(oleh: Ahmad)
A.
PENDAHULUAN
Dalam ekonomi
konvensional, fiskal identik langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan
dalam sistem pajak atau pembelanjaan. Tujuan kebijakan fiskal dalam
perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan, yang didefenisikan
sebagai adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa
memandang kebutuhan spritual manusia. Fiskal terutama ditujukan untuk mencapai
alokasi sumber daya secara efesien, stabilitas ekonomi, pertumbuhan, dan
distribusi pendapatan serta kepemilikan.
Fiskal dalam bahasa Latin disebut Fiscus yang berasal dari nama pribadi pemegang keuangan
pertama pada zaman Kekaisaran Romawi, secara harfiah dapat diartikan sebagai
"keranjang" atau "tas", dalam bahasa inggris dikenal dengan fisc
yang berarti perbendaharaan negara atau kerajaan. Fiskal digunakan untuk menjelaskan
bentuk pendapatan Negara atau kerajaan yang dikumpulkan berasal dari masyarakat
dan oleh pemerintah digunakan sebagai pengeluaran dengan program-program untuk
menghasilkan pencapaian terhadap pendapatan nasional, produksi dan perekonomian
serta digunakan pula sebagai perangkat keseimbangan dalam perekonomian. Dua
unsur utama fiskal modern adalah perpajakan dan pengeluaran publik.
Dalam makalah ini, penulis mencoba memaparkan bagaimana sebenarnya posisi
kebijakan fiskal, bagaimana fiskal di masa pemerintahan Rasulullah, bagaimana fiskal
di masa pemerintahan sahabat (khalifah), dan bagaimana formulasi kebijakan fiskal
di Era Modern, dengan disertai dalil Al-Qur’an dan hadits.
B.
POSISI KEBIJAKAN
FISKAL
Kebijakan fiskal memegang peranan
penting dalam sistem ekonomi islam bila dibandingkan dengan kebijakan moneter.[1] Kebijakan fiskal (fiscal
policy) merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah,
mobilisasi sumber daya, penentuan harga barang dan jasa dari perusahaan.[2]
Menurut Samuelson dan Nordhaus,
kebijakan fiskal adalah proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran
masyarakat dalam upaya menekan fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam
menjaga pertumbuhan ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari
laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah.[3]
Kebijakan fiskal sangat tergantung
pada dua instrument, yaitu pendapatan dan pengeluaran. Kinerja kebijakan fiskal
antara satu Negara dengan Negara lainnya kemungkinan akan berbeda karena
didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai dan falsafat ekonomi yang
dianut. Dalam masyarakat ekonomi tertinggal, kebijakan fiskal bertujuan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat, maka investasi dan menjaga
keseimbangan harga menjadi prioritas utama. Sedangkan dalam masyarakat ekonomi
kapitalis, kebijakan fiskal akan terfokus pada pencapaian dan penstabilan
ekonomi serta pemanfaatan atau kesempatan penuh tenaga kerja.[4]
C.
KEBIJAKAN FISKAL DI
MASA RASULULLAH
Sistem ekonomi yang
diterapkan oleh Rasulullah berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani. Al-Quran yang
merupakan sumber utama ajaran islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai
hidayah bagi umat manusia dalam melakukan aktivitas di setiap aspek
kehidupannya, termasuk dibidang ekonomi.[5]
1. Pendapatan Negara
Hingga tahun ke-2 H sumber
pendapatan Negara hampir tidak ada, namun Perang Badar yang terjadi di masa itu
membuat Negara mempunyai pendapatan dari seperlima rampasan perang (ghanimah)
yang disebut dengan khums, sesuai firman Allah dalam Q.S. Al-Anfal (8)
ayat 41:
Artinya:
“ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”[6]
Pendapatan lain yang
diperoleh akibat Perang Badar yakni uang tebusan tawanan perang. Rasulullah
menetapkan uang sebesar 4.000 dirham untuk setiap tawanan Perang Badar.
Terhadap tawanan yang miskin dan tidak dapat membayar sejumlah uang tersebut,
Rasulullah meminta mereka untuk mengajar membaca 10 orang anak muslim.
Ghanimah berbeda dengan
fay’i yaitu harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh tanpa
terjadinya pertempuran.
Artinya:
“dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor
kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan
kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.”
Pada
tahun ke-2 H Allah juga mewajibkan kaum muslimin menunaikan zakat fitrah pada
setiap bulan ramadhan. Besar zakat ini adalah 1 sha’ kurma. Tepung, keju lembut,
atau kismis; atau setengah sha’ gandum, untuk setiap muslim, baik budak atau
orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda atau tua, serta dibayarkan
sebelum pelaksanaan sholat ‘id.[7]
Awal tahun ke-4 H, Negara
memperoleh pendapatan dari Bani Nadhir, suku bangsa yahudi yang tinggal di
pinggiran Madinah. Karena berusaha membunuh Rasulullah, maka mereka dipaksa
meninggalkan Madinah hanya dengan membawa harta benda sebanyak daya angkut
unta-unta mereka, kecuali beberapa peralatan perang seperti baju baja dan senjata.
Pada tahun ke-7 H
penduduk Khaibar yang memerangi kaum Muslimin berhasil dikalahkan. Mereka
menyerah dengan syarat dan berjanji meninggalkan tanahnya namun memohon izin
untuk berada di sana serta mengolah tanah tersebut. Rasulullah menerimanya dan
setiap tahun Abdullah bin Rawahah yang diangkat Rasulullah sebagai pengawas
datang ke Khaibar untuk menaksir hasil produksi dan membaginya menjadi dua
bagian yang sama banyak.[8]Hal ini disebut dengan kharaj.
Selain itu diterapkan juga
ushr sebagai bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dan dibayar hanya
sekali dalam setahun serta hanya berlaku terhadap barang-barang yang bernilai
lebih dari 2000 dirham. Tingkat bea yang dikenakan kepada para pedagang non
muslim yang dilindungi sebesar 5%, sedangkan pedagang muslim sebesar 2,5%.
Pada tahun ke-9 H Allah
mewajibkan zakat mal, sesuai dengan Q.S. At-Taubah ayat 60
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[9]
Pada
masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:
a.
Benda logam yang terbuat
dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
Ditentukan berdasarkan beratnya.
b.
Benda logam yang terbuat
dari perak, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
Ditentukan berdasarkan beratnya.
c.
Binatang ternak, seperti
unta, sapi, domba dan kambing. Ditentukan berdasarkan jumlahnya.
d.
Berbagai jenis barang
dagangan, termasuk budak dan hewan. Ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
e.
Hasil pertanian, temasuk buah-buahan.
Ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
f.
Luqathah, harta benda yang
ditinggalkan musuh. Ditentukan berdasarkan kuantitasnya.
g.
Barang temuan. Ditentukan
berdasarkan kuantitasnya.[10]
Rasulullah juga
menerapkan jizyah yakni pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya
ahli kitab untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, dan tidak wajib
militer. Besarnya Jizyah adalah satu dinar per tahun untuk setiap orang
laki-laki dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis,
pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita penyakit
dibebaskan dari kewajiban ini.
Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (Q. S. At-taubah:
29).[11]
Adapula sumber-sumber
pendapatan lainnya yang bersifat sekunder. Diantaranya adalah:
a.
Uang tebusan para tawanan perang.
b.
Pinjaman-pinjaman untuk
pembayaran diyat kaum Muslimin Bani Judzaimah atau sebelum pertempuran Hawazin
sebesar 30.000 dirham (20.000 ribu dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin
Rabiah dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofyan bin
Umayyah.
c.
Khums dan rikaz atau harta
karun.
d.
Amwal fadilah, yakni harta
yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris
atau harta seorang muslim yang telah murtad dan pergi meninggalkan negaranya.
e.
Wakaf, yaitu harta benda
yang didedikasikan oleh seorang Muslim untuk kepentingan agama Allah dan
pendapatannya akan disimpan di Baitul Mal.
f.
Nawaib, yaitu pajak khusus
yang dibebankan kepada kaum Muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi
pengeluaran Negara selama masa darurat, seperti yang pernah terjadi pada masa
perang Tabuk.
g.
Zakat fitrah.
h.
Bentuk lain sedekah seperti
hewan qurban dan kafarat. Kafarat adalah denda atas kesalahan
yang dilakukan oleh seorang Muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah, seperti
berburu pada musim haji.
2. Pengeluaran Negara
Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada
masa pemerintahan Rasulullah belum penulis temui. Namun kesimpulan untuk
hal-hal tersebut antara lain:[12]
a.
Pengeluaran Primer
1)
Biaya pertahanan seperti
persenjataan, unta, dan persediaan
2)
Penyaluran zakat dan ushr
kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Qur’an, termasuk para
pemungut zakat.
3)
Pembayaran gaji untuk wali,
qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat Negara lainnya.
4)
Pembayaran upah para
sukarelawan.
5)
Pembayaran utang Negara.
6)
Bantuan untuk musafir (dari
daerah fadak).
b.
Pengeluaran Sekunder
1)
Bantuan untuk orang yang
belajar agama di Madinah.
2)
Hiburan untuk para delegasi
keagamaan.
3)
Hiburan untuk para utusan
suku dan Negara serta biaya biaya perjalanan mereka.
4)
Hadiah untuk pemerintah
Negara lain.
5)
Pembayaran untuk pembebasan
kaum Muslim yang menjadi budak.
6)
Pembayaran denda atas
mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan kaum Muslimin.
7)
Pembayaran utang orang yang
meninggal dalam keadaan miskin.
8)
Pembayaran tunjangan untuk
orang miskin.
9)
Tunjangan untuk sanak
saudara Rasulullah.
10) Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya sejumlah kecil, 80
butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya).
11) Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan Khaibar).
D.
KEBIJAKAN FISKAL DI
MASA SAHABAT
1. Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq
Dalam usaha
meningkatkan kesejahteraan umat Islam Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq
melaksanakan beberapa hal terkait kebijakan fiskal yakni antara lain:[13]
-
Beliau beserta keluarga
mendapat alokasi dana Baitul Mal dikarenakan smenjak menjabat sebagai pemimpin
Negara, hasil perdagangan beliau dirasa kurang mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidup beliau dan keluarga. Namun beberapa waktu sebelum ajalnya,
beliau memerintahkan menjual sebagian
tanahnya dan hasil penjualan diberikan kepada Negara.
-
Beliau sangat memerhatikan
keakuratan perhitungan zakat sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan
pembayarannya.
-
Beliau membagikan tanah
hasil taklukan, sebagian untuk kaum muslimin dan sebagian yang lain tetap
menjadi tanggungan Negara.
-
Beliau memberikan jumlah
yang sama kepada sahabat yang lebih dahulu memeluk islam dengan sahabat yang
kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita.
Menurut beliau prinsip kesamaan lebih baik daripada prinsip keutamaan.
-
Beliau tidak membiarkan
harta di Baitul Mal menumpuk dalam jangka waktu yang lama, bahkan ketika beliau
wafat hanya ditemukan satu dirham dalam perbendaharaan Negara.
-
Beliau tidak membiarkan
seorang pun dalam kemiskinan, sehingga berimplikasi pada peningkatan aggregate
demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan menaikkan
pendapatan nasional.
2. Pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
Seiring dengan semakin
meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn
Al-Khattab, pendapatan Negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Beberapa kebijakan fiskal pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab
yakni:[14]
-
Beliau mengembangkan Baitul
Mal sehingga menjadi lembaga yang regular dan permanen, serta dilengkapi dengan
sistem administrasi yang baik dan tertata rapih. Harta yang tersimpan dalam
Baitul Mal diberikan kepada yang berhak dan untuk kemaslahatan umat.
-
Beliau membentuk sistem
diwan dan menunjuk sebuah komite nasab untuk membuat laporan sensus penduduk
sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya, dimulai dari orang-orang
yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan nabi, untuk nantinya diberikan dana
tunjangan per tahun yang besarannya berbeda-beda.
-
Beliau menerapkan prinsip
keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal dengan berpendapat bahwa
keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam
memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya.
Namun kemudian beliau menyadari cara tersebut berdampak negatif terhadap strata
sosial dan kehidupan masyarakat. Belian wafat sebelum sebelum sempat mengubah
kebijakannya.
-
Beliau tidak
membagi-bagikan tanah hasil taklukkan kepada kaum muslimin tetapi membiarkan
tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan syarat membayar kharaj
dan jizyah (kecuali wilayah irak yang ditaklukkan dengan kekuatan
menjadi milik muslim). Apabila tanah tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya maka
Negara berhak untuk mengambil alih dengan memberikan ganti rugi secukupnya.
-
Beliau menetapkan penarikan
zakat dari kuda karena pada masa itu perdagangan kuda meningkat pesat dan
mengalihkan peran kuda dari binatang konsumtif menjadi produktif, juga terhadap
war (sejenis rumput herbal yang digunakan untuk membuat bedak dan
parfum) dan karet yang ditemukan di semenanjung Yaman.
Pengelompokan pendapatan Negara
pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab:[15]
Sumber Pendapatan
|
Pengeluaran
|
Zakat dan
ushr
|
Pendistribusian
untuk masyarakat setempat, jika ada surplus maka surplus tersebut disimpan
|
Khums dan
shadaqah
|
Fakir
miskin dan kesejahteraan
|
Kharaj,
fay, jizyah, ushr, sewa tetap
|
Dana
pensiun, dana pinjaman (allowance)
|
Pendapatan
dari semua sumber
|
Pekerja,
pemelihara anak terlantar dan dana sosial.
|
3. Pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan
Pada masa
pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan pemerintahan dan situasi Negara
cenderung kacau. Beberapa hal terkait kebijakan fiskal masa pemerintahan
Khalifah Utsman ibn Affan antara lain:[16]
-
Pembangunan irigasi
perairan
-
Pembentukan organisasi
kepolisian untuk menjaga keamanan Negara terutama keamanan perdagangan
-
Kebijakan pembagian lahan
luas milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan.
-
Meningkatkan anggaran
pertahanan dan kelautan serta meningkatkan dana pensiun serta dana pembangunan
di wilayah taklukan baru
-
Membuat beberapa perubahan
administrasi dan meningkatkan kharaj dan jizyah dari mesir.
4. Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib sering
mendapat perlawanan dan pemberontakan terutama dari Muawiyah sehingga berdampak
pada pendapatan Negara yang mengalami penurunan. Secara umum beberapa kebijakan
fiskal yang dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib
adalah:[17]
-
Pendistribusian seluruh
pendapatan yang ada pada Baitul Maal sama dengan kebijakan yang dilakukan pada
masa Rasulullah dan Abu Bakar, tetapi berbeda dengan kebijakan Umar yang
menyisihkan untuk cadangan.
-
Pengeluaran angkatan laut
dihilangkan, karena daerah pesisir pantai di bawah kekuasaan Muawiyah. Namun
pengeluaran atau anggaran untuk polisi tetap dipertahankan yang bertujuan untuk
menjaga keamanan Negara.
-
Adanya kebijakan pengetatan
anggaran Negara.
E.
FORMULASI KEBIJAKAN
FISKAL DI ERA MODERN
Kebijakan fiskal merupakan
kebijakan yang sangat penting dalam sebuah negara. Secara umum, penentuan
kebijakan pendapatan Negara hendaknya berpedoman pada:
1.
Nash yang memerintahkan.
Setiap pendapatan dalam Negara harus diperoleh dan disalurkan sesuai dengan
hukum-hukum syara’.
Artinya:
“dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (Q.S.
Al-Baqarah: 188).
2.
Harus ada pemisah antara muslim dan non muslim. Islam membedakan antara subjek
zakat dan pajak muslim dengan non-muslim.
3.
Hanya golongan kaya yang menanggung beban.
Sistem zakat dan pajak harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan makmur yang
mempunyai kelebihan yang memikul beban utama.
4.
Adanya tuntutan kemaslahatan umum. Kemaslahatan
umum mesti didahulukan untuk mencegah kemudharatan. Atas dasar tuntutan umum
inilah, Negara boleh mengadakan suatu jenis pendapatan tambahan.
اً لإ ما
م ر ا ع و هو مسؤ و ل عن عيته (رواه مسلم)
“seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur
urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyat.” (H.
R. Muslim).
Sebagaimana halnya penerimaan, pengeluaran
Negara juga memiliki beberapa prinsip yang harus dipedomani, antara lain:
1.
Tujuan pengeluaran kekayaan
Negara telah ditetapkan langsung oleh Allah Swt.
2.
Apabila ada kewajiban
tambahan, maka harus digunakan untuk tujuan semula kenapa ia dipungut.
3.
Adanya pemisahan antara
pengeluaran yang wajib diadakan di saat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran
yang wajib diadakan hanya di saat adanya harta. Contohnya seperti pengeluaran
zakat hanya di saat adanya harta zakat, pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan
atau mendanai jihad adalah di saat ada maupun tidak adanya harta, pengeluaran
untuk kompensasi harus dibayar di saat ada maupun tidak adanya harta, dan
lain-lain.
4.
Pengeluaran harus hemat. Pengeluaran
haruslah ditujukan untuk hal-hal yang jelas bermanfaat dan hemat serta tidak
boros.
Artinya: “dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q. S.
Al-Furqan: 27)
Kebijaksanaan fiskal fase awal dan
modern secara ringkas tergambar pada tabel:[18]
Kebijaksanaan fiskal pemerintahan islam fase awal (balance
budget)
|
Kebijaksanaan fiskal pemerintahan islam fase modern (defesit
budget)
|
-
Tidak ada utang
-
Pengeluaran sebanyak
penerimaan yang ada
|
-
Berhutang ke lembaga/
Negara lain
-
Pengeluaran sebanyak yang
diperlukan (APBN)
|
Alasan:
-
Tidak boros
-
Takut riba
-
Tidak meninggalkan beban
generasi mendatang
|
Alasan:
-
Sumber daya alam perlu
diolah
-
Percepatan pertumbuhan
ekonomi
|
Akibat:
-
Penerimaan bersifat
statis
-
Pertumbuhan ekonomi
rendah
-
Sumber daya alam tidak
tergali maksimal karena tidak ada modal
|
Akibat:
-
Jenis penerimaan Negara
bertambah (ijtihad)
-
Pertumbuhan ekonomi
meningkat
-
Sumber daya tergali
secara maksimal
|
Pada era modern, jika dalam
kebijakan fiskal di sebuah Negara terjadi defesit anggaran, maka solusi
kebijakan untuk mengatasinya antara lain:
1.
Melakukan pinjaman/ utang,
baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
2.
Mencetak uang untuk
memenuhi kebutuhan anggaran yang mendesak
3.
Melakukan kebijakan
pengeluaran uang yang ketat
4.
Menaikkan tingkat pajak.
Sedangkan Islam sangat menghindari
pemerintah atau individu untuk melakukan utang demi memenuhi kebutuhannya,
dikarenakan beberapa alasan yaitu:
1.
Dengan melakukan utang,
maka kemandirian perekonomian suatu Negara akan terganggu.
2.
Berutang bukanlah solusi
terbaik, karena adanya biaya atas modal (cost of capital) yang harus
dibayar.
3.
Kewajiban mencicil pinjaman
berikut bunganya akan menimbulkan tekanan ke atas kestabilan neraca pembayaran.
Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal
beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid al-maliyyah
li al-dawlah). Beberapa pendapat ulama terkait hal tersebut:[19]
1. Wahhab Khalaf : Sumber pendapatan Negara ada
dua yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan pendapatan
insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari
zakat, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan atas
non-Muslim), dan ushr (pajak ekspor dan impor). Sedangkan pendapatan
tidak rutin adalah pemasukan tak terduga seperti dari ghanimah dan fa'i (harta
rampasan perang), ma'adin (seperlima hasil tambang) dan rikaz (harta
karun), harta peninggalan dari pewaris yang tidak mempunyai ahli waris, harta
temuan dan segala bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya.
2. Sabahuddin Azmi : Sumber pendapatan negara dibedakan
melalui tujuan alokasinya yakni pendapatan ghanimah, pendapatan shadaqah,
dan pendapatan fa'i.
3. Ibn Taimiyyah : Menggaris bawahi bahwa sumber
penerimaan keuangan negara terdiri dari tiga kategori, yaitu ghanimah, sadaqah dan fa'i.
Beberapa ekonom yang berpendapat bahwa pajak
adalah solusi akibat penerapan sistem anggaran defesit:[20]
-
M. A. Mannan: Negara islam
harus menerima konsep anggaran defesit. Defesit diatasi dengan
merasionalisasi struktur pajak atau mengambil utang perbankan namun dengan cara
syari”ah (mudharabah, musyarakah, dan murabahah).
-
M. Umer Chapra:
Negara-negara muslim harus memakai anggaran defesit untuk pertumbuhan. Defesit
diatasi dengan mereformasi sistem perpajakan namun menolak utang karena akan
menimbulkan beban berat bagi generasi mendatang.
-
Abdul Qadim Zallum: Anggaran
Negara muslim saat ini sudah begitu berat dan besar tanggungjawabnya,
pendapatan sumber tradisional tidak lagi memadai. Defesit diatasi dengan
melakukan penguasaan BUMN dan menetapkan pajak kepada umat, sedangkan utang
adalah haram (riba).
Kebijakan fiskal saat ini
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dengan mengalokasikan sumber daya secara
efisien, menjaga stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan distribusi, tujuan ini
menjunjung nilai benefit utama individual tanpa melihat aspek lain. Berbeda
dengan gagasan Ekonomi Islam dimana kebijakan fiskal merupakan salah satu
perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali,
termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan,
intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, tujuan utama dalam kebijkan
fiskal bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat
yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan
menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.[21]
Dalam kebijakan fiskal modern,
pajak merupakan sumber pendapatan Negara yang paling utama. Melalui pajak,
pemerintah berupaya untuk mencapai tingkat pendapatan atau kesempayan kerja
penuh, serta stabilisasi tingkat harga (inflasi).
Ulama masih berbeda pendapat
mengenai kebolehan pemungutan pajak untuk muslim. Mayoritas fuqaha menyatakan
tidak ada kewajiban lain atas harta
selain zakat dengan merujuk pada hadist yang artinya:[22]
“seorang laki-laki penduduk Nejd
datang menghadap Rasulullah Saw. Ia berambut kusut masai dan suaranya parau,
kelihatan bagai orang dungu. Setelah dekat dengan Rasulullah Saw., ia pun
bertanya kepada beliau tentang islam. Rasulullah Saw. berkata: ”islam itu ialah
mengerjakan shalat lima kali sehari semalam. Orang itu berkata: “apakah ada
kewajiban lain?” beliau menjawab: “tidak ada kecuali engkau lakukan shalat
sunat dan puasa Ramadhan. Ia bertanya lagi: “apakah ada kewajiban puasa selain
itu? Beliau menjawab: “tidak, kecuali jika kamu melakukan puasa sunat.”
Kemudian Rasulullah Saw. menyebut kewajiban zakat. Ia bertanya lagi: “apakah
ada kewajiban lain di luar zakat? “beliau menjawab: “tidak ada, kecuali
shadaqah sunnat.” Lalu ia mundur sambil berkata: “saya tidak akan menambah atau
menguranginya. “Rasulullah Saw. berkata: “beruntunglah jika ia benar (ia akan
masuk surge kalau benar).” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan ulama yang membolehkan
pajak antara lain:[23]
-
M. Umer Chapra, dalam Islam and
The Economic Challenge menyatakan:
“Hak Negara islam untuk meningkatkan sumber-sumber daya
lewat pajak di samping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha yang pada
prinsipnya telah mewakili semua mazhab fiqih. Hal ini disebabkan karena dana
zakat diperguakan pada prinsipnya untuk kesejahteraan kaum miskin, padahal
Negara memerlukan sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan
fungsi-fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif.”
-
Hasan al-Banna, dalam bukunya
Majmuatur-Rasa’il mengatakan:
“Melihat tujuan keadilan sosial
dan distribusi pendapatan yang merata, maka sistem perpajakan progresif
tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran islam.”
Kebijakan fiskal pada masa awal
islam lebih menonjolkan zakat sebagai pemeran penting untuk mencapai tujuan
kebijakan fiskal, yaitu membiayaai pengeluaran pemerintah dan untuk melakukan
fungsi pengaturan dalam frangka mencapai tujuan ekonomi tertentu seperti
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan investasi serta lapangan kerja.[24]
Zakat sebenarnya memiliki potensi yang perlu
diperhitungkan dalam membangun perekonomian sebuah Negara. Melalui Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,
Pemerintah Indonesia menerangkan mengenai tata cara pembentukan
Lembaga Zakat (BAZNAS/ LAZ/ UPZ) untuk menampung dan mengelola zakat yang ditunaikan oleh
masyarakat muslim Indonesia, namun kurang merinci
perihal siapa yang wajib zakat (Muzakki) dan siapa yang berhak mendapat zakat (Mustahiq Zakat). Padahal Berdasarkan
riset yang dilakukan BAZNAS bersama IPB dan Islamic Development Bank
(IDB), potensi zakat Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun per tahun. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
menargetkan peningkatan penerimaan zakat di tahun 2015 sebesar 15-35 persen,
mengalami peningkatan Rp 1 triliun dibandingkan dengan penerimaan zakat tahun
2014 yang mencapai Rp. 3,2 triliun.[25]
F. KESIMPULAN
-
Kebijakan fiskal adalah kebijakan
yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran Negara yang diatur oleh
pemerintah.
-
Rasulullah berpedoman dengan
Al-Qur’an terhadap penentuan kebijakan fiskal, seperti Q.S. Al-Anfal ayat 41
tentang ghanimah, Q.S. Al-Hasyr ayat 6 tentang fay’i, Q.S.
At-Taubah ayat 29 tentang jizyah dan Q.S. At-Taubah ayat 60 tentang
zakat.
-
Diantara para khalifah (empat
sahabat pengganti Rasulullah) terjadi perbedaan perkembangan kebijakan fiskal
sesuai dengan kepribadian khalifah dan keadaan Negara ketika khalifah tersebut
memimpin, namun para khalifah tetap membuat kebijakan fiskal secara islami dan
bermanfaat untuk kemaslahatan umat.
-
Kebijakan fiskal pada fase awal
islam menganut sistem Balance Budget (anggaran dibuat sejumlah
penerimaan yang ada) yang lebih menonjolkan peran zakat, sedangkan pada fase
modern menganut sistem Defesit Badget (anggaran dibuat berdasarkan apa
yang dibutuhkan, lalu dicari sumber penerimaannya) yang menekankan fungsi dari
hutang dan pajak.
-
Ulama berbeda pendapat tentang
kebolehan pajak, masing-masing mereka mempunyai landasan dalil Al-Qur’an dan
Hadits. Namun terlepas dari perbedaan pendapat yang timbul berdasarkan ijtihad
atau kias karena memang belum ditemukan kejelasan nash yang menerangkannya, maka
kita sebagai warga Negara diwajibkan patuh kepada peraturan yang dibuat
pemerintah demi keselamatan hidup di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Arif, M. Nur Rianto. Teori Makroekonomi Islam : Konsep, Teori, dan Analisis,
Bandung: Alfabeta, 2010.
Grossman, Gregory. Sistem-Sistem Ekonomi,
Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Gusfahmi. Pajak Menurut
Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007.
Karim,
Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
Muhammad,
Abdullah bin. Lubabu Tafsir min Ibnu Katsir, Jakarta: Pusta Imam
asy-Syafi’i, 2008.
Nasution, Mustafa Edwin. Pengenalan Eksklusif : Ekonomi Islam,
Jakarta: Kencana, 2006.
Shihab,
M. Quraish. Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suparmoko, M. Keuangan Negara Dalam Teori dan
Praktik, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997
Suprayitno,
Eko. Ekonomi Islam : Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
http://www.radioalbanis.com/news/potensi-zakat-indonesia-rp-217-triliun.
[1] Mustafa Edwin
Nasution, Pengenalan Eksklusif :
Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 2004
[2] M. Suparmoko, Keuangan
Negara Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1997), hlm.
257.
[3] Gregory Grossman, Sistem-Sistem
Ekonomi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 62.
[4] Eko Suprayitno, Ekonomi
Islam : Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2005), hlm. 159-160.
[5] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah
Pemikiran ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.
28
[6] Ada enam pihak yang disebut dalam ayat tersebut, tetapi ulama berbeda
pendapat kepada siapa diberikan bagian Allah? Ada yang mengatakan diperuntukkan
bagi pemeliharaan Ka’bah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa ghanimah hanya dibagi
lima bagian saja. Allah dan Rasul hanya satu bagian dan ini digunakan untuk
kepentingan masyarakat muslim, sedang empat bagian yang lain untuk sisanya yang
telah disebutkan. Imam Malik berpendapat bahwa pembagian harta rampasan perang
diserahkan kepada kebijaksanaan penguasa, dia menyisihkan seberapa yang sesuai.
Penguasa yang berwenang memberi kepada kerabat Rasul apa yang sewajarnya dan
membagi sisanya untuk kepentingan kaum muslimin. Para ulama berbeda pendapat
tentang siapa yang disebut kerabat Rasul. Imam Malik membatasinya pada
keturunan Bani Hasyim, sedang Imam Syafi’i dan Imam Ahmad selain Bani Hasyim,
juga memasukkan Bani al-Muththalib. Ketetapan Allah member bagian dari ghanimah
buat kerabat Rasul adalah sebagai penghormatan kepada Rasul saw. Dan sebagai
imbalan atas ketetapan Rasul saw. Yang mengharamkan keluarga beliau memeroleh
zakat. Abu Hanifah menegaskan bahwa pemberian itu baru menjadi hak keluarga
Nabi jika mereka miskin. (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 41.)
[7] Adiwarman. Op Cit, hlm.
39
[8] Ibid, hlm. 43
[9] Masih terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama terkait rincian dari delapan golongan yang berhak
menerima zakat, seperti golongan fii
sabilillah yang menurut ulama terdahulu hanya untuk perorangan dan
kebutuhannya dalam memperjuangkan islam, sedangkan ulama kontemporer memasukkan
kegiatan sosial keislaman menjadi bagian di dalamya (seperti membangun lembaga
pendidikan dan tempat ibadah). . (M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah :
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 142-148).
[10] Ibid, hlm. 47.
[11] Ayat ini adalah ayat yang
pertama kali memerintahkan kaum muslimin memerangi Ahli Kitab. Ayat ini
dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa jizyah (upeti) itu tidak
dipungut kecuali dari orang-orang ahli kitab dan semisalnya seperti orang
Majusi. Pendapat ini dianut oleh Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad dari riwayat yamh masyhur
(Abdullah bin Muhammad, Lubabu Tafsir min Ibnu Katsir, (Jakarta: Pusta
Imam asy-Syafi’i, 2008), hlm. 116). Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa
jizyah dipungut dari semua non muslim yang bukan Arab, kecuali dari orang-orang
ahli kitab. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa diperbolehkan memungut
jizyah dari semua orang kafir, Ahli Kitab, Majusi, penyembah berhala dan
lain-lain.
[12] Ibid, hlm. 51.
[13] Ibid, hlm. 54-57.
[14] Ibid, hlm. 58-77.
[15] M. Nur Rianto al Arif. Teori
Makroekonomi Islam : Konsep, Teori, dan Analisis, (Bandung: Alfabeta,
2010), hlm. 165.
[16] Ibid, hlm. 166.
[17] Ibid, hlm. 167.
[18] Gusfahmi. Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2007), hlm. 160.
[20] Gusfahmi, Op Cit,
hlm. 167
[22] Gusfahmi, Op Cit,
hlm. 170.
[23] Ibid, hlm. 184-185
[25] http://www.radioalbanis.com/news/potensi-zakat-indonesia-rp-217-triliun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar