BAB I
A.
Latar Belakang Masalah
Tanah adalah salah satu kebutuhan manusia yang cukup fital,dari
hidup hingga meninggal pun manusia membutuhkan tanah. Namu seiring dengan
perkembangan zaman populasi penduduk semakin berkembang & bertambah banyak,
sehingga meningkatlah pula kebutuhan manusia terhadap tanah serta penduduk yang
ingin mendayagunakan tanah (Ihya Almawat) sebagai tempat tinggal, tempat usaha
(perkebunan, pertokoan Dll). Namun, keinginan tersebut tidak bisa diimbangi oleh
keadaan tanah yang terbatas. Dengan keadaan yang demikian tanpa adanya
peraturan yang tegas tentang hal tersebut, maka tanah sering menjadikan
malapetaka bagi manusia, baik yang disebabkan karena Perebutan hak yang
menimbulkan perselisihan (Sengketa), ataupun pendaya gunaan yang salah terhadap
tanah tersebut. mengenai hal ini, maka akan diuraikan beberapa hal tindakan
pemerintah guna terjadinya perselisihan, serta akan sedikit dijelaskan bagaiana
prosedur penyelesaian kasus sengketa tersebut.
B.
Pengertian Ihya Almawat & Dasar Hukumnya
Terdapat banyak berbagai pendapat Ulama Mengenai Pengertian Ihyaul
Mawat ini, diantaranya menurut Sulaiman Rasyid dalam Fiqh Islam bahwa yang
dimaksud Ihyaul Mawat adalah membuka tanah baru.[1]Serta
dalam Literartur lain, Menyebutkan bahwa Ihyaul Mawat ialah orang muslim
pergi ketanah yang tidak dimiliki siapapun, kemudian memakmurkannya dengan
memakmurkannya dengan menenam pohon didalamnya, atau membangun rumah diatasnya,
atau menggali sumur untuk dirinya dan menjadi milik pribadinya.[2]
Dalam Islam sebenarnya hukum Ihyaul Mawat ini dibolehkan dalam
Islam, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
مَنْ أحْيَا أرْضًا ميتًا فهي له
“Barang siapa menghidupkan lahan yang mati,
maka lahan tersebut menjadi miliknya”.(H.R Ahmad & Turmudzi yang
menshahihkannya).
Dalam hal IDalam hal Ihyaul mawat terdapa 4 hukum yang
bersangkutan, diantaranya sebagai berikut:
1.
Kepemilikannya
itu tidak sah kecuali dengan dua syarat, yaitu :
a.
Ia
memang betul-betul memakmurkan lahan tersebut,
b.
Lahan
yang dihidupkannya tersebut tidak dimiliki oleh oleh siapapun.
2.
Jika
lahan dekan dengan ssuatu daerah, maka seseorang tidak boleh memakmurkannya
kecuali dengan ijin Penguasa atau pemimpin daerah setempat.[3] Mayoritas ulama berpendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab
pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka
lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi
kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila
terjadi persengketaan mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah berpendapat,
pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga
mendapatkan izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan (akta
agrarian). Sedangkan Imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan
area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut
berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun, apabila jauh dari
perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis
menjai milik orang yang pertama membukanya.[4]
3.
Barang
tambang dilahan yang mati tidak boleh dimiliki oleh orang yang memakmurkannya,
karena menyangkut dengan kemaslahatan umum kaum Muslimin,
4.
Jika
dilahan mati yang dihidupkannya tersebut muncul air yang mengalir, maka ia
lebih berhak untuk mengambil sesuai dengan kebutuhannya sebelum orang lain.[5]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Penyebab Terjadinya Sengekta
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau
dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu : Timbulnya
sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku.[6]
Sedang penyebab yang sering terjadi pada masyarakat
pedesaan adalah tidak adanya tanda bukti yang jelas tentang kepemilikan tanah,
batas-batasan tanah tersebut. biasanya tanda bukti pembayran pajak atas tanah
(girik/Petok D), Dianggap oleh masyarakat sebagai bukti hak milik.[7]
dengan tidak adanya bukti hak yang jelas akan kepemilikannya, sehingga dapat
menimbulkan perselisihan-perselisihan tentang batas patok luas tanah, maupun
hak milik atas tanah tersebut.
B.
Tindakan Pemerintah Guna
Mencegah Terjadinya Sengketa
Tentang hak-hak yang diberikan Pemerintah kepada Warga Negara
Indonesia (penduduk). Dalam UUPA telah ditentukan pula, yaitu : Hak milik, Hak
Guna Bangunan, Hak Guna Usaha (Perkebunan, Pertanian, Tambak-tambak perikanan
dengan Area yang luas), Hak Pakai, Hak Penguasa atau pengelolaan dan sebagaiya.
Hak-hak mana agar dapat dipertahankan dengan baik, artinya agar pada waktu
pendayagunaannya tidak ada yang mengganggu gugat. Menurut UUPA sendiri harus
didaftarkan pada kantor Agraria setempat ditingkat Kabupaten/Kotamadya (PP
10/1961). Pendaftaran meliputi :
1.
Pengukuran,
Pemetaan & Pembukuan Tanah,
2.
Pendaftaran
Hak-hak Atas Tanah & Peralihan atas Hak Tersebut,
3.
Pemberian
Surat Tanda Bukti Hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
(Sertifikat).[8]
C.
Solusi Penyelesaian Sengketa
Permasalahan sengketa tanah ini sangatlah penting dan harus cepat
diselesaikan. Karena permasalahan ini dapat menimbulkan permusuhan-permusuhan
baik diantara individu maupun kelompok (suku/ras). Dan cara Penyelesaian
masalah sengketa ini sebenarnya ada 3 cara yaitu :
1.
Melalui
sebuah musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa, musyawarah
tersebut bisa dimediatori oleh para pemuka agama, tokoh masyarakat atu pun
pihak pemerintah (BPN (Badan
Pertanahan Nasional)), cara ini bisa juga disebut dengan Mediasi,
2.
Melalui
Arbitrase, yaitu Tahkim yang secara harfiah berari menjadikan seorang sebagai
penengah bagi suatu sengketa.[9]cara
ini sebenarnya sama saja dengan dengan cara mediasi, yaitu meminta seseorang
untuk menjadi mediator guna penyelesaian masalah sengketa yang dihadapi.
3.
Cara yang
ialah jalan terakhir setelah cara-cara yang diatas tidak memberikan hasil yang
bagus. Namun dalam pengadilan pun sebelum disidangkan wajib pula melakukan
upaya Mediasi, Ini adalah hal yang paling utama harus dilaksanakan oleh hakim,
sesuai dengan pasal 154 (1) RNG. Pasal 130 HIR. Pasal 66 UU No 3 Tahun 2006.
Tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989. Tentang Peradilan Agama yang sesuai
dengan Firman Allah SWT dalam Surah Al-Hujurat ayat 9-10[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari sedikit penjabaran diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa
Ihyaul Mawat ialah ialah orang muslim pergi ketanah yang tidak dimiliki
siapapun, kemudian memakmurkannya dengan memakmurkannya dengan menenam pohon
didalamnya, atau membangun rumah diatasnya, atau menggali sumur untuk dirinya
dan menjadi milik pribadinya. Dari permasalahan-permasalahan yang menyangkut
hal Ihyaul Mawat ini ialah suatu perkara sengketa tanah yang mana permaslahan
tersebut sangatlah harus segera diselesaikan, karena permasalahan ini apabila
didiamkan akan berakibat fatal, yaitu terjadinya permusuhan antar individu,
ras, suku bahkan antara sesama saudara. Adapun cara penyelasaiannya dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu: Mediasi, Arbitrase dan melalui jalur hukum
yaitu pengadilan.
B.
Keritik
dan saran
Dalam makalah yang sederhana
ini terdapat banyak sekali kekurangannya, oleh karena itu, saya berharap kepada
para pembaca agar memberikan banyak keritik dan saran agar makalah sederhana
ini dapat menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
o Dasuqi, Ahmad, Lembaga Damai Dalam Prespektif Penyelesaian
Perkara Secara sederhana, Cepat dan
Biaya Ringan di Pengadilan Agama,(Banjarmasin), 2008
o Kartasapoetra dan Kawan-kawan, HUKUM TANAH Jaminan UUPA Bagi
Pendayagunaan Tanah. (Jakarta; PT.Melfon Putra). Cet. II, 1991
o Khazawi , Adami. Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada). Ed. 1, Cet. 3, 2005
o Mas’ud, Ibnu, & Abidin, Zainal. Edisi
Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, ( CV
Pustaka Setia), Cet. II, 2007
o Jabir, Abu Bakar, Terj. Fadhli Bahri, Minhaajul Muslim /
Ensiklopedi Muslim, ( Jakarta: Darul Falah), Cet. 1, 2000
o Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan
Harta, Hak milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah,
Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain. (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada), Ed. 1, Cet. 5, 2010
[1] Hendi. Suhendi,
Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan Harta, Hak milik, Jual Beli,
Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika
Bisnis dan lain-lain (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), Ed. 1, Cet. 5, 2010,
Hal.267
[2] Abu bakar,
Jabir. Terj. Fadhli Bahri, Minhaajul Muslim / Ensiklopedi Muslim, ( Jakarta:
Darul Falah), Cet. 1, 2000, Hal. 540
[3] Ibid. Abu
bakar, Jabir, Hal. 540
[4] Drs. H. Ibnu Mas’ud
& Drs. H. Zainal Abidin S., Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat, Munakahat, Jinayat, ( CV Pustaka Setia), Cet. II, 2007, Hal.
[5] Op. Cit, Abu
bakar, Jabir, Hal. 541
[7] Adami,
Khazawi. Kejahatan Mengenai Pemalsuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada). Ed.
1, Cet. 3, 2005. Hal. 137
[8] G.
Kartasapoetra dan Kawan-kawan, HUKUM TANAH Jaminan UUPA Bagi Pendayagunaan
Tanah.(Jakarta; PT.Melfon Putra). Cet. II, 1991, Hal. 133-134
[9] Ahmad, Dasuqi,
Lembaga Damai Dalam Prespektif Penyelesaian Perkara Secara sederhana, Cepat dan Biaya Ringan di
Pengadilan Agama,(Banjarmasin), 2008, Hal. 45
[10] Ibid. Ahmad,
Dasuqi, Hal. 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar