Minggu, 19 April 2015

nazhariyat mura’at al-mashlahah

A.    Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman dan bertambahnya ummat Islam diseluruh dunia, maka  dengan itu secara otomatis menambah timbulnya masalah-masalah fiqih baru . Untuk mejawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan tentang hukumnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, maka para pakar hukum Islam berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan cara ijtihad sebagaimana di ungkapkan dalam hadis Mu’adz yang terkenal itu. Namun, ijtihad itu tidak boleh lepas dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dikatakan demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara (1) mengiaskan kepada yang sudah ada hukumnya didalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, (2) menggalinya dari aturan-aturan umum dan prinsip-prinsip universal yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan (3) menyesuaikan dengan maksud dan tujuan syariat yang juga terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.[1]

Para ulama mengibaratkan fiqh Islam sebagai bangunan tinggi dan megah yang memiliki beberapa menara yang tinggi dan qawa’id fiqhiyyah merupakan fondamen dan tiang-tiang penyangganya. Dengan demikian, qawa’id fiqhiyyah merupakan ketentuan-ketentuan umum yang mengatur detil-detil hukum, menentukan garis perjalanan, batasan, dan aplikasinya yang berfungsi sekaligus menjadi pedoman umum tanpa memberikan rincian secara mendetail. Karena itu, fuqaha sangat memberikan perhatian yang sangat besar kepada qawa’id fiqhiyyah tersebut sehingga mereka dapat menyimpulkan kaidah-kaidah fiqih itu dan melakukan kajian seksama dan teliti.[2]
Diantara qawa’id fiqhiyyah yang ada adalah kaidah-kaidah tentang teori memelihara kemashlahatan dalam muamalah (nazhariyat mura’at al-mashlahah) dan mudarat. Diantara kaidah-kaidahnya yaitu, (1) لاضرر و لاضرار, (2) الضرر لايزال بالضرر, (3) درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح, dan (4)  يزال بقدر الإمكانالضرار  Dan dalam makalah ini akan sedikit menguraikan bagaimana dan apa arti dari kaidah-kaidah tersebut.
B.     Kaidah Pertama
لاضرر و لاضرار
Tidak boleh membuat kemudharatan kepada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat kemudharatan pada orang lain
Dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda :
لاضرر و لاضرار من ضرّ ضرّه الله ومن شقّ شقّ الله عليه (رواه ابن ماجه)
Tidak boleh membuat kemudharatan kepada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat kemudharatan pada orang lain. Siapa saja yang memudharatkan, maka Allah-lah yang akan memudharakannya  dan siapa yang menyusahkan, maka Allah-lah yang akan menyusahkannya. (H.R. Ibnu Majah)
Dalam menanggapi masalah kata dharar (tanpa alif) dan dhirar (dengan alif) itu, memiliki arti yang sama, tetapi berbeda dalam objeknya dan keduanya sama-sama menggunakan bentuk kata nakirah (kata benda yang memiliki cakupan arti yang sangat umum dan tidak terfokus pada obyek tertentu).
Dari kenyataan itulah, maka pengertian yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan melalui dua sisi, yaitu :[3]
1.      Dari sisi kata dharar dan dhirar itu, memiliki arti yang sama, tetapi berbeda dalam obyeknya.
Sebagian fuqaha mendefinisikan bahwa, dharar adalah amaliyah yang dilakukan oleh orang dengan seorang diri, dan bahayanya hanya mengenai pada diri sendiri, sedang dhirar adalah amaliyah yang dilakukan dua orang atau lebih, dan bahayanya yang didapat,bisa mengena pada dirinya sendiri dan orang lain.
Sebagian fuqaha lain mengatakan bahwa, dharar adalah suatu amaliyah yang kemanfaatannya hanya untuk pribadi pelakunya, tetapi bahayanya bisa mengenai orang lain, dan dhirar adalah amaliyah yang bisa membahayakan orang lain, tanpa memberi manfaat pada pelakunya sendiri.
2.      Dari sisi keduanya sama-sama menggunakan bentuk kata nakirah.
Jika kedua kalimat tersebut disebutkan oleh Nabi saw dalam redaksi hadisnya, maka ditemukan adanya dua isim nakirah yang didahului oleh huruf LA (لا), fungsinya adalah meniadakan semua jenis ( لا لنفس الجنس) , sehingga keduanya jika digabungkan, maka pengertian  yang terkandung didalamnya adalah mengharuskan ketiadaan bahaya dalam segala hal dan dalam semua bentuknya.
Dari analisis kata seperti itulah, maka peniadaan bahaya dalam segala bentuk dan jenisnya, baik pribadi maupun orang lain,merupakan suatu kewajiban atau keharusan yang dianjurkan atau disyari’atkan atau direkomendasikan oleh syariah Islam.
Denga demikian, dharar dalam bahasa merupakan kebalikan dari kata manfaat, sehingga dalam istilah diartikan sebagai suatu perasaan sakit didalam hati, sebab perasaan sakit ini sedang merasuk pada diri manusia. Karena itu, hati yang akan merasakan sakitnya, sehingga ketika bahaya sakit itu sedang menimpa, maka ketidakenakan akan dirasakan oleh fisik dan psikisnya.
Jadi perasaan sakit dalam hati itu adalah tertekan hati yang disebabkan oleh adanya tekanan aliran darah disekitar hati, sehingga setiap amaliyah yang bisa menyakitkan hati atau membuat gelisahya perasaan dalam hati, dapat dikategorikan sebagai dharar, baik dalam bentuk pemukulan, cercaaan, atau hinaan dan sebagainya, baik secara fisik maupun non fisik,[4] misalnya kasus-kasus berikut :
a.       Masalah pengembalian barang yang telah dibeli lantaran cacat.
b.      Dianjurkanya membuat berbagai ragam bentuk khiyar, Syuf;ah, hudud, kafarah, memilih pemimpin, fasakh dalam pernikahan karena ada cacat dan sebagaiya.
Dr. Fathurrahman Azhari menyebutkan, bahwa dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.[5]
Dari Lafadz hadits tersebut diambillah kaidah fikih yang didalamnya masuk berbagai masalah yang tidak terhitung, tidaklah berlebihan bila kedudukan kaidah ini disebutkan: “bahwasanya kaedah ini mencakup separuh agama islam, karena syariat islam dibangun atas dua hal yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemadhorotan, dan kaedah ini mencakup semua bentuk kemadlorotan harus dihilangkan.”[6]

C.    Kaidah Kedua
 درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan
Kaidah ini, sesuai dengan prinsip bahwa syara’ terhadap larangan yang lebih besar dari pada perhatianya terhadap apa yang diperintahkan, sebagaimana sabda Nabi saw :
إذا أمرتكم بأمرفأتوا مااستطعتم وإذا نهيتكم عن شيئ فاجتنبوه (رواه الشيخان عن ابي هريرة)
Jika aku memerintahkan kepadamu suatu perintah, maka hendaklah kamu melaksanakannya sekuat tenagamu dan jika aku melarang kamu dari mengerjakan sesuatu maka tinggalkanlah (H.R. Syaikhani dari Abu Hurairah)
Dengan demikian, jika dalam suatu perkara ditemukan adanya kemanfaatan dan kemafsadahan, maka yang lebih didahulukan adalah menghilangkan mafsadah, karena mafsadah akan dapat meluas dan menjalar kemana-mana, sehingga akan berakibat terjadinya mafsadah (kerusakan yang lebih besar lagi.[7]
Untuk menanggapi persoalan “Mashlahah” dan “Mafsadah” dalam realitas kehidupan, al-Qarafi berpendapat bahwa penelitain hukum Islam (Syari’ah) menunjukan bahwa tidak ada suatu maslahah pun yang besih dari mafsadah sekalipun sedikit dan tidak ada suatu mafsadah pun kecuali ia mengandung maslahah.[8]
Sekalipun demikian jika maslahah tersebut dikaitkan dengan teori “maqasid” al-Syathibi  sebagaimana termuat dalam kitab al-Muwafaqat dijelaskan bahwa syari’ ketika memerintahkan suatu maslahah dan ternyata didalamnya terdapat mafsadat, pada hakikatnya ia (syari’) tidak menghendaki mafsadahnya. Dan ketika melarang suatu mafsadah yang didalamnya juga mengandung maslahah, pada hakikatnya ia (syari’) tidak melarang maslahahnya.
Dengan demikian, untuk mengetahui ukuran maslahah dan mafsadah dalam kehidupan dunia adalah apa yang lebih banyak dan lebih dominan. Jika yang lebih dominan itu aspek maslahahnya, maka ia disebut maslahah. Sebaliknya bila yang lebih dominan itu aspek mafsadahnya, maka ia disebut mafsadah.
Maka dari itu, maslahah dan mafsadah tidak ada yang pasti, sebab dalam realitas kehidupan, manusia terkadang mengharapkan suatu maslahah padahal didalamnya terdapat mafsadah dan bahkan bisa jadi mengorbankan maslahah yang lebih besar , atau terkadang manusia lari dari suatu mafsadah padahal ia menuju kepada mafasadah yang lebih besar, apa lagi melihat dalam realita kehidupan yang ada ternyata banyak sekali kesenangan sesaat yang mengakibatkan kesusahan yang lama, bahkan sampai bisa mendatangkan siksa yang besar. Dari kenyataan inilah sifat yang terkandung di dalam maslahah dan mafsadah adalah nisbi artinya sangat terkait dengan kondisi orang tertentu, maksudnya banyak sekali manfaat yang menguntungkan seseorang, tetapi pada saat yang sama membahayakan orang lain.[9]
Contoh sederhana penerapan kaidah ini dalam fiqih muamalah adalah transaksi jual beli yang hukumnya sunnah, tetapi jika jual beli tersebut mengandung aspek riba, maka jual beli itu menjadi dilarang.

D.    Kaidah Ketiga
الضرر لايزال بالضرر
Kemudratan itu tidak dapat dihilangkan dengan menimbulkan kemudharatan yang lain
Kaidah ini pada adalah bagian dari kaidah Kulli (umum) “ يزالالضررKemudaratan itu harus dihilangkan. Arti kaidah ini menunjukkan bahwa setiap bahaya/keburukan/kerusakan yang telah atau akan terjadi maka kesemuanya itu haruslah dihilangkan. Dan diantara masalah-masalah fiqih yang tercakup dalam kaidah ini sangatlah banyak, diantaranya adalah dalam bidang muamalat, seperti mengembalikan barang yang telah dibeli lantaran adanya kecacatan itu diperbolehkan, demikian pula memberlakukan khiyar dengan berbagai macamnya dalam transaksi jual beli karena terdapat beberapa sifat yang tidak sesua dengan yang telah disepakati, larrangan terhadap mahjur ‘alaih (orang yang dilarang membelanjakan harta kekayaannya), muflis (orang yang bangkrut), safih (orang dungu) untuk bertransaksi dan syuf’ah. Dasar pertimbangan diberlakukannya ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk menghindari sejauh mungkin kerusakan yang merugikan pihak-pihak yang terlibat didalamnya.[10]
Pada kaidah “الضرر لايزال بالضرر" Kemudratan itu tidak dapat dihilangkan dengan menimbulkan kemudharatan yang lain. Maksudnya ialah seseorang itu tidak boleh menghilangkan suatu bahaya yang ada pada dirinya dengan menimbulkan bahaya pada diri orang lain, sebab semua manusia memiliki kedudukan yang setara, sehingga satu jiwa tidak dapat dikorbankan hanya untuk menjaga kelangsungan hidup bagi jiwa yang lain.[11]
Maka dari itu bahaya yang dihilangkan dengan menimbulkan bahaya yang lain, tidak bisa disebut menghilangkan bahaya, tapi membiarkan bahaya seperti sedia kala, sekalipun objeknya berbeda. Maka bahaya tidak dapat dihilangkan dengan perantara bahaya lainyang seimbang, apa lagi yang lebih besar dan lebih berbahaya.[12]
Oleh karena itu, seseorang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan sekali kepada makanan, maka tidak boleh makan makanan milik orang lain yang ia juga menghajatkannya.[13]

E.     Kaiadah Keempat
 الضرر يزال بقدر الإمكان
kemudaratan harus dicegah sebisa mungkin
Kaidah ini bisa juga disebut dengan  الضرر يدفع بقدر الإمكان, Kemudaratan harus dihilangkan secara keseluruhan, inilah yang dimaksud dari kaidah الضرر يزال . Apabila menghilangkan kemudaratan secara keseluruhan sulit dilakukan, maka diwajibkan untuk menghilangkannya sebisa mungkin, karena ini lebih baik dari pada membiarkan bahaya itu. Karena dengan adanya usaha itu, paling tidak bahaya itu dapat berkurang[14].
Kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان juga berkaitan dengan kaidah الضرر يزال  karena kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان merupakan kaidah cabang dari kaidah الضرر يزال . sedangkan arti dari kaidah الضرر يدفع بقدر الإمكان adalah wajib hukumnya mencegah kemudaratan semampu mungkin sebelum kemudaratan itu terjadi. Hal ini lebih baik karena memelihara, menjaga atau mencegah lebih baik dari pada mengobati atau menghilangkan. Kaidah ini sejalan dengan konsep al-Qur’an yang memberitakan bahwa pembebanan syari’at disesuaikan dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakannya. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah  ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
F.     Dasar Hukum
Dasar hukum dari keempat kaidah diatas adalah:
1.      Al-Qur’an
Surah Aal-A’raf Ayat 55
ولاتفسدوا في الأرض
Dan janganlah kamu sekalian itu membuat suatu kerusakan dimuka bumi.
Surah Al-Qashash Ayat 77
لاتبغ الفساد في الأرض إنّ الله لايحبّ المفسدين
Janganlah berbuat kerusakan dimuka bumi sesungguhnya Allah tidak senang kepada orang-orang yang membuat suatu kerusakan.
Surah Al-Baqarah Ayat 231
ولاتمسكوا ضرارا لتعتدوا
Janganlah kamu rujuk untuk memudharatkan.
Surah Al-Nisa Ayat 12
من بعد وصية يوصى بها او دين غير مضار
Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudahnya dibayar hutang olehnya dengan tidak memberikan mudharat.
2.      Hadis
H.R. Ibnu Majah :
لاضرر و لاضرار من ضرّ ضرّه الله ومن شقّ شقّ الله عليه (رواه ابن ماجه)
Tidak boleh membuat kemudharatan kepada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat kemudharatan pada orang lain. Siapa saja yang memudharatkan, maka Allah-lah yang akan memudharakannya  dan siapa yang menyusahkan, maka Allah-lah yang akan menyusahkannya. (H.R. Ibnu Majah)
H.R. Imam al-Turmudziy :
من حسن إسلام المرء مالايعنيه
Diantara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat .
G.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas tentunya dapat ditarik kesimpulan bahwasanya dalam kaidah-kaidah tersebut dapat digunakan untuk menjadi dasar dalam berijtihad menentukan hukum suatu masalah-masalah fiqih yang belum ada hukumnya yang timbul pada saat ini, dan pastinya dalam kaidah-kaidah diatas menjelaskan tentang bagaimana memelihara kemaslahatan dan menjauhi mudharat yang akan timbul sekecil apapun.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Athaillah, Mengenal Qawa’d Fiqhiyyah (Legal Maxim)
Dahlan Tamrin,  Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah Al-Khamsah), (Malang: UIN Mailiki Press, 2010)
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2014)
 Muhammad Ma’shum Zainy, Sistematika Teori Hukum Islam (Qowa’id – Fiqhiyyah), (Jombang: Darul Hikmah, 2008)
 Abd Karim Zaidan, al-Wajiz, (asli) terj. Muhyiddin Mas Rida, Lc, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008)
 https://ibnumajjah.wordpress.com/2012/11/26/kaidah-fikih-tidak-boleh-membahayakan/
Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Al-Asybah Wan Nadzhoir, Daarul Hijrah Technology.




[1] A. Athaillah, Mengenal Qawa’d Fiqhiyyah (Legal Maxim), h. 4-3.
[2] Ibid. h. 8-9.
[3] Dahlan Tamrin,  Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah Al-Khamsah), (Malang: UIN Mailiki Press, 2010) h. 154-155
[4] Ibid, h. 155-156 
[5] Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat, 2014), Cet. 1, h. 118
[6] https://ibnumajjah.wordpress.com/2012/11/26/kaidah-fikih-tidak-boleh-membahayakan/

[7] Muhammad Ma’shum Zainy, Sistematika Teori Hukum Islam (Qowa’id – Fiqhiyyah), (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Cet. 1, h. 70.
[8] Ibid, h. 71
[9] Ibid, h. 72.
[10] Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Al-Asybah Wan Nadzhoir, Daarul Hijrah Technology.
[11] Dahlan Tamrin, Op. Cit, h. 172.
[12] Ibid,  
[13] Fathurrahman Azhari, Op.Cit, h. 128.
[14] Abd Karim Zaidan, al-Wajiz, (asli) terj. Muhyiddin Mas Rida, Lc, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008), hal. 120. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laporan Keuangan Koperasi

  apa itu laporan keuangan ??? Laporan keuangan  sangat penting bagi koperasi. Laporan ini merupakan hal yang terkait dengan berjalannya k...