A.
Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman dan bertambahnya ummat Islam
diseluruh dunia, maka dengan itu secara
otomatis menambah timbulnya masalah-masalah fiqih baru . Untuk mejawab
masalah-masalah baru yang belum ada penegasan tentang hukumnya dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadis, maka para pakar hukum Islam berupaya memecahkan dan mencari
hukum-hukumnya dengan menggunakan cara ijtihad sebagaimana di ungkapkan dalam
hadis Mu’adz yang terkenal itu. Namun, ijtihad itu tidak boleh lepas dari
Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut
dilaksanakan dengan cara (1) mengiaskan kepada yang sudah ada hukumnya didalam
Al-Qur’an dan Al-Hadis, (2) menggalinya dari aturan-aturan umum dan
prinsip-prinsip universal yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan (3)
menyesuaikan dengan maksud dan tujuan syariat yang juga terkandung dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadis.[1]
Para ulama mengibaratkan fiqh Islam sebagai bangunan tinggi dan
megah yang memiliki beberapa menara yang tinggi dan qawa’id fiqhiyyah merupakan
fondamen dan tiang-tiang penyangganya. Dengan demikian, qawa’id fiqhiyyah
merupakan ketentuan-ketentuan umum yang mengatur detil-detil hukum, menentukan
garis perjalanan, batasan, dan aplikasinya yang berfungsi sekaligus menjadi
pedoman umum tanpa memberikan rincian secara mendetail. Karena itu, fuqaha
sangat memberikan perhatian yang sangat besar kepada qawa’id fiqhiyyah tersebut
sehingga mereka dapat menyimpulkan kaidah-kaidah fiqih itu dan melakukan kajian
seksama dan teliti.[2]
Diantara qawa’id fiqhiyyah yang ada adalah kaidah-kaidah tentang
teori memelihara kemashlahatan dalam muamalah (nazhariyat mura’at
al-mashlahah) dan mudarat. Diantara kaidah-kaidahnya yaitu, (1) لاضرر و لاضرار,
(2) الضرر لايزال بالضرر, (3) درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح, dan (4) يزال بقدر الإمكانالضرار
Dan
dalam makalah ini akan sedikit menguraikan bagaimana dan apa arti dari
kaidah-kaidah tersebut.
B.
Kaidah Pertama
لاضرر و لاضرار
Tidak boleh membuat kemudharatan kepada diri sendiri dan tidak
boleh pula membuat kemudharatan pada orang lain
Dalam sebuah
hadis Nabi saw bersabda :
لاضرر و لاضرار
من ضرّ ضرّه الله ومن شقّ شقّ الله عليه (رواه ابن ماجه)
Tidak
boleh membuat kemudharatan kepada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat
kemudharatan pada orang lain. Siapa saja yang memudharatkan, maka Allah-lah
yang akan memudharakannya dan siapa yang
menyusahkan, maka Allah-lah yang akan menyusahkannya. (H.R. Ibnu Majah)
Dalam
menanggapi masalah kata dharar (tanpa alif) dan dhirar (dengan
alif) itu, memiliki arti yang sama, tetapi berbeda dalam objeknya dan keduanya
sama-sama menggunakan bentuk kata nakirah (kata benda yang memiliki cakupan
arti yang sangat umum dan tidak terfokus pada obyek tertentu).
Dari kenyataan
itulah, maka pengertian yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan melalui
dua sisi, yaitu :[3]
1.
Dari sisi kata dharar dan dhirar
itu, memiliki arti yang sama, tetapi berbeda dalam obyeknya.
Sebagian fuqaha mendefinisikan bahwa, dharar
adalah amaliyah yang dilakukan oleh orang dengan seorang diri, dan bahayanya
hanya mengenai pada diri sendiri, sedang dhirar adalah amaliyah yang
dilakukan dua orang atau lebih, dan bahayanya yang didapat,bisa mengena pada
dirinya sendiri dan orang lain.
Sebagian fuqaha lain mengatakan bahwa, dharar
adalah suatu amaliyah yang kemanfaatannya hanya untuk pribadi pelakunya, tetapi
bahayanya bisa mengenai orang lain, dan dhirar adalah amaliyah yang bisa
membahayakan orang lain, tanpa memberi manfaat pada pelakunya sendiri.
2.
Dari sisi keduanya sama-sama menggunakan bentuk
kata nakirah.
Jika kedua kalimat tersebut disebutkan oleh
Nabi saw dalam redaksi hadisnya, maka ditemukan adanya dua isim nakirah yang
didahului oleh huruf LA (لا), fungsinya adalah meniadakan semua jenis ( لا لنفس الجنس) , sehingga keduanya jika digabungkan,
maka pengertian yang terkandung
didalamnya adalah mengharuskan ketiadaan bahaya dalam segala hal dan dalam
semua bentuknya.
Dari analisis
kata seperti itulah, maka peniadaan bahaya dalam segala bentuk dan jenisnya,
baik pribadi maupun orang lain,merupakan suatu kewajiban atau keharusan yang
dianjurkan atau disyari’atkan atau direkomendasikan oleh syariah Islam.
Denga demikian,
dharar dalam bahasa merupakan kebalikan dari kata manfaat, sehingga
dalam istilah diartikan sebagai suatu perasaan sakit didalam hati, sebab
perasaan sakit ini sedang merasuk pada diri manusia. Karena itu, hati yang akan
merasakan sakitnya, sehingga ketika bahaya sakit itu sedang menimpa, maka
ketidakenakan akan dirasakan oleh fisik dan psikisnya.
Jadi perasaan
sakit dalam hati itu adalah tertekan hati yang disebabkan oleh adanya tekanan
aliran darah disekitar hati, sehingga setiap amaliyah yang bisa menyakitkan
hati atau membuat gelisahya perasaan dalam hati, dapat dikategorikan sebagai dharar,
baik dalam bentuk pemukulan, cercaaan, atau hinaan dan sebagainya, baik secara
fisik maupun non fisik,[4]
misalnya kasus-kasus berikut :
a.
Masalah pengembalian barang yang telah dibeli
lantaran cacat.
b.
Dianjurkanya membuat berbagai ragam bentuk khiyar,
Syuf;ah, hudud, kafarah, memilih pemimpin, fasakh dalam pernikahan
karena ada cacat dan sebagaiya.
Dr.
Fathurrahman Azhari menyebutkan, bahwa dharar adalah kesulitan yang
sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka
akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.[5]
Dari Lafadz
hadits tersebut diambillah kaidah fikih yang didalamnya masuk berbagai masalah
yang tidak terhitung, tidaklah berlebihan bila kedudukan kaidah ini disebutkan:
“bahwasanya kaedah ini mencakup separuh agama islam, karena syariat islam
dibangun atas dua hal yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan
kemadhorotan, dan kaedah ini mencakup semua bentuk kemadlorotan harus
dihilangkan.”[6]
C.
Kaidah Kedua
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan
Kaidah ini, sesuai dengan prinsip bahwa syara’ terhadap larangan
yang lebih besar dari pada perhatianya terhadap apa yang diperintahkan,
sebagaimana sabda Nabi saw :
إذا أمرتكم بأمرفأتوا مااستطعتم وإذا نهيتكم عن شيئ فاجتنبوه (رواه
الشيخان عن ابي هريرة)
Jika aku memerintahkan kepadamu suatu perintah, maka hendaklah kamu
melaksanakannya sekuat tenagamu dan jika aku melarang kamu dari mengerjakan
sesuatu maka tinggalkanlah (H.R. Syaikhani dari Abu Hurairah)
Dengan
demikian, jika dalam suatu perkara ditemukan adanya kemanfaatan dan
kemafsadahan, maka yang lebih didahulukan adalah menghilangkan mafsadah, karena
mafsadah akan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan berakibat
terjadinya mafsadah (kerusakan yang lebih besar lagi.[7]
Untuk
menanggapi persoalan “Mashlahah” dan “Mafsadah” dalam realitas
kehidupan, al-Qarafi berpendapat bahwa penelitain hukum Islam (Syari’ah)
menunjukan bahwa tidak ada suatu maslahah pun yang besih dari mafsadah
sekalipun sedikit dan tidak ada suatu mafsadah pun kecuali ia mengandung
maslahah.[8]
Sekalipun
demikian jika maslahah tersebut dikaitkan dengan teori “maqasid”
al-Syathibi sebagaimana termuat dalam
kitab al-Muwafaqat dijelaskan bahwa syari’ ketika memerintahkan
suatu maslahah dan ternyata didalamnya terdapat mafsadat, pada
hakikatnya ia (syari’) tidak menghendaki mafsadahnya. Dan ketika
melarang suatu mafsadah yang didalamnya juga mengandung maslahah,
pada hakikatnya ia (syari’) tidak melarang maslahahnya.
Dengan
demikian, untuk mengetahui ukuran maslahah dan mafsadah dalam
kehidupan dunia adalah apa yang lebih banyak dan lebih dominan. Jika yang lebih
dominan itu aspek maslahahnya, maka ia disebut maslahah.
Sebaliknya bila yang lebih dominan itu aspek mafsadahnya, maka ia
disebut mafsadah.
Maka dari itu, maslahah
dan mafsadah tidak ada yang pasti, sebab dalam realitas kehidupan,
manusia terkadang mengharapkan suatu maslahah padahal didalamnya
terdapat mafsadah dan bahkan bisa jadi mengorbankan maslahah yang
lebih besar , atau terkadang manusia lari dari suatu mafsadah padahal ia
menuju kepada mafasadah yang lebih besar, apa lagi melihat dalam realita
kehidupan yang ada ternyata banyak sekali kesenangan sesaat yang mengakibatkan
kesusahan yang lama, bahkan sampai bisa mendatangkan siksa yang besar. Dari
kenyataan inilah sifat yang terkandung di dalam maslahah dan mafsadah
adalah nisbi artinya sangat terkait dengan kondisi orang tertentu,
maksudnya banyak sekali manfaat yang menguntungkan seseorang, tetapi pada saat
yang sama membahayakan orang lain.[9]
Contoh
sederhana penerapan kaidah ini dalam fiqih muamalah adalah transaksi jual beli
yang hukumnya sunnah, tetapi jika jual beli tersebut mengandung aspek riba,
maka jual beli itu menjadi dilarang.
D.
Kaidah Ketiga
الضرر لايزال بالضرر
Kemudratan itu tidak dapat dihilangkan dengan menimbulkan
kemudharatan yang lain
Kaidah ini pada adalah bagian dari kaidah Kulli (umum) “ يزالالضرر” Kemudaratan itu harus dihilangkan.
Arti kaidah ini menunjukkan bahwa setiap bahaya/keburukan/kerusakan yang telah
atau akan terjadi maka kesemuanya itu haruslah dihilangkan. Dan diantara
masalah-masalah fiqih yang tercakup dalam kaidah ini sangatlah banyak,
diantaranya adalah dalam bidang muamalat, seperti mengembalikan barang yang
telah dibeli lantaran adanya kecacatan itu diperbolehkan, demikian pula
memberlakukan khiyar dengan berbagai macamnya dalam transaksi jual beli karena
terdapat beberapa sifat yang tidak sesua dengan yang telah disepakati, larrangan
terhadap mahjur ‘alaih (orang yang dilarang membelanjakan harta
kekayaannya), muflis (orang yang bangkrut), safih (orang dungu)
untuk bertransaksi dan syuf’ah. Dasar pertimbangan diberlakukannya
ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk menghindari sejauh mungkin kerusakan
yang merugikan pihak-pihak yang terlibat didalamnya.[10]
Pada kaidah “الضرر لايزال بالضرر" Kemudratan itu tidak dapat
dihilangkan dengan menimbulkan kemudharatan yang lain. Maksudnya ialah
seseorang itu tidak boleh menghilangkan suatu bahaya yang ada pada dirinya
dengan menimbulkan bahaya pada diri orang lain, sebab semua manusia memiliki
kedudukan yang setara, sehingga satu jiwa tidak dapat dikorbankan hanya untuk
menjaga kelangsungan hidup bagi jiwa yang lain.[11]
Maka dari itu bahaya yang dihilangkan dengan menimbulkan bahaya
yang lain, tidak bisa disebut menghilangkan bahaya, tapi membiarkan bahaya
seperti sedia kala, sekalipun objeknya berbeda. Maka bahaya tidak dapat dihilangkan
dengan perantara bahaya lainyang seimbang, apa lagi yang lebih besar dan lebih
berbahaya.[12]
Oleh karena itu, seseorang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan
sekali kepada makanan, maka tidak boleh makan makanan milik orang lain yang ia
juga menghajatkannya.[13]
E.
Kaiadah Keempat
الضرر يزال بقدر الإمكان
kemudaratan harus dicegah sebisa mungkin
Kaidah ini bisa juga disebut dengan الضرر يدفع بقدر الإمكان, Kemudaratan
harus dihilangkan secara keseluruhan, inilah yang dimaksud dari kaidah الضرر يزال
. Apabila menghilangkan kemudaratan secara keseluruhan sulit dilakukan, maka
diwajibkan untuk menghilangkannya sebisa mungkin, karena ini lebih baik dari
pada membiarkan bahaya itu. Karena dengan adanya usaha itu, paling tidak bahaya
itu dapat berkurang[14].
Kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان juga berkaitan dengan kaidah الضرر يزال karena kaidah الضرر
يدفع بقدر الإمكان merupakan
kaidah cabang dari kaidah الضرر يزال . sedangkan arti dari kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان adalah wajib hukumnya mencegah kemudaratan semampu mungkin
sebelum kemudaratan itu terjadi. Hal ini lebih baik karena memelihara, menjaga
atau mencegah lebih baik dari pada mengobati atau menghilangkan. Kaidah ini
sejalan dengan konsep al-Qur’an yang memberitakan bahwa pembebanan syari’at
disesuaikan dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakannya. Allah berfirman
dalam surat al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
F.
Dasar Hukum
Dasar hukum dari keempat kaidah diatas adalah:
1.
Al-Qur’an
Surah Aal-A’raf
Ayat 55
ولاتفسدوا في الأرض
Dan janganlah kamu sekalian itu membuat suatu kerusakan dimuka
bumi.
Surah
Al-Qashash Ayat 77
لاتبغ الفساد في الأرض إنّ الله لايحبّ المفسدين
Janganlah berbuat kerusakan dimuka bumi sesungguhnya Allah tidak
senang kepada orang-orang yang membuat suatu kerusakan.
Surah
Al-Baqarah Ayat 231
ولاتمسكوا ضرارا لتعتدوا
Janganlah kamu rujuk untuk memudharatkan.
Surah Al-Nisa
Ayat 12
من بعد وصية يوصى بها او دين غير مضار
Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudahnya dibayar
hutang olehnya dengan tidak memberikan mudharat.
2.
Hadis
H.R. Ibnu Majah
:
لاضرر و لاضرار من ضرّ ضرّه الله ومن شقّ شقّ الله عليه (رواه ابن
ماجه)
Tidak boleh
membuat kemudharatan kepada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat
kemudharatan pada orang lain. Siapa saja yang memudharatkan, maka Allah-lah
yang akan memudharakannya dan siapa yang
menyusahkan, maka Allah-lah yang akan menyusahkannya. (H.R. Ibnu Majah)
H.R. Imam al-Turmudziy :
من حسن إسلام
المرء مالايعنيه
Diantara kebaikan seorang muslim
adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat .
G.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas tentunya dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
dalam kaidah-kaidah tersebut dapat digunakan untuk menjadi dasar dalam
berijtihad menentukan hukum suatu masalah-masalah fiqih yang belum ada hukumnya
yang timbul pada saat ini, dan pastinya dalam kaidah-kaidah diatas menjelaskan
tentang bagaimana memelihara kemaslahatan dan menjauhi mudharat yang akan
timbul sekecil apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Athaillah, Mengenal Qawa’d Fiqhiyyah (Legal Maxim)
Dahlan
Tamrin, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Kulliyah Al-Khamsah), (Malang: UIN Mailiki Press, 2010)
Fathurrahman
Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat, 2014)
Muhammad Ma’shum Zainy, Sistematika Teori
Hukum Islam (Qowa’id – Fiqhiyyah), (Jombang: Darul Hikmah, 2008)
Abd Karim Zaidan, al-Wajiz, (asli) terj.
Muhyiddin Mas Rida, Lc, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008)
https://ibnumajjah.wordpress.com/2012/11/26/kaidah-fikih-tidak-boleh-membahayakan/
Jalaluddin
Abdurrahman As-Suyuti, Al-Asybah Wan Nadzhoir, Daarul Hijrah Technology.
[1] A. Athaillah, Mengenal
Qawa’d Fiqhiyyah (Legal Maxim), h. 4-3.
[2] Ibid. h.
8-9.
[3] Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam (Kulliyah Al-Khamsah), (Malang: UIN Mailiki Press, 2010) h. 154-155
[4] Ibid,
h. 155-156
[5] Fathurrahman
Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat, 2014), Cet. 1, h. 118
[6]
https://ibnumajjah.wordpress.com/2012/11/26/kaidah-fikih-tidak-boleh-membahayakan/
[7] Muhammad
Ma’shum Zainy, Sistematika Teori Hukum Islam (Qowa’id – Fiqhiyyah),
(Jombang: Darul Hikmah, 2008), Cet. 1, h. 70.
[8] Ibid, h.
71
[9] Ibid,
h. 72.
[10] Jalaluddin
Abdurrahman As-Suyuti, Al-Asybah Wan Nadzhoir, Daarul Hijrah Technology.
[11] Dahlan Tamrin,
Op. Cit, h. 172.
[12] Ibid,
[13] Fathurrahman
Azhari, Op.Cit, h. 128.
[14] Abd
Karim Zaidan, al-Wajiz, (asli) terj. Muhyiddin Mas Rida, Lc, (Jakarta Timur:
Pustaka al-Kautsar, 2008), hal. 120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar