Minggu, 19 April 2015

nazhariyat mura’at al-mashlahah

A.    Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman dan bertambahnya ummat Islam diseluruh dunia, maka  dengan itu secara otomatis menambah timbulnya masalah-masalah fiqih baru . Untuk mejawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan tentang hukumnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, maka para pakar hukum Islam berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan cara ijtihad sebagaimana di ungkapkan dalam hadis Mu’adz yang terkenal itu. Namun, ijtihad itu tidak boleh lepas dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara (1) mengiaskan kepada yang sudah ada hukumnya didalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, (2) menggalinya dari aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip universal yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan (3) menyesuaikan dengan maksud dan tujuan syariat yang juga terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.[1]

Selasa, 31 Maret 2015

AYAT DAN HADIS PRODUKSI

A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan perekonomian, pastilah tidak terlepas dari tiga kegiatan yaitu, produksi[1], distribusi[2] dan konsumsi[3] dimana ketiganya saling terkait satu sama lainnya.
Produksi adalah sebuah proses yang terlahir di muka bumi ini semenjak manusia menghuni planet ini. Produksi sangat prinsip dalam kelangsungan hidup dan juga peradaban manusia dan bumi. Sesungguhnya produksi lahir dan tumbuh dari menyatunya manusia dengan alam. Maka untuk menyatukan manusia dan ala mini, Allah telah menetapkan bahwa manusia berperan sebagai khalifah. Bumi adalah lapangan dan medan, sedang manusia adalah pengelola segala apa yang diungkapkan oleh para ekonom tentang modal dan sistem yang tidak akan keluar dari unsur kerja dan upaya manusia.
Al-Ghazali menguraikan faktor-faktor produksi dan fungsi produksi dalam kehidupan manusia. Dalam uraiannya beliau sering menggunakan kata kasab dan islah.[4] Produksi barang-barang kebutuhan dasar secara khusus dipandang sebagai kewajiban sosial (fard al kifayah). Jika sekelompok orang sudah berkecimpung dalam memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang sudah mencukupi kebutuhan masyarakat, maka kewajiban kaseleruhan masyarakat sudah terpenuhi. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi, maka semua orang akan dimintai pertanggung jawaban diakhirat.[5]

Ayat dan Hadis Fiskal

(oleh: Ahmad)
A.    PENDAHULUAN

Dalam ekonomi konvensional, fiskal identik langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau pembelanjaan. Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan, yang didefenisikan sebagai adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan spritual manusia. Fiskal terutama ditujukan untuk mencapai alokasi sumber daya secara efesien, stabilitas ekonomi, pertumbuhan, dan distribusi pendapatan serta kepemilikan.
Fiskal dalam bahasa Latin disebut Fiscus yang  berasal dari nama pribadi pemegang keuangan pertama pada zaman Kekaisaran Romawi, secara harfiah dapat diartikan sebagai "keranjang" atau "tas", dalam bahasa inggris dikenal dengan  fisc yang berarti perbendaharaan negara atau kerajaan. Fiskal digunakan untuk menjelaskan bentuk pendapatan Negara atau kerajaan yang dikumpulkan berasal dari masyarakat dan oleh pemerintah digunakan sebagai pengeluaran dengan program-program untuk menghasilkan pencapaian terhadap pendapatan nasional, produksi dan perekonomian serta digunakan pula sebagai perangkat keseimbangan dalam perekonomian. Dua unsur utama fiskal modern adalah perpajakan dan pengeluaran publik.
Dalam makalah ini, penulis mencoba memaparkan bagaimana sebenarnya posisi kebijakan fiskal, bagaimana fiskal di masa pemerintahan Rasulullah, bagaimana fiskal di masa pemerintahan sahabat (khalifah), dan bagaimana formulasi kebijakan fiskal di Era Modern, dengan disertai dalil Al-Qur’an dan hadits.
B.     POSISI KEBIJAKAN FISKAL
Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi islam bila dibandingkan dengan kebijakan moneter.[1] Kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, mobilisasi sumber daya, penentuan harga barang dan jasa dari perusahaan.[2]
Menurut Samuelson dan Nordhaus, kebijakan fiskal adalah proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran masyarakat dalam upaya menekan fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah.[3]
Kebijakan fiskal sangat tergantung pada dua instrument, yaitu pendapatan dan pengeluaran. Kinerja kebijakan fiskal antara satu Negara dengan Negara lainnya kemungkinan akan berbeda karena didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai dan falsafat ekonomi yang dianut. Dalam masyarakat ekonomi tertinggal, kebijakan fiskal bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka investasi dan menjaga keseimbangan harga menjadi prioritas utama. Sedangkan dalam masyarakat ekonomi kapitalis, kebijakan fiskal akan terfokus pada pencapaian dan penstabilan ekonomi serta pemanfaatan atau kesempatan penuh tenaga kerja.[4]
C.    KEBIJAKAN FISKAL DI MASA RASULULLAH
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Rasulullah berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al-Quran yang merupakan sumber utama ajaran islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk dibidang ekonomi.[5]
 1. Pendapatan Negara
Hingga tahun ke-2 H sumber pendapatan Negara hampir tidak ada, namun Perang Badar yang terjadi di masa itu membuat Negara mempunyai pendapatan dari seperlima rampasan perang (ghanimah) yang disebut dengan khums, sesuai firman Allah dalam Q.S. Al-Anfal (8) ayat 41: 
Artinya: “ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[6]
Pendapatan lain yang diperoleh akibat Perang Badar yakni uang tebusan tawanan perang. Rasulullah menetapkan uang sebesar 4.000 dirham untuk setiap tawanan Perang Badar. Terhadap tawanan yang miskin dan tidak dapat membayar sejumlah uang tersebut, Rasulullah meminta mereka untuk mengajar membaca 10 orang anak muslim.
Ghanimah berbeda dengan fay’i yaitu harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa terjadinya pertempuran.  
Artinya: “dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Pada tahun ke-2 H Allah juga mewajibkan kaum muslimin menunaikan zakat fitrah pada setiap bulan ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma. Tepung, keju lembut, atau kismis; atau setengah sha’ gandum, untuk setiap muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan sholat ‘id.[7]
Awal tahun ke-4 H, Negara memperoleh pendapatan dari Bani Nadhir, suku bangsa yahudi yang tinggal di pinggiran Madinah. Karena berusaha membunuh Rasulullah, maka mereka dipaksa meninggalkan Madinah hanya dengan membawa harta benda sebanyak daya angkut unta-unta mereka, kecuali beberapa peralatan perang seperti baju baja dan senjata.
Pada tahun ke-7 H penduduk Khaibar yang memerangi kaum Muslimin berhasil dikalahkan. Mereka menyerah dengan syarat dan berjanji meninggalkan tanahnya namun memohon izin untuk berada di sana serta mengolah tanah tersebut. Rasulullah menerimanya dan setiap tahun Abdullah bin Rawahah yang diangkat Rasulullah sebagai pengawas datang ke Khaibar untuk menaksir hasil produksi dan membaginya menjadi dua bagian yang sama banyak.[8]Hal ini disebut dengan kharaj.
Selain itu diterapkan juga ushr sebagai bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya sekali dalam setahun serta hanya berlaku terhadap barang-barang yang bernilai lebih dari 2000 dirham. Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang non muslim yang dilindungi sebesar 5%, sedangkan pedagang muslim sebesar 2,5%.
Pada tahun ke-9 H Allah mewajibkan zakat mal, sesuai dengan Q.S. At-Taubah ayat 60

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[9]

Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:
a.       Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya. Ditentukan berdasarkan beratnya.
b.      Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya. Ditentukan berdasarkan beratnya.
c.       Binatang ternak, seperti unta, sapi, domba dan kambing. Ditentukan berdasarkan jumlahnya.
d.      Berbagai jenis barang dagangan, termasuk budak dan hewan. Ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
e.       Hasil pertanian, temasuk buah-buahan. Ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
f.       Luqathah, harta benda yang ditinggalkan musuh. Ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
g.      Barang temuan. Ditentukan berdasarkan kuantitasnya.[10]
Rasulullah juga menerapkan jizyah yakni pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, dan tidak wajib militer. Besarnya Jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (Q. S. At-taubah: 29).[11]
  


Adapula sumber-sumber pendapatan lainnya yang bersifat sekunder. Diantaranya adalah:
a.       Uang tebusan para tawanan perang.
b.      Pinjaman-pinjaman untuk pembayaran diyat kaum Muslimin Bani Judzaimah atau sebelum pertempuran Hawazin sebesar 30.000 dirham (20.000 ribu dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofyan bin Umayyah.
c.       Khums dan rikaz atau harta karun.
d.      Amwal fadilah, yakni harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau harta seorang muslim yang telah murtad dan pergi meninggalkan negaranya.
e.       Wakaf, yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang Muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatannya akan disimpan di Baitul Mal.
f.       Nawaib, yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum Muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat, seperti yang pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
g.      Zakat fitrah.
h.      Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kafarat. Kafarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang Muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah, seperti berburu pada musim haji.
 2. Pengeluaran Negara
 Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa pemerintahan Rasulullah belum penulis temui. Namun kesimpulan untuk hal-hal tersebut antara lain:[12]

a.       Pengeluaran Primer
1)      Biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan
2)      Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Qur’an, termasuk para pemungut zakat.
3)      Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat Negara lainnya.
4)      Pembayaran upah para sukarelawan.
5)      Pembayaran utang Negara.
6)      Bantuan untuk musafir (dari daerah fadak).
b.      Pengeluaran Sekunder
1)      Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.
2)      Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
3)      Hiburan untuk para utusan suku dan Negara serta biaya biaya perjalanan mereka.
4)      Hadiah untuk pemerintah Negara lain.
5)      Pembayaran untuk pembebasan kaum Muslim yang menjadi budak.
6)      Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan kaum Muslimin.
7)      Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
8)      Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
9)      Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah.
10)  Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya sejumlah kecil, 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya).
11)  Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan Khaibar).
D.    KEBIJAKAN FISKAL DI MASA SAHABAT
 1. Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq
Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan umat Islam Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq melaksanakan beberapa hal terkait kebijakan fiskal yakni antara lain:[13]
-          Beliau beserta keluarga mendapat alokasi dana Baitul Mal dikarenakan smenjak menjabat sebagai pemimpin Negara, hasil perdagangan beliau dirasa kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup beliau dan keluarga. Namun beberapa waktu sebelum ajalnya, beliau memerintahkan menjual sebagian  tanahnya dan hasil penjualan diberikan kepada Negara.
-          Beliau sangat memerhatikan keakuratan perhitungan zakat sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya.
-          Beliau membagikan tanah hasil taklukan, sebagian untuk kaum muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi tanggungan Negara.
-          Beliau memberikan jumlah yang sama kepada sahabat yang lebih dahulu memeluk islam dengan sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita. Menurut beliau prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.
-          Beliau tidak membiarkan harta di Baitul Mal menumpuk dalam jangka waktu yang lama, bahkan ketika beliau wafat hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan Negara.
-          Beliau tidak membiarkan seorang pun dalam kemiskinan, sehingga berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan pendapatan nasional.
 2. Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab, pendapatan Negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Beberapa kebijakan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab yakni:[14]
-          Beliau mengembangkan Baitul Mal sehingga menjadi lembaga yang regular dan permanen, serta dilengkapi dengan sistem administrasi yang baik dan tertata rapih. Harta yang tersimpan dalam Baitul Mal diberikan kepada yang berhak dan untuk kemaslahatan umat.
-          Beliau membentuk sistem diwan dan menunjuk sebuah komite nasab untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya, dimulai dari orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan nabi, untuk nantinya diberikan dana tunjangan per tahun yang besarannya berbeda-beda.
-          Beliau menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal dengan berpendapat bahwa keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya. Namun kemudian beliau menyadari cara tersebut berdampak negatif terhadap strata sosial dan kehidupan masyarakat. Belian wafat sebelum sebelum sempat mengubah kebijakannya.
-          Beliau tidak membagi-bagikan tanah hasil taklukkan kepada kaum muslimin tetapi membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj dan jizyah (kecuali wilayah irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik muslim). Apabila tanah tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya maka Negara berhak untuk mengambil alih dengan memberikan ganti rugi secukupnya.
-          Beliau menetapkan penarikan zakat dari kuda karena pada masa itu perdagangan kuda meningkat pesat dan mengalihkan peran kuda dari binatang konsumtif menjadi produktif, juga terhadap war (sejenis rumput herbal yang digunakan untuk membuat bedak dan parfum) dan karet yang ditemukan di semenanjung Yaman.
Pengelompokan pendapatan Negara pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn                  Al-Khattab:[15]
Sumber Pendapatan
Pengeluaran
Zakat dan ushr
Pendistribusian untuk masyarakat setempat, jika ada surplus maka surplus tersebut disimpan
Khums dan shadaqah
Fakir miskin dan kesejahteraan
Kharaj, fay, jizyah, ushr, sewa tetap
Dana pensiun, dana pinjaman (allowance)
Pendapatan dari semua sumber
Pekerja, pemelihara anak terlantar dan dana sosial.

 3. Pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan pemerintahan dan situasi Negara cenderung kacau. Beberapa hal terkait kebijakan fiskal masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan antara lain:[16]
-          Pembangunan irigasi perairan
-          Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan Negara terutama keamanan perdagangan
-          Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan.
-          Meningkatkan anggaran pertahanan dan kelautan serta meningkatkan dana pensiun serta dana pembangunan di wilayah taklukan baru
-          Membuat beberapa perubahan administrasi dan meningkatkan kharaj dan jizyah dari mesir.
 4. Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib sering mendapat perlawanan dan pemberontakan terutama dari Muawiyah sehingga berdampak pada pendapatan Negara yang mengalami penurunan. Secara umum beberapa kebijakan fiskal yang dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah:[17]
-          Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada Baitul Maal sama dengan kebijakan yang dilakukan pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, tetapi berbeda dengan kebijakan Umar yang menyisihkan untuk cadangan.
-          Pengeluaran angkatan laut dihilangkan, karena daerah pesisir pantai di bawah kekuasaan Muawiyah. Namun pengeluaran atau anggaran untuk polisi tetap dipertahankan yang bertujuan untuk menjaga keamanan Negara.
-          Adanya kebijakan pengetatan anggaran Negara.

E.     FORMULASI KEBIJAKAN FISKAL DI ERA MODERN
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang sangat penting dalam sebuah negara. Secara umum, penentuan kebijakan pendapatan Negara hendaknya berpedoman pada:
1.      Nash yang memerintahkan. Setiap pendapatan dalam Negara harus diperoleh dan disalurkan sesuai dengan hukum-hukum syara’.

Artinya: “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 188).

2.      Harus ada pemisah antara muslim dan  non muslim. Islam membedakan antara subjek zakat dan pajak muslim dengan non-muslim.
3.      Hanya golongan kaya yang menanggung beban. Sistem zakat dan pajak harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan makmur yang mempunyai kelebihan yang memikul beban utama.
4.      Adanya tuntutan kemaslahatan umum. Kemaslahatan umum mesti didahulukan untuk mencegah kemudharatan. Atas dasar tuntutan umum inilah, Negara boleh mengadakan suatu jenis pendapatan tambahan.
اً لإ ما م ر ا ع و هو مسؤ و ل عن عيته (رواه مسلم)
“seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyat.” (H. R. Muslim).

Sebagaimana halnya penerimaan, pengeluaran Negara juga memiliki beberapa prinsip yang harus dipedomani, antara lain:
1.      Tujuan pengeluaran kekayaan Negara telah ditetapkan langsung oleh Allah Swt.
2.      Apabila ada kewajiban tambahan, maka harus digunakan untuk tujuan semula kenapa ia dipungut.
3.      Adanya pemisahan antara pengeluaran yang wajib diadakan di saat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran yang wajib diadakan hanya di saat adanya harta. Contohnya seperti pengeluaran zakat hanya di saat adanya harta zakat, pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan atau mendanai jihad adalah di saat ada maupun tidak adanya harta, pengeluaran untuk kompensasi harus dibayar di saat ada maupun tidak adanya harta, dan lain-lain.
4.      Pengeluaran harus hemat. Pengeluaran haruslah ditujukan untuk hal-hal yang jelas bermanfaat dan hemat serta tidak boros.

Artinya: “dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q. S. Al-Furqan: 27)

Kebijaksanaan fiskal fase awal dan modern secara ringkas tergambar pada tabel:[18]
Kebijaksanaan fiskal pemerintahan islam fase awal (balance budget)
Kebijaksanaan fiskal pemerintahan islam fase modern (defesit budget)
-          Tidak ada utang
-          Pengeluaran sebanyak penerimaan yang ada
-          Berhutang ke lembaga/ Negara lain
-          Pengeluaran sebanyak yang diperlukan (APBN)
Alasan:
-          Tidak boros
-          Takut riba
-          Tidak meninggalkan beban generasi mendatang
Alasan:
-          Sumber daya alam perlu diolah
-          Percepatan pertumbuhan ekonomi
Akibat:
-          Penerimaan bersifat statis
-          Pertumbuhan ekonomi rendah
-          Sumber daya alam tidak tergali maksimal karena tidak ada modal
Akibat:
-          Jenis penerimaan Negara bertambah (ijtihad)
-          Pertumbuhan ekonomi meningkat
-          Sumber daya tergali secara maksimal

Pada era modern, jika dalam kebijakan fiskal di sebuah Negara terjadi defesit anggaran, maka solusi kebijakan untuk mengatasinya antara lain:
1.      Melakukan pinjaman/ utang, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
2.      Mencetak uang untuk memenuhi kebutuhan anggaran yang mendesak
3.      Melakukan kebijakan pengeluaran uang yang ketat
4.      Menaikkan tingkat pajak.
Sedangkan Islam sangat menghindari pemerintah atau individu untuk melakukan utang demi memenuhi kebutuhannya, dikarenakan beberapa alasan yaitu:
1.      Dengan melakukan utang, maka kemandirian perekonomian suatu Negara akan terganggu.
2.      Berutang bukanlah solusi terbaik, karena adanya biaya atas modal (cost of capital) yang harus dibayar.
3.      Kewajiban mencicil pinjaman berikut bunganya akan menimbulkan tekanan ke atas kestabilan neraca pembayaran.
Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid al-maliyyah li al-dawlah). Beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut:[19]
1.      Wahhab Khalaf : Sumber pendapatan Negara ada dua yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan pendapatan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari zakat, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan atas non-Muslim), dan ushr (pajak ekspor dan impor). Sedangkan pendapatan tidak rutin adalah pemasukan tak terduga seperti dari ghanimah dan fa'i (harta rampasan perang), ma'adin (seperlima hasil tambang) dan rikaz (harta karun), harta peninggalan dari pewaris yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya.
2.      Sabahuddin Azmi : Sumber pendapatan negara dibedakan melalui tujuan alokasinya yakni pendapatan ghanimah, pendapatan shadaqah, dan pendapatan fa'i.
3.      Ibn Taimiyyah : Menggaris bawahi bahwa sumber penerimaan keuangan negara terdiri dari tiga kategori, yaitu ghanimahsadaqah dan fa'i.
Beberapa ekonom yang berpendapat bahwa pajak adalah solusi akibat penerapan sistem anggaran defesit:[20]
-          M. A. Mannan: Negara islam harus menerima konsep anggaran defesit. Defesit diatasi dengan merasionalisasi struktur pajak atau mengambil utang perbankan namun dengan cara syari”ah (mudharabah, musyarakah, dan murabahah).
-          M. Umer Chapra: Negara-negara muslim harus memakai anggaran defesit untuk pertumbuhan. Defesit diatasi dengan mereformasi sistem perpajakan namun menolak utang karena akan menimbulkan beban berat bagi generasi mendatang.
-          Abdul Qadim Zallum: Anggaran Negara muslim saat ini sudah begitu berat dan besar tanggungjawabnya, pendapatan sumber tradisional tidak lagi memadai. Defesit diatasi dengan melakukan penguasaan BUMN dan menetapkan pajak kepada umat, sedangkan utang adalah haram (riba).
Kebijakan fiskal saat ini bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dengan mengalokasikan sumber daya secara efisien, menjaga stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan distribusi, tujuan ini menjunjung nilai benefit utama individual tanpa melihat aspek lain. Berbeda dengan gagasan Ekonomi Islam dimana kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, tujuan utama dalam kebijkan fiskal bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.[21]
Dalam kebijakan fiskal modern, pajak merupakan sumber pendapatan Negara yang paling utama. Melalui pajak, pemerintah berupaya untuk mencapai tingkat pendapatan atau kesempayan kerja penuh, serta stabilisasi tingkat harga (inflasi).
Ulama masih berbeda pendapat mengenai kebolehan pemungutan pajak untuk muslim. Mayoritas fuqaha menyatakan tidak ada kewajiban lain  atas harta selain zakat dengan merujuk pada hadist yang artinya:[22]
“seorang laki-laki penduduk Nejd datang menghadap Rasulullah Saw. Ia berambut kusut masai dan suaranya parau, kelihatan bagai orang dungu. Setelah dekat dengan Rasulullah Saw., ia pun bertanya kepada beliau tentang islam. Rasulullah Saw. berkata: ”islam itu ialah mengerjakan shalat lima kali sehari semalam. Orang itu berkata: “apakah ada kewajiban lain?” beliau menjawab: “tidak ada kecuali engkau lakukan shalat sunat dan puasa Ramadhan. Ia bertanya lagi: “apakah ada kewajiban puasa selain itu? Beliau menjawab: “tidak, kecuali jika kamu melakukan puasa sunat.” Kemudian Rasulullah Saw. menyebut kewajiban zakat. Ia bertanya lagi: “apakah ada kewajiban lain di luar zakat? “beliau menjawab: “tidak ada, kecuali shadaqah sunnat.” Lalu ia mundur sambil berkata: “saya tidak akan menambah atau menguranginya. “Rasulullah Saw. berkata: “beruntunglah jika ia benar (ia akan masuk surge kalau benar).” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan ulama yang membolehkan pajak antara lain:[23]
-          M. Umer Chapra, dalam Islam and The Economic Challenge menyatakan:
“Hak Negara  islam untuk meningkatkan sumber-sumber daya lewat pajak di samping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha yang pada prinsipnya telah mewakili semua mazhab fiqih. Hal ini disebabkan karena dana zakat diperguakan pada prinsipnya untuk kesejahteraan kaum miskin, padahal Negara memerlukan sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi-fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif.”

-          Hasan al-Banna, dalam bukunya Majmuatur-Rasa’il mengatakan:
“Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata, maka sistem perpajakan progresif tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran islam.”

Kebijakan fiskal pada masa awal islam lebih menonjolkan zakat sebagai pemeran penting untuk mencapai tujuan kebijakan fiskal, yaitu membiayaai pengeluaran pemerintah dan untuk melakukan fungsi pengaturan dalam frangka mencapai tujuan ekonomi tertentu seperti pertumbuhan ekonomi dan penciptaan investasi serta lapangan kerja.[24]
Zakat sebenarnya memiliki potensi yang perlu diperhitungkan dalam membangun perekonomian sebuah Negara. Melalui Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Pemerintah Indonesia menerangkan mengenai tata cara pembentukan Lembaga Zakat (BAZNAS/ LAZ/ UPZ) untuk menampung dan mengelola zakat yang ditunaikan oleh masyarakat muslim Indonesia, namun kurang merinci perihal siapa yang wajib zakat (Muzakki) dan siapa yang berhak mendapat zakat (Mustahiq Zakat). Padahal Berdasarkan riset yang dilakukan BAZNAS bersama IPB dan Islamic Development Bank (IDB), potensi zakat Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun per tahun. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) menargetkan peningkatan penerimaan zakat di tahun 2015 sebesar 15-35 persen, mengalami peningkatan Rp 1 triliun dibandingkan dengan penerimaan zakat tahun 2014 yang mencapai Rp. 3,2 triliun.[25]
F.     KESIMPULAN
-          Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran Negara yang diatur oleh pemerintah.
-          Rasulullah berpedoman dengan Al-Qur’an terhadap penentuan kebijakan fiskal, seperti Q.S. Al-Anfal ayat 41 tentang ghanimah, Q.S. Al-Hasyr ayat 6 tentang fay’i, Q.S. At-Taubah ayat 29 tentang jizyah dan Q.S. At-Taubah ayat 60 tentang zakat.
-          Diantara para khalifah (empat sahabat pengganti Rasulullah) terjadi perbedaan perkembangan kebijakan fiskal sesuai dengan kepribadian khalifah dan keadaan Negara ketika khalifah tersebut memimpin, namun para khalifah tetap membuat kebijakan fiskal secara islami dan bermanfaat untuk kemaslahatan umat.
-          Kebijakan fiskal pada fase awal islam menganut sistem Balance Budget (anggaran dibuat sejumlah penerimaan yang ada) yang lebih menonjolkan peran zakat, sedangkan pada fase modern menganut sistem Defesit Badget (anggaran dibuat berdasarkan apa yang dibutuhkan, lalu dicari sumber penerimaannya) yang menekankan fungsi dari hutang dan pajak.
-          Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan pajak, masing-masing mereka mempunyai landasan dalil Al-Qur’an dan Hadits. Namun terlepas dari perbedaan pendapat yang timbul berdasarkan ijtihad atau kias karena memang belum ditemukan kejelasan nash yang menerangkannya, maka kita sebagai warga Negara diwajibkan patuh kepada peraturan yang dibuat pemerintah demi keselamatan hidup di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Al Arif, M. Nur Rianto. Teori Makroekonomi Islam : Konsep, Teori, dan Analisis, Bandung: Alfabeta, 2010.
Grossman, Gregory. Sistem-Sistem Ekonomi, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Gusfahmi. Pajak  Menurut Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Muhammad, Abdullah bin. Lubabu Tafsir min Ibnu Katsir, Jakarta: Pusta Imam asy-Syafi’i, 2008.
Nasution, Mustafa Edwin.  Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2006.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suparmoko, M. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997
Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam : Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
http://www.radioalbanis.com/news/potensi-zakat-indonesia-rp-217-triliun.



[1] Mustafa Edwin Nasution,  Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 2004
[2] M. Suparmoko, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997), hlm. 257.
[3] Gregory Grossman, Sistem-Sistem Ekonomi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 62.
[4] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam : Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 159-160.
[5] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 28
[6] Ada enam pihak yang disebut dalam ayat tersebut, tetapi ulama berbeda pendapat kepada siapa diberikan bagian Allah? Ada yang mengatakan diperuntukkan bagi pemeliharaan Ka’bah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa ghanimah hanya dibagi lima bagian saja. Allah dan Rasul hanya satu bagian dan ini digunakan untuk kepentingan masyarakat muslim, sedang empat bagian yang lain untuk sisanya yang telah disebutkan. Imam Malik berpendapat bahwa pembagian harta rampasan perang diserahkan kepada kebijaksanaan penguasa, dia menyisihkan seberapa yang sesuai. Penguasa yang berwenang memberi kepada kerabat Rasul apa yang sewajarnya dan membagi sisanya untuk kepentingan kaum muslimin. Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang disebut kerabat Rasul. Imam Malik membatasinya pada keturunan Bani Hasyim, sedang Imam Syafi’i dan Imam Ahmad selain Bani Hasyim, juga memasukkan Bani al-Muththalib. Ketetapan Allah member bagian dari ghanimah buat kerabat Rasul adalah sebagai penghormatan kepada Rasul saw. Dan sebagai imbalan atas ketetapan Rasul saw. Yang mengharamkan keluarga beliau memeroleh zakat. Abu Hanifah menegaskan bahwa pemberian itu baru menjadi hak keluarga Nabi jika mereka miskin. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 41.)
[7] Adiwarman. Op Cit, hlm. 39
[8] Ibid, hlm. 43
[9] Masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama terkait rincian dari delapan golongan yang berhak menerima zakat, seperti golongan  fii sabilillah yang menurut ulama terdahulu hanya untuk perorangan dan kebutuhannya dalam memperjuangkan islam, sedangkan ulama kontemporer memasukkan kegiatan sosial keislaman menjadi bagian di dalamya (seperti membangun lembaga pendidikan dan tempat ibadah). . (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 142-148).
[10] Ibid, hlm. 47.
[11] Ayat ini adalah ayat yang pertama kali memerintahkan kaum muslimin memerangi Ahli Kitab. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa jizyah (upeti) itu tidak dipungut kecuali dari orang-orang ahli kitab dan semisalnya seperti orang Majusi. Pendapat ini dianut oleh Imam Asy-Syafi’i  dan Imam Ahmad dari riwayat yamh masyhur (Abdullah bin Muhammad, Lubabu Tafsir min Ibnu Katsir, (Jakarta: Pusta Imam asy-Syafi’i, 2008), hlm. 116). Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa jizyah dipungut dari semua non muslim yang bukan Arab, kecuali dari orang-orang ahli kitab. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa diperbolehkan memungut jizyah dari semua orang kafir, Ahli Kitab, Majusi, penyembah berhala dan lain-lain.
[12] Ibid, hlm. 51.
[13] Ibid, hlm. 54-57.
[14] Ibid, hlm. 58-77.
[15] M. Nur Rianto al Arif. Teori Makroekonomi Islam : Konsep, Teori, dan Analisis, (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 165.
[16] Ibid, hlm. 166.
[17] Ibid, hlm. 167.
[18] Gusfahmi. Pajak  Menurut Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007), hlm. 160.
[20] Gusfahmi, Op Cit, hlm. 167
[22] Gusfahmi, Op Cit, hlm. 170.
[23] Ibid, hlm. 184-185
[25] http://www.radioalbanis.com/news/potensi-zakat-indonesia-rp-217-triliun

Laporan Keuangan Koperasi

  apa itu laporan keuangan ??? Laporan keuangan  sangat penting bagi koperasi. Laporan ini merupakan hal yang terkait dengan berjalannya k...