Ada banyak produk penghimpunan dan penyaluran dana yang secara
teknis-finansial dapat dikembangkan sebuah lembaga keuangan islam. Hal ini
dimungkinkan karena sistem syariah memberi ruang yang cukup untuk itu. Namun
dalam praktek, sebagian besar lembaga keuangan syariah masih membatasi diri
dengan hanya menerapkan beberapa produk saja yang dianggap aman dan Profitable.
Dalam memobilisasi dana misalnya, pihak lembaga
lebih menyukai produk bagi hasil “Mudharabah” dengan pertimbangan
tidak terlalu berisiko karena kapasitasnya sebagai Mudharib, serta
relatif mudah dalam penerapannya. Tetapi sayangnya, bila harus menyalurkan
kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemberian fasilitas pembiayaan kepada
nasabah, pihak lembaga keuangan syariah lebih mengedepankan produk Murabahah
dengan alasan, produk tersebut dapat lebih memberi jaminan perolehan keuntungan
dengan jumlah memadai berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada saat
perjanjian ditandatangani. Hanya saja dalam praktik, keadaan ini sering sekali
berjalan dengan mengingkari prinsip-prinsip murabahah, seperti objek barang
yang tidak jelas keberadaannya maupun ukuran-ukurannya.
Sebenarnya, separti yang dijelaskan diatas, terdapat banaya kproduk
yang secara teknis-finansial dapat dikembangakan oleh lembaga keuangan syariah
untuk menjalankan usahanya, seperti penghimpunan dana Wadi’ah,
penghimpuanan dan penyaluran dana Mudharabah, Musyarakah, serta Murabahah.
Adapu pokok-pokok lain separti, Bai’ Salam, Ijarah, Ijarah Wa itqina,
hiwalah, Sarf, qard dan seterusnya, lembaga keungan yang disebutkan
berbasis islam tersebut belum terbiasa menerapkannya.
Oleh karena itu, paparan mengenai produk-produk lembaga keuangan
syariah dan prakteknya lebih terfokuskan pada empat hal saja, yaitu :
a.
Penghimpuanan Dana Wadi’ah Yad Dhamanah
Dalam kegiatan penghimpuanan dana dari masyarakat, lembaga keuangan
syariah dapat menawarkan produk jasa wadi’ah, yang dari segi kebahasaan
berarti titipan. Aqad wadiah tergolong dari bagian aqad tabarru’, yakni akad
yang mengandung kebajikan karena mengandung unsur tol9ong menolong antar sesama
manusia dalam lingkungan sosialnya.
Prinsip dasar wadiah menyebutkan bahwa seorang penitip barang wajib
membayar seluruh biaya yang dikeluarkan oleh yang dititipi, secara otomatis,
untuk keperluan memelihara barang titipan tersebut, disamping imbalan jasa
dalam jumlah yang sesuai dengan kadar kepatutan atau berdasarkan kesepakatan
diawal antara kedua belah pihak ketika perjanjian wadi’ah dibuat.
Demikian juga dalam hal pengarahan dana Wadi’ah, pada perinsipnya
pihak lembaga boleh memungut biaya administrasi kepada nasabah, karena ini
menjadi haknya, dan nasabah wajib memenuhi sebagai imbalan jasa yang diberikan
untuk memelihara keamanan harta (dana) yang diditipkan nasabah kepadanya.
Adapun besarnya biaya administrasi, kadarnya ditentukan berdasarkan parameter
yang wajar dalam dunia perbankan.
Dalam rangka pengerahan dana ini, atas seijin penitip (nasabah),
pihak lembaga dapat mengelolanya untuk tujuan komersial, sehingga bila
diperoleh keuntungan pihak lembaga dapat m,emberikan hibbah (bonus) yang
besarnya tidak boleh ditetapkan secara pasti dimuka dengan kalkulasi
angka-angka rupiah ataupun presentasi atas nilai pokok dana wadiah. Sebaliknya
bila kerugian yang didapat, pihak lembagalah yang menaggung kerugian tersebut,
sehingga wadiah seperti ini lazim dikenal dalam istilah fiqih dengan sebutan Wadi’ah
yad ad-dhamanah, (titipan dengan resiko ganti rugi).
Dalam praktiknya, sebagian pengelola lembaga keuangan syariah
menyebut bonus wadi’ah sebagai istilah Bagi Hasil yang besarnya
ditentukan dimuka atas dasar perhitungan persentase angka-angka rupiah serta
dengan membandingkan besaran bunga tabungan yang diberikan oleh bank
konvensional dalam menarik minat caln nasabah. Hal ini dilakukan karena pihak
pengelola merasa kesulitan ketika harus menjelaskan dengan semestinya prinsip
wadi’ah dalam ajaran syariah, sementara pada saat yang sama pengetahuan
ke-syariahan nasabah sendiri masih sangat rendah. Dismping itu ditemukan pula
bukti bahwa sebagian besar pengelola lembaga keuangan syariah melakukan hal
sama karena kurang percaya diri dan menganggap pola yang ditawarkan lembaga
keuangan syariah tidak lebih efektif daripada yang dilakukan bank konvensional.
b.
Penghimpunan dan Penyaluran Dana Mudharabah
Mudharabah merupakan wahana utama bagi perbankan syariah
untuk memobilisasi dana masyarakat yang terserak dalam jumlah besar dan untuk
menyediakan berbagai fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan bagi para
pengusaha.
Mudharabah adalah salah
satu aqad kerjasama kemitraan yang berdasarkan prinsip berbagi untung dan rugi
(profit and loss sharing principle), yang dilakukan sekurang-kurangnya
oleh dua belah pihak, dimana pihak yang pertama memiliki dan menyediakan modal,
sedang pihak yang kedua memiliki keahlian dan beratanggung jawab atas
pengelolaan dana/ manajemen usaha halal tertentu. Dasar perjanjian Mudharabah
adalah kepercayaan murni, sehingga dalam rangka pengelolaan dana oleh pihak
ke-2, pihak pemilik modal tidak diperkenankan mengintervensi dalam bentuk apapun
selain hak melakukan pengawasan untuk menghindari pemanfaatan dana diluar
rencana yang disepakati, serta bagaimana antisipasi bagaimana terjadinya
kecerobohan dan atau kecurangan yang dapat dilakukan pengelola.
Pada dasarnya manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi
dikemudian hari. Manusia hanya mampu berusaha, namun tuhanlah jua yang berhak
menentukan hasilnya. Atas dasar itulah penentuan keuntungan dimuka (keuntungan
Pasti)dalam bentuk dan cara bagaimana pun, sebelum usaha nasabah dijalankan,
merupakan bagian dari mendahului kehendak tuhan, dan ini bertentangan dengan
ajaran agama. Namun sedemikian fakta dilapangan menunjukan bahwa sebagian
pngelola perbankan syariah menggunakan cara konvensional dalam memasarkan
produknya. Merekan menghimpun dana tabungan dan deposito Mudharabah
dengan menjanjikan pemberian keuntungan tetap setiap bulan pada nasabah, baik
diminta ataupun tidak, selama jangka waktu tertentu, misalnya tiga, enam,
ataupun dua belas bulan dan sebagainya.
Fakta lain juga menunjukan, rata-rata pengelola perbankan syariah
merasa kesulitan dalam menawarkan prodduk penghimpunan dan mudharabah kepada
masyarakat. Mereka hampir selalu gagal memeberikan jawaban yang memuaskan
ketika calon nasabah menanyakan “Berapa besar bagi hasil (keuntungan tetap)
yang saya terima setiap bulan jika saya menyimpan dana saya sekian di bank ini
?”.
Persoalannya adalah, ketika jawaban pertanyaan tersebut diberikan
sesuai prinsip syariah, calon nasabah cenderung meragukan dan menganggap Mudharabah
berpotensi mengancam keselamatan dananya, atau paling tidak ia diyakini tidak
memeberi jaminan perolehan keuntungan atas dana yang dipercayakan untuk
dikelola secara syariah tersebut. realita demikian membverikan doronngan pada
pihak pengelola yang kuarang kreatif dan tidak hati-hati dalam mengikuti
petunjuk agama, untuk nekat menghalalkan segala cara untuk menjual jasa-jasanya
kemasyarakat samapai akhirnyya praktek-praktek tersebut dibiarkan terus
berlanjut sehingga menjadi tradisi yang sulit dihilangkan. Dan pada akhirnya
dengan adanya tradisi seperti itu menimbulkan opinopini dalam masyakat
perbankan syariah yang belum tentu islami.
Adapun dalam hal penyaluran dana Mudharabah, pihak perbankan
bertindak sebagai pemilik dana dan nasabah sebagai pengelola. Pihak perbankan
memberikan kepercayaan penuh kepada nasabah untuk memanfaatkan fasilitas
pembiayaan berbagi hasil ini sebagai modal mengelola usaha halal tertentu dan Feasible.
Karena landasan dasar mudharabah ialah murni kepercayaan dari pemilik modal,
maka pihak perbankan dituntut ekstra hati-hati dan slektif terhadap pembiayaan
yang diajukan nasabah, lebih dari yang sewajarnya dilakukan. Hal ini penting
dikemukakan, karena sedikit saja kesalahan dilakukan, akibatnya fatal bagi
pihak bank mengingat produk mudharabah selalu terkait dengan prinsip berbagi
untung dan rugi.
Kendati demikian, guna meminimalkan risiko kerugian yang
ditimbulkan, pihak perbankan dapat memberikan batasan-batasan teretentu
mengenai jenis usaha, alokasi dana, waktu dan tempat dimulainya usaha dan
sebagainya, sepanjang tidak menyalahi prinsip dasar perjanjian Mudharaba
itu sendiri.
Hal lain yang peru diperhatikan adalah bahwa pihak perbankan tidak
boleh meminta jaminan kepada nasabah dalam bentuk apapun. Karena hal demikian
dianggap mengingkari kepercayaan yang menjadi esensi mudharabah, dan karena
pembiayaan ini bokanlah dalam konteks piutang bagi pihak bank. Oleh karena itu
statemen pengakuan hutang oleh nasabah dalam diktum perjanjian mudharabah tidak
boleh ada, dan pabila ada maka perjanjian tersebut batal demi hukum, karena
yang demikian itu mengandung pengertian adanya pembebanan resiko kerugian pada
satu pihak saja, yaitu nasabah.
Suatu kesalahan yang terjadi dalam praktik pelaksanaan pembiayaan
mudhrabah yang sering terjadi ialah dalm bentuk tidak terpenuhinya syarat dan
rukun mudharabah. Fakta dilapangan menjelaskan pada kita, beberapa lembaga
menerapkan ketentuan, nasabah penerima fasilitas pembiayaan diwajibkan
mengembalikan pokok berikut bagi hasinya secara berangsur setiap bulan.
Ironisnya,kendati dalam aqad disebut porsi bagi hasil yang dapat diperoleh
kedua pihak bila usaha mendapat untung, namun dalam praktik pihak perbankan
meminta keuntungan itu dalam hitungan angka-angka rupiah yang bersifat tetap.
c.
Penyaluran dana Murabahah
Murabahah adalah salah
satu produk penyaluran dan yang cukup digemari perbankan syariah karena
karakternya yang profitable, mudah dalam penerapan. Serta risk-faktor
yang ringan untuk diperhitungkan. Dalam penerapannya, Pihak bank berlaku
sebagai pembeli dan sekaligus penjual barang halal yang dibutuhkan nasabah.
Namun dalam praktek tidak semuanya benar sesuai prinsip syariah.
Ada beberapa diantaranya yang dalam peenerapan tidak memenuhi ketentuan yang
mutlak adanya menurut syariah. Seperti objek barang yang berstatus tidak jelas
atau bahkan tidak ada sama sekali. Fakta dilapangan sering menunjukan hal
demikian.
d.
Penyaluran Dana Musyarakah
Pada prinsipnya produk ini tidak banyak berbeda dengan mudharabah
karena keduanya merupakan bagian dari kemitraan antara dua pihak atau lebih
untuk mengelola suatu usaha halal tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai
porsi (Nisbah) yang disepakati bersama diawal perjanjian. Kedunaya berbeda
mengenai beberapa hal yaitu :
Dalam mudharabah, pemilik modal menyediakan seluruh modal/dana yang
dibutuhkan pihak pengelola untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu yang
halal atas dasar kepercayaan murni. Dan pihak pengelola dengan keahliannya bertanggung
jawab atas pengelolaan dana untuk keperluan membiayai usaha halal tertentu. Dan
pihak pemilik modal tidak diperkenankan mengintervensi dalam hal pengelolaan
dana tersebut dalam bentuk apapun, selain sekedar mengawasi guna mengantisipasi
resiko kerugian. Sedang dalam musyarakah kedua pihak ikut andil dalam
penyertaan modal, dan masing-masing dapat pula terjun langsung secara
bersama-sama dalam proses manajemen.
Penghimpunan dana musyarakah di pebankan syariah sebenarnya tidak
lazim, kecuali dalam bentuk penyertaan modal usaha oleh seseorang pada bank
atau oleh suatu bank ke bank lainnya. Dalam praktik pihak ketiga yang
menyertakan modalnya biasanya memberikan syarat agar dananya yang disertakan
dalam bank tidak merugi, dan bahkan tidak jarang mereka meminta keuntungan
pasti dalam jumlah tertentu setiap bulan kepada pihak bank sebelum dana
tersebut benar-benar dikelola. Selain itu, dalam praktik juga sering dijumpai
pengelola bank yang sengaja menawarkan produk penyertaan modal kepada pihak
lain yang diwujudkan dalam bentuk, semacam, saham penyertaan, dan iming-iming
bagi hasil tetap perbulan dalam jumlah yang besar, melebihi bunga deposito pada
bank konvensional pada umumnya. Di sinilah deviasi muncul karena salah satu
pihak tidak bersedia menanggung beban kerugian bila usaha yang dijalankan pihak
lain diluar dugaan merugi.
Demikian juga openyaluran dana. Pihak bank kesulitan menerapkan
produk muyakah secara konsekuen, kendati sebenarnya risk-factor yang
menyertai relatif lebih ringan dibanding produk mudharabah karena nasabah telah
menyediakan sebagian modalnya untuk keperluan pengelolaan usaha. Dari fakta
dilapangan dapat diketahui, bahwa beberapa bank syariah menerapkan produk
musyarakah dengan cara, mula-mula petugas bank menawarkan besarnya bagi hasil
tetap perbulan kepada calon nasabah dalam jangka waktu tertentu, selanjutnya
pabila tawaran tersebut disepakati, banka akan merealisasikan akad pembiayaan
musyarakah kepada nasabah. Fakta lain menjelaskan juga kepada kita, terdapat
bank yang aplikasi produk musyarakahnya dilakukan dengan pengajuan syarat agar
usaha yang dikelola nasabah tidak merugi. Bila kemudian kenyataan berbicara
lain, dalam artian kerugian yang diluar dugaan, pihak bank hanya menuntut
pengembalian pokok pembiayaan yang diberikan. Ini sering dikatakan orang bahwa
bank syariah mau berbagi hasil namun tidak mau berbagi kerugian.
Þ Makhalul Ilmi SM. TEORI DAN PRAKTEK LEMBAGA MIKRO KEUANGAN
SYARIAH,Beberapa Permasalahan dan Alternatif solusi. Yogyakarta:UII Press, 2002