atau dibatalkan. Alasan pihak bank meminta jaminan adalah karena pada zaman sekarang, adalah moral nasabah yang tidak dapat diperkirakan. Alasan lainnya adalah agar nasabah memiliki tanggung jawab terhadap pembiayaan yang diajukannya. Dengan mencantumkan jaminan maka nasabah diharapkan tidak main-main dalam  menjalankan usaha.[50]
Jaminan yang diserahkan kepada bank hanya berupa surat-surat bukti kepemilikan saja (secara fidusia), bukan bentuk barangnya yang diserahkan kepada bank. Barang tersebut masih dapat digunakan oleh nasabah dalam kehidupan sehari-hari. Surat-surat tersebut kemudian diamankan oleh pihak bank sebagai perlindungan terhadap dananya yang sedang dimusyarakahkan. Jika perjanjian tersebut telah selesai, maka secara otomatis jaminan akan dikembalikan kepada nasabah.[51]
Jika ternyata dalam masa perjanjian musyarakah tersebut nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pihak bank akan meneliti apa penyebab terjadinya hal tersebut. Jika diketahui bahwa kendala yang dihadapi dalam menjalankan usaha tersebut adalah bukan akibat kelalaian nasabah, melainkan akibat dari kondisi perekonomian yang terjadi atau force majeur maka pihak bank akan memberikan kebijakan dengan cara me-rescedule (penjadwalan ulang) pembiayaan. Yaitu dengan cara mendata seluruh jumlah pembiayaan yang telah dikembalikan oleh nasabah yang kemudian akan didapat sisa pembiayaan yang belum dibayar yang dalam kondisi macet. Jumlah yang telah dibayarkan kepada bank telah dianggap lunas. Dan kemudian bank memberikan tempo kembali terhadap jumlah pembiayaan tersebut. Tujuan dari reschedule adalah untuk memperkecil jumlah angsuran, sehingga diharapkan bahwa nasabah dapat membayar angsuran dengan jumlah lebih kecil yang pada akhirnya dapat menyelesaikan pelunasan pembiayaannya.[52]
Dalam pembiayaan musyarakah ini, pihak bank juga akan mengasuransikan usaha yang akan dijalankan nasabah, guna melindunginya dari hal-hal yang tak terduga.[53]
Itikad baik nasabah akan terbaca pada saat nasabah mengalami suatu kendala dalam pembiayaan. Jika dari jadwal yang disepakati nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut, dan nasabah tidak cepat melapor kepada pihak bank, maka pihak bank akan menunggu selama periode tertentu dan nasabah akan diberikan SPKT (surat pemberitahuan keterangan terlambat). SKPT berisi tentang pemberitahuan kepada nasabah telah mengalami keterlambatan dalam pembayaran kewajibannya sesuai waktu yang tertera dalam SKPT. Kemudian dalam tenggang waktu tiga bulan berikutnya nasabah belum juga memenuhi kewajibannya, maka pihak bank akan mengeluarkan SP (surat peringatan) pertama. Dalam SP 1 pihak bank masih bertindak memperingatkan nasabah mengenai jumlah kewajibannya, dan bank masih memberikan tenggang waktu kepada nasabah. Hal ini tetap berlangsung sampai SP ketiga dengan tenggang waktu per-tiga bulan dalam tiap kali SP. Jika belum ada itikad baik dari nasabah dalam tiga kali SP, maka bank akan menerbitkan SP keras, yaitu peringatan keras bahwa nasabah belum memenuhi kewajibannya. Berikutnya bank akan memanggil nasabah jika belum ada tanggapan mengenai pertanggung jawaban kewajibannya tersebut untuk mengeksekusi jaminan guna penyelesaian pembiayaan musyarakahnya yang bermasalah.[54]
Sebelum pengeksekusian barang jaminan, pihak bank memberi pilhan kepada nasabah apakah barang jaminan tersebut akan dijual sendiri oleh nasabah atau dilakukan oleh pihak bank. Barang jaminan yang dieksekusi oleh pihak bank diserahkan kepada lembaga lelang untuk kemudian dieksekusi. Hasil dari penjualan barang jaminan tersebut diserahkan kepada pihak bank untuk pengembalian modal yang digunakan dalam pembiayaan musyarakah. Jika terdapat kelebihan pada harga barang jaminan milik nasabah, maka pihak bank akan mengembalikannya kepada nasabah. Perlu diketahui, bahwa seluruh biaya pelaksanaan eksekusi jaminan adalah tanggung jawab nasabah.[55]
Dalam pembiayaan musyarakah, pihak PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin telah mempertimbangkan usaha yang akan dijalankan oleh nasabah sehingga bank telah memiliki gambaran mengenai kinerja dan keuntungan yang akan diterimanya. Bank hanya menyetujui kegiatan musyarakah yang benar-benar memiliki prospek usaha sehingga resiko pembiayaan bermasalah sangat kecil.
4.1.3.     Fungsi Jaminan Dalam Pembiayaan Musyarakah
Penyaluran dana oleh Bank Syariah bersumber dari dana mayarakat yang disimpan pada Bank Kalsel dan UUS. Sementara itu, berdasarkan Statistik Perbankan Syariah per Desember 2011, rasio dana masyarakat yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan oleh perbankan syariah mencapai 91,41%. Karena itu itu risiko yang dihadapi Bank Syariah dan UUS dalam penyaluran dana akan berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang disimpan pada bank tersebut.[56]
Pembiayaan musyarakah ialah salah satu produk penyaluran dana yang disediakan oleh PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin. Penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pengembalian dananya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank.
Untuk menjaga kesehatan bank, maka dalam pembiayaan yang diberikan oleh PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, pihak bank akan menilai jaminan yang diberikan oleh nasabah, apakah nilai jaminan tersebut setara dengan jumlah modal yang diberikan oleh bank kepada nasabah. Sebagaimana disebutkan oleh staff marketing PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, minimal nilai jaminan tersebut adalah 125% dari jumlah modal yang akan diberikan. Selain itu juga, dengan adanya jaminan yang disediakan oleh nasabah sebagai salah satu persyartan pengajuan pembiayaan tersebut ialah untuk memperkuat kenyakinan pihak bank bahwa nasabah benar-benar/tidak main-main dalam menjalankan usaha yang akan dijalankan.[57]
4.2. Analisis Data
4.2.1.   Analisis Prosedur Pembiayaan Musyarakah Pada PT. Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin.
Prosedur pembiayaan musyarakah menurut kajian fikih muamalah yang telah diterangkan pada bab sebelumnya dengan lengkap dan jelas. Pembiayaan musyarakah yang diterapkan pada PT. Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin telah sesuai dengan sistem kerjasama yang dikenal dalam islam dengan istilah musyarakah. Tidak terdapat hal yang menyeleweng dalam pembiayaan musyarakah menurut syariat islam dengan yang diterapkan oleh PT. Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin.
Kesesuaian tersebut terlihat dari pengertian musyarakah. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dalam fasilitas pembiayaan musyarakah yang diberikan oleh PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, penerapan akad tersebut telah sesuai dengan pengertiannya, yaitu kerjasama antara pihak bank dan nasabah untuk menjalankan suatu usaha tertentu.
Dilihat dari rukun musyarakah, yaitu adanya pelaku akad, objek akad, dan ijab kabul, sangat terlihat jelas bahwa pihak bank dan nasabah berlaku sebagai pelaku akad. mengenai objek akad, yaitu (1) modal, ketentuan modal diantaranya adalah, modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang bernilai sama, serta modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang, property, dan sebagainya. (2) Kerja, dimana dalam menjalankan usaha tersebut masing-masing pihak ikut bekerja menurut porsinya masing-masing, meskipun kadar kerjanya tidak sama dan dalam kerja bisa diwakilkan oleh partner/pihak yang lain, (3) pembagian keuntungan dan kerugian, dalam menjalankan usaha salah satu pihak boleh meminta keuntungan yang lebih sesuai dengan porsi kerjanya dan pembagian kerugian dibagi secara proporsional menurut modal yang disetorkan oleh masing-masing pihak.[58] Objek akad tersebut telah tertuang jelas dalam perjanjia akad dan disepakati bersama antara bank dan nasabah sebagai mitra kerja ketika pelaksanaan Ijab Kabul.
Dalam pemberian fasilitas pembaiayaan, bank menggunakan dana yang terhimpun dari masyarakat/nasabah. Menjalankan suatu usaha tidaklah semudah seperti membalikan telapak tangan yang tanpa risiko. Oleh karenanya bank tidak sembarangan memberikan fasilitas pembiayaan musyarakah, ada tahapan-tahapan untuk menilai usaha yang akan dijalankan memang bena-benar layak untuk diberikan modal.
4.2.2.       Analisis Fungsi Jaminan dalam Akad Musyarakah
Pada dasarnya, Al-Qur’an tidak pernah berbicara langsung mengenai musyarakah. Meskipun musyarakah tidak secara langsung disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan diperaktekan oleh umat islam, dan bentuk kongsi dagang semacam ini tampak terus hidup sepanjang periode era awal Islam.
Jumhur Fuqaha menyatakan bahwa dalam musyarakah pada dasarnya masing-masing mitra adalah yad al-amanah (tangan amanah/kepercayaan) atas harta perserikatan, artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada harta perserikatan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam mengelola harta perserikatan. Oleh karenanya, masing-masing mitra tidak bisa menjamin (memberikan jaminan) atas modal mitra lainnya, dan apabila dalam musyarakah ada jaminan atas salah satu mitra, maka jaminan tersebut dianggap batal/tidak berlaku. Dengan demikian, maka berdasarkan mafhum mukhalafah / argumentum a contrario, mitra yang lain dapat meminta pertanggung jawaban dan jaminan pada mitra yang lain hanya apabila mitra yang lain tersebut melakukan kelalaian atau kecerobohan dalam pengelolaan harta syirkah yang berakibat pada kerugian/musnahnya sebagian/seluruhnya harta syirkah tersebut. [59] Pada dasarnya jaminan yang diutamakan dalam pembiayaan musyarakah ini hanyalah jaminan berupa kelayakan dan prospek usaha, namun mengingat kondisi kemasyarakatan yang ada pada saat ini, tidak mungkin menerapkan kerjasama musyarakah  sesuai konteks asli, yaitu tanpa jaminan, maka untuk melindungi berbagai pihak yang terlibat dalam pembiayaan musyarakah dari beragam risiko yang dapat muncul, nasabah dapat diminta untuk menyertakan jaminan, berupa kebendaan yang bernilai jual.
Penerapan jaminan yang dilakukan oleh PT. Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin pada dasarnya mengacu pada Peraturan Pemerintah dalam Undang-Undang No. 10 Pasal 1 Tahun 1998 mengenai ketentuan umum penjelasan No. 23 yaitu :[60]
”Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”.
Hal serupa disebutkan pula dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 08/DSN-MUI/IV/2000, dalam fatwa tersebut disebutkan, bahwa:[61]
“Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan”.
 Dalam hal terjadi kerugian dalam pengelolaan dana para mitra akan menanggung bersama-sama kerugian tersebut sepanjang kerugian tersebut bukan disebabkan karena kelalaian salah satu mitra. Sedang bila kerugian diakibatkan oleh kelalaian atau kesalahan salah satu mitra (dalam hal ini ialah nasabah) dibeban kepada nasabah dan diakui sebagai piutang musyarakah jatuh tempo. Kelalaian atau kesalahan nasabah antara lain, ditunjukan oleh :
a.       Tidak dipenuhinya persyaratan dalam akad,
b.      Tidak terdapat kondisi diluar kemampuan (force majeur) yang lazim dan atau yang telah ditentukan dalam akad,
Para ulama di Indonesia yang terhimpun pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya No. 8/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah, adanya jaminan dalam perbankan syariah khususnya dalam pembiayaan musyarakah hanya untuk memberikan kepastian kepada pihak bank bahwa pihak nasabah akan menggunakan dana dari pihak bank tersebut sesuai dengan yang telah diperjanjikan.
Jadi dapat dikatakan bahwa penyertaan jaminan dalam pembiayaan musyarakah merupakan bentuk aplikasi penerapan prinsip kehati-hatian yang dijalankan oleh pihak bank guna pengamanan terhadap modal yang diberikan oleh bank kepada nasabah dan sebagai penguat keseriusan nasabah dalam menjalankan usaha yang akan dijalankan, hal ini serupa dengan pernyataan staff marketing bank Kalsel syariah cabang Banjarmasin, dengan penyertaan jaminan akan memperkuat kepercayaan mengingat moral nasabah yang tidak dapat diperkirakan. Bagi nasabah cerminan rasa tanggung jawab jawab atas usaha yang diberikan modal oleh bank sehingga dapat menjalankan usahanya dengan serius.
5.      Penutup
5.1. Simpulan
Prosedur pembiayaan musyarakah yang diberikan oleh PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin adalah sebuah bentuk akad kerjasama antara bank dan nasabah dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal dan kerja dalam menjalankan suatu usaha yang produktif. Hasil keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati dan salah satu pihak boleh meminta keuntungan yang lebih sesuai dengan porsi kerjanya, dan juga kerugian dibagi secara proporsional menurut modal yang disetorkan oleh masing-masing pihak. Dan Fungsi jaminan dalam akad musyarakah adalah sebagai salah satu langkah untuk melindungi dana masyarakat agar tidak hilang begitu saja akibat keteledoran dari nasabah, hal ini merupakan suatu prinsip kehati-hatian yang diharuskan oleh pihak manajemen dalam pembiayaan. Bagi nasabah jaminan berfungsi sebagai cerminan rasa tanggung jawab atas usaha  yang diberikan modal oleh bank sehingga dapat menjalankan usahanya dengan serius.
5.2.Saran
Dalam menjalankan usaha dengan akad musyarakah, pihak bank seringkali hanya menjadi sleping partner bagi nasabah, sehingga usaha hanya diwakilkan kepada salah mitra saja (nasabah). Untuk lebih mengoptimalkan pembiayaan musyarakah ini alangkah lebih baiknya pihak bank juga turut serta langsung untuk melihat manajemen usaha yang dijalankan. Bagi nasabah pembiayaan musyarakah, hendaknya dapat memahami dengan penyertaan jaminan. Pengadaan jaminan disertakan demi kebaikan bersama. Nasabah juga diharapkan menghindari moral yang negatif dalam menjalankan kerjasama mengingat dana yang dikeluarkan bank bukanlah dana bank pribadi, melainkan dana yang berasal dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Alim Al-Qur’an dan Terjemahnya, diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Bandung, PT Mizan Pustaka, 2010.
Anshori, Abdul Ghafur, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008),. Bandung, PT Refika Aditama, 2009.
Anshori, Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia,. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2007.
Antonio, Muhammad Syafi'I, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,. Jakarta, Gema Insani, 2001.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006.
Az-Zuhaily>, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy> Wa Adillatuhu,. diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattami., et al, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Jakarta, Gema Insani, Juz 5, 2011.
Djamil, Faturrahman, Penyelesaian Pembaiayaan Bermasalah di Bank Syariah, Jakarta, Sinar Grafika, Cet 1, 2012.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyrakah.
Firdaus, Muhammad., et al., Mengatasi Masalah Dengan Penggadaian Syariah, Jakarta, Renaisans, Cet 1, 2005.
Ibnu Hajar al-Kinani, Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad, Bulughul Maram,. Diterjemahkan oleh K.H Kahar Masyhur, Bulughul Maram, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1992.
Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Lebanon, Darul Fikr, Jilid 2, 2008.
Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid,. Diterjemahkan oleh Drs. Imam Ghazali Said, MA dan Drs. Achmad Zainuddin, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, Jakarta, Pustaka Amani, 2007, Jilid 3, Cet III, 2007.
Kamil, Ahmad, dan Muhammad Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, Jakarta, Kencana, Ed 1, Cet I, 2007.
Muhammad, Kontruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah: Mudharabah Dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Yogyakarta, Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), Cet I, 2003.
Mujieb, M. Abdul., et al., Kamus Istilah Fikih, Jakarta, Pustaka Firdaus, Cet III, 2002.
Musjtari, Dewi Nurul, Penyelesaian Sengketa Dalam Praktik Perbankan Syariah, Yogyakarta, Parama Publishing, Cet I, 2012.
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Ed 1, Cet III, 2005.
Shomad, Abd, “Akad Mudharabah Dalam Perbankan Syariah”. Yuridika, Vol. 16, No. 4, Juli-Agustus 2001.
Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perseorangan, Yogyakarta, Liberty Offset Yogyakarta, Cet II, 2001.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Cet II, 2003.
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Ed 4, 2003.
usaha/musyarakah.


[1]  Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), Ed. IV, h. 59.
[2]  Abd. Shomad, Akad Mudharabah dalam Perbankan Syariah, Yuridika, Vol 16 No. 4, Juli-Agustus 2001, h. 363.
[3]  Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.
[4] Abdul Ghafur Anshori, HUKUM PERBANKAN SYARIAH (UU NO. 21 TAHUN 2008), (PT Refika Aditama: Bandung, 2009), h. 135.
[5] Faturrahman. Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Cet. 1, h. 42.
[6] Ibid, h. 42-43.
[7] Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004, h. 21-22.
[8] Mumahammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, h. 90.
[9] Al-‘Alim Al-Qur”an dan Terjemahnya, Diterjemahan oleh yayasan penyelenggara penerjemah al-qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), Cet. 3, h. 455.
[10]  Bulughul Maram, diterjemahkan oleh K. H. Kahar Masyhur, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 487-488.
[11] Ahmad. Kamil, Muhammad. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2007), Ed. 1, Cet. 1, h. 355.
[12] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 57.
[13] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007),  h. 128.
[14] Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 199.
[15] Abdul Ghofur Anshori, op. cit, h. 91.
[16] Muhammad, KONTRUKSI MUDHARABAH DALAM BISNIS SYARIAH: Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, ( Yogyakarta, Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), 2003), Cet. I, h. 33.
[17] Ibid, h. 34.
[18] Ibid, h. 34-44.
[19] Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatuh al-Mujatahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Lebanon: Darul Fikr, 2008), Jilid. 2, h. 203.
[20] Ibnul Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, diterjemahkan oleh Drs. Imam Ghazali Said, MA & Drs. Achmad Zaidun, (Jakarta: PUSTAKA AMANI, 2007), Jilid. 3, Cet. III, h. 143.
[21] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Raja Gafindo Persada, 2006), h. 52.
[22] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattami, Dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Juz. 5, Cet. 1, h. 450-451.
[23] Ibid, h. 451-452.
[24] Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 348.
[25] Salim HS, op. cit, h. 21
[26] Ibid, h. 30.
[27] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perseorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2001), Cet. II, h. 47.
[28] M. Abdul Mujieb et al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. III, h. 59.
[29] Muhammd Firdaus NH, et al., Mengatasi Masalah dengan Penggadaian Syariah, (Jakarta: Renaisans, 2005), Cet. 1, h. 16.
[30] Wangsawidjaja, op. cit, h. 290.
[31] Ibid, Pembiayaan Bank Syariah, h. 291.
[32] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), Cet. 2, h. 286.
[33]  Ibid,
[34] Juliadi Rahman, Staff Marketing PT. Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Banjarmasin, 19 Mei 2014.
[35] http://www.bankKalsel.co.id/index.php/produk-dan-layanan/pembiayaan/kerjasama-usaha/musyarakah. diakses pada, 25 Mei 2014.

[36] Juliadi Rahman, op. cit.

[37] Ibid.
[38] Sarini Murni Asih, Staff Marketing PT. Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Banjarmasin, 26 Mei 2014.

[39] Ibid,

[40] Juliadi Rahman, op. cit.
[41] Sarini Murni Asih, op. cit.

[42] Ibid,

[43] Ibid,
[44] Juliadi Rahman, op. cit.
[45] Ibid,
[46] Ibid,
[47] Ibid,
[48] Juliadi Rahman, op. cit.
[49] Ibid.
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Sarini Murni Asih, op. cit.
[54] Juliadi Rahman, op.cit.
[55] Sarini Murni Asih, op.cit.
[56] Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 290.

[57] Juliadi Rahman, op.cit.
[58]  Dewi Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Parama Publishing, 2012), Cet. 1, h. 86-87.
[59]Ibid, h. 114.
[60] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
[61] Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laporan Keuangan Koperasi

  apa itu laporan keuangan ??? Laporan keuangan  sangat penting bagi koperasi. Laporan ini merupakan hal yang terkait dengan berjalannya k...