BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Saat
ini ekonomi syariah berkembang sangat pesat di berbagai belahan dunia bahkan
tidak hanya terjadi di Negara yang mayoritas penduduknya islam. Ekonomi syariah
mulai dilirik dan dipertimbangkan sejak krisis ekonomi global beberapa tahun
lalu melanda hampir seluruh penjuru dunia. Untuk mencegah kebangkrutan suatu
Negara maka dicarilah cara untuk mencegahnya. System ekonomi syariah
jawabannya,kenapa? Karena menerapkan system yang adil, transparan, aman dan memakmurkan
seluruh aspek perbankannya seperti debitur, kreditur, investor dan lain-lain.
Pada
prinsipnya bank syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha
yang dinyatakan sesuai syariah. Ekonomi syariah tidak banyak berbeda dengan
ekonomi konvensional. Perbedaan yang paling mendasar adalah konsep yang
diberikan oleh kedua sistem ekonomi tersebut. Kalau konsep ekonomi konvensional
lebih mengutamakan bunga sebagai keuntungannya, berbeda dengan konsep ekonomi
syariah yang lebih mengutamakan sistem bagi hasil. Ekonomi islam dapat
memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya, memberikan keadilan,
kebersamaan, kekeluargaan dan transparan untuk setiap pelakunya.
Di
Indonesia sendiri, jumlah bank syariah berkembang cukup pesat dan sudah mulai
masuk ke pelosok. Berdasarkan data statistic di website official Bank
Indonesia, jumlah bank umum syariah, unit usaha syariah, maupun bank pembiayaan
rakyat syariah terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu
kurang dari 6 tahun dari tahun 2006 sampai Januari 2012, total bank dan kantor
perbankan syariah di Indonesia ada 2.202. Dan diperkirakan akan bertambah
dengan pesat sesuai dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat Indonesia.
Dalam
bank syariah, sumber dananya sama dengan bank umum, hanya prinsip Syariahnya
saja yang berbeda. Karena di bank syariah semua berprinsip syariah.
Simpanan pada Bank Syariah berdasarkan Akad Wadi’ah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Adapun
aktiva produktif (syariah) adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah
maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga
syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara,
komitmen dan kontinjensi pada transaksi rekening administrative serta
sertifikat wadiah Bank Indonesia. Semua penyaluran dananya sama dengan bank
konvensional, namun Bank Syariah menggunakan Prinsip Syariah.[1]
2.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang diatas, maka diambil rumusan masalah yaitu apa yang dimaksud
dengan prinsip syariah dalam perbankan syariah dan bagiamana penerapan prinsip
syariah tersebut dalam perbankan syariah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip
Syariah dalam Perbankan
Prinsip syariah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai
dengan syariah.[2]
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut
oleh sistem perbankan syariah antara lain :
·
Pembayaran terhadap pinjaman dengan
nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak
diperbolehkan.
·
Pemberi dana harus turut berbagi
keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam
dana.
·
Islam tidak memperbolehkan
“menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan
komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
·
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi)
tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang
akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
·
Investasi hanya boleh diberikan pada
usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya
tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Istilah
prinsip Syariah terdapat dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
yakni bahwa Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian bedasarkan hukum islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara
lain;
1)
Pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah)
2)
Pembiayaan
berdasarkan prinsip pernyataan modal (musyarakah), atau
3)
Pembiayaan
barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau
4)
Dengan adanya
pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yanng disewa dari ppihak bank oleh
pihak lain (ijarah wa iqtina).[3]
Pasal
1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syarih
menyebutkan bahwa Prinsip Syariah adalah Prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. Dengan mendasarkan pada
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 ini, maka dapat diatrik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa adalah
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MU).[4]
B.
Penerapan
Prinsip Syariah dalam Operasional Produk Perbankan
1.
Prinsip
Syariah
Sebagaimana
dikemukakan di awal, bahwa pengertian prinsip syariah dalam peraturan
perundang-undangan pertama kali
dikemukakan melalui UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU NO. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yakni aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank
dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa menyewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau
dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak
bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).[5]
Pengertian
prinsip syariah juga tertuang dalam pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2008 yakni
prinsip hukum islam dalam keegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah.
Berdasarkan ketentuan ini, maka apa itu prinsip syariah dan implementasinya
dalam praktik perbankan terkait dengan rukun dan syaratnya berpedoman pada
berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI). Yang terkait dengan Perbankan Syariah.[6]
Ketentuan
tentang produk-produk perbankan syariah dan akad yang mendasarinya yang
tertuang dalam fatwa DSN-MUI dalam praktiknya menjadi muatan dalam berbagai PBI
yang mengatur perbankan syariah. PBI dimaksud antara lain PBI No. 7/45/PBI/2005
tentang akad Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, sebagaimana telah dicabut berlakunya
dengan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah dan kemudian diubah dengan PBI No.
10/16/PBI/2008.[7]
2.
Produk
Perbankan Syariah
Pengertian mengenai produk bank dapat kita jumpai dalam PBI. No.
10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah Pasal 1 angka
5 PBI menyebutkan bahwa Produk bank selanjutnya disebut produk adalah produk
yang dikeluarkan bank baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana
serta pelatan jasa bank yang sesuai dengan prinsip syariah, tidak termasuk
produk lembaga keuangan bukan bank yang dipasarkan oleh bank sebagai agen
pemasaran.[8]
Berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud,
produk perbankan syariah dikelompokkan menjadi tiga yaitu, produk penghimpunan
dana, produk penyaluran dana dan produk dibidang jasa.
1)
Produk
penghimpunan dana
Implemntasi prinsip syariah dalam produk penghimpuanan dana; giro,
deposito sertifikat deposito dan dan tabungan adalah sebagai berikut:
a.
Giro.
Produk giro dapat menggunakan akad wadiah maupun akad mudharabah.
b.
Deposito. Produk
deposito karena memang ditujukan sebagai saran investasi, maka dalam praktik
perbankan syariah hanya digunakan akad mudaharabah.
c.
Tabungan. Dalam
produk tabungan ini nasabah dapat memilih menggunakan akad mudaharabah atau
wadiah.
2)
Produk
penyaluran dana
Bank syariah disamping melakukan kegiatan penghimpunan dana juga
melakukan penyaluran dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan
(financing). instrumen bunga yang ada dalam kredit diganti dengan akad-akad
tradisional islam yangbiasa disebut dengan perjanjian berdasarkan prinsip
syariah. penerapan akad-akad ini dalam produk pembiayaan bank adalah sebagai
berikut;
a.
Pembiayaan
berdasarkan akad jual beli, seperti pembiayaan murabahah, salam dan istishna.
b.
Pembiayaan
berdasarkan akad sewa menyewa seperti, ijarah atau ijarah muntahiya bit tamlik.
c.
Pembiayaan
berdasarkan akad bagi hasil seperti, mudharaba dan musyarakah
d.
Pembiayaan
berdasarkan akd pinjam meminjam seperti, qardh atau qardhul hasan.[9]
3)
Produk
jasa
Produk jasa bnak merupakan produk bank yang saat ini terus
dikembangkan. Produk ini dikatakan sebagai produk yang berbasis pada fee
sebagai kompensasi yang harus diberikan nasabah kepada banka atas penggunaan
jasa perbankan tertentu. Akad-akad tradisional yang dapat
diimplementasikan dalam produk jasa bank
syariah antara lain adalah wakalah, hiwalah, kafalah, rahn, sharf dan
sebagainya. Penggunaan akda wakalh dalam produk jasa adalah kliring, inkaso,
jasa transferdan letter of kredit. Kemudian akad hiwalah dipakai oleh bank
dalam melakukan jasa berupa factoring, dan akad kafalah dipakai oleh bank dalam
bentuk fasilitas bank garansi.[10]
C.
Prinsip-Prinsip
Bank Islam
Dalam menjalankan aktivitasnya, bank syariah menganut beberapa
prinsip seperti prinsip keadilan, kesederajatan dan prinsip ketentraman. Dengan
sistem operasional yang berdasarkan profit and loss-sharing system, bank
islam memiliki kekuatan tersendiri yang berbeda dari sistem konvensional.
Perbedaan nampak jelas bahwa sistem bagi hasil terkandung dimensi keadilan dan
pemerataan.[11]
1.
Prinsip
Keadilan
Keadilan dalam praktek bank syariah diterapkan melalui beberapa
instrumen. Muhammad mengemukakan tiga instrumen utama keadilan dalam praktek
bank syariah yaitu seperti zakat, bagi hasil dan kesamaan kesempatan dalam
memperoleh pembiayaan.
a.
Instrumen
Zakat
Salah
satu aspek penting yang mengakomodasi kepentingan umat dan kesejahteraannya
yang mendapat perhatian serius dari bank syariah adalah aspek mobilisasi dana
zakat. Dana zakat utama bersumber dari nasabah dan income yang diperoleh bank
sendiri sebesar 2.5% serta masyarakat luas yang memiliki keperdulian sosial ekonomi
terhadap orang lain.
Zakat
dalam konteks praktek bank syariah dipahami sebagaimana lazimnya dalam fiqih
islam, yaitu infak, memberikan, mengeluarkan atau membelanjakan sebagian dari harta
benda yang dimiliki seseorang untuk tujuan kebaikan, pembangunan fasilitas sosial
(umum) dan dinafkahkan untuk membantu kebutuhan dan keperluan ekonomi kelompok-kelompok
tertentu.
Prinsip
keadilan dalam zakat mengandung arti bahwa zakat merupan instrumen yang dapat digunakan
sebagai sumbangan wajib biasa yang dikenakan pada berbagai jenis pendapatan seperti
hasil bumi dan sebagainya.[12]
b.
Sistem
Bagi Hasil
Sistem
bagi hasil merupakan instrumen utama. Instrumen ini merupakan kebalikan dari
instrumen bunga yang banyak disoroti sebagai bentuk ketidakadilan dalam praktik
ekonomi dan perbankan konvensional.
Bagi
hasil yang sesuai dengan tujuan syariah merupakan karakterisitik utama yang membedakan
antara bank syariah dari bank konvensional. Sistem bagi hasil sistem ekonomi dan
bank syariah diyakini memenuhi cita rasa dan standar keadilan dalam islam. hal
ini tercermin dari ajaran islam yang menghendaki kerjasama.[13]
c.
Kesamaan
Kesempatan
Untuk mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang memiliki bakat enterpreneur
skill dan kendala modal bank syariah memiliki stok tertentu, terutama modal yang
dihimpun dari dana zakat, infaq dan shadaqah yang kemudian dikemas dalam bentik
produk qardhul hasan, pinjaman kebaikan yang yang bisa disalurkan kepada mereka.
Dengan skim ini bank syariah memberikan peluang kepada masyarkat untuk
menggali kreativitas dan kerja yang tinggi dengan memanfaatkan modal yang ada untuk
membangun roda ekonominya. Dengan aplikasi skim ini, kelompok ekonomi lemah yang
selama ini tidak tersentuh oleh lembaga keuangan formal merasa memiliki kesempatan
yang sama untuk mengakses modal pembiayaan dari bank syariah.
Dengan memberikan kesempatan yang sama antara satu dengan lain
nasabah, bank syariah menempatkan eksistensi dirinya sebagai tonggak utama
peyangga nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran dan pertanggungjawaban
serta mengedepankan prinsip-prinsip etika syariat islam dalam aspek muamalah
iqtishady.[14]
2.
Prinsip
Kesederajatan
Bank syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna
dana, maupun bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin
dalam hak, kewajiban, risiko dan keuntungan yang berimbang antara nasabah
penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun bank. Dengan sistem bagi hasil
yang diterapkannya, bank syariah mensyaratkan adanya kemitraan sharing the
profit and the risk secara bersama-sama.
Konsep syariah mengajarkan menyangga usaha secara bersama, baik
dalam membagi keuntungan atau sebaliknya menanggung kerugian. Anjuran itu antara
lain adalah tranparansi dalam membuat kontrak, penghargaan terhadap waktu dan
amanah. Bila ketiga syarat tersebut dipenuhi, model transaksi yang terjadi bisa
menghasilkan kualitas terbaik.[15]
3.
Prinsip
Ketentraman
Menurut falsafah al-Qur’an, semua aktivitas yang dapat dilakukan
oleh manusia patut dikerjakan untuk mendapatkan falah (ketentraman,
kesejahteraan atau kebahagiaan), untuk mencapai kesejahteraan dunia dan
akhirat. Tujuan dan aktivitas ekonomi dalam persfektif islam harus diselaraskan
dengan tujuan akhir yaitu pencapaian falah. Prinsip ini menghubungkan prinsip
ekonomi dengan nilai moral.
Sebagai lembaga ekonomi, tujuan pendirian bank syariah adalah untuk
menciptak keseimbangan sosial dan ekonomi (material dan spritual) masyrakat
agar mencapai falah. Karena itu produk-produk bank syariah harus sesuai dengan
prinsip dan kaidah muamalah islam. Sulaiman mencatat empat aturan yang harus
ditaati oleh bank islam yaitu;
a.
Tidak adanya
unsur riba
b.
Terhindar dari
aktivitas yang melibatkan spekulasi (gharar)
c.
Penerapan zakat
harta
d.
Tidak memproduksi
produk-produk atau jasa yang bertentangan dengan nilai islam
Dengan mengetahui dan memahami karakteristik tersebut, maka kehadiran
bank-bank syariah diharapkan dapat melakukan proses tranformasi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat (nasabah) kearah kehidupan yang harmonis, seimbang antara
kebutuhan material dan spritual, sehingga melahirkan ketentraman lahir maupun
batin.[16]
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah.
Istilah prinsip Syariah terdapat dalam Pasal 1 angka 13
Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni bahwa Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian
bedasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan
atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah.
Dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 , maka dapat diatrik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa adalah Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MU).
DAFTAR
PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Pemebentukan Bank Syariah
Melalui Akuisisi Dan Konversi. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta
Muhammad. 2007. Lembaga Ekonomi Syariah. Yogyakarta:
Graha Ilmu
[3] Prof. dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H, Pemebentukan Bank
Syariah Melalui Akuisisi Dan Konversi, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2010), h. 37-38
[4] Ibid, h. 38
[5] ibid, h. 52
[6] Ibid, h. 53
[7] Ibid, h. 53
[8] Ibid, h. 53
[9] Ibid, h. 56-59
[10]
Ibid, h. 60
[11]Muhammad, Lembaga Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007), h. 12
[12] Ibid, h. 12-13
[13] Ibid, h. 13-14
[14] Ibid, h. 16-18
[15] Ibid, h. 18
[16] Ibid, h. 18-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar