A.
Pendahuluan
Secara umum sistem perekonomian didunia dikenal dengan tiga sistem
ekonomi, yaitu (1) Kapitalis,(2) Sosialis, dan (3) sistem campuran antara
Kapitalis dan Sosialis. Selain ketiga sistem ekonomi tersebut, belakangan hadir
sebuah sistem ekonomi baru, yaitu sistem Ekonomi Islam[1]
atau sering juga disebut Ekonomi Syariah[2]
yang diawali dengan konsep ekonomi dan bisnis non ribawi. 70-an perjuangan
untuk menegakkan sistem Ekonomi Syariah di Tanah Air sudah berlangsung, namun
terdapat halangan yaitu faktor politik, bahwa penegakan konsep Ekonomi Syariah
dengan mendirikan Bank Syariah dianggap sebagian dari cita-cita mendirikan
Negara Islam.
Perbankan Syariah merupakan salah satu tolak ukur penerapan konsep
Ekonomi Syariah di Indonesia, karena Perbankan Syariah merupakan salah satu
solusi perekonomian bangsa, mengingat perekonomian merupakan tulang punggung
penggerak stabilitas Nasional. Perkembangan dan pertumbuhan perbankan dan
lembaga keuangan berbasis Syariah di Indonesia dari tahun ke tahun memperlihatkan
kinerja yang membaik. Demikian pula kontribusinya terhadap perekonomian
Nasional beranjak naik signifikan. Hal ini merupakan fakta diterimanya konsep
syariah bagi masyarakat Indonesia.[3]
Sebagaimana kita ketahui, bank Syariah yang pertama kali berdiri di
Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992 dan ini
beriringan dengan diterbitkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang
memungkinkan pembentukan bank dengan bunga 0% (zero interest). Setelah sekian lama berdirinya Bank Muamalah Indonesia, sekitar
16 tahun kemudian barulah ada Undang-undang yang secara jelas dan tegas
menaungi perbankan yang menggunakan sistem Syariah ini.
Dalam tenggang waktu selama itu, bagaimana sistem Ekonomi Islam
khususnya perbankan Islam berjalan pada masa itu?, dan usaha konkrit apa yang
dilakukan oleh para pegiat, pakar dan para cendikiawan muslim untuk memperjuangankan
sistem ekonomi Islam ?. untuk menjawab pertanyaan itu, maka dalam makalah ini
akan sedikit digambarkan bagaimana perjalanan Bank Syariah Pra terbentunkya UU
No. 20 tahun 2008.
B.
Perbankan Syariah di Masa Rasulullah SAW dan Dunia
Pada masa perang di zaman Rasulullah saw, beliau dan kaum muslim
mendapatkan ghanimah[4] dan fai[5].
Pada masa itu para sahabat Nabi berselisih faham tentang aturan pembagian harta
tersebut, sehingga turun firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal ayat 1 yang
artinyi :
mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul[6]
Surah Al-Anfal Ayat 41:
Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil[7]
Surah Al-Hasyr ayat 7:
apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan.
Melalui ayat-ayat di atas, Allah menjelaskan hukum pembagian harta
yang diperoleh pada masa peperangan dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh
kaum muslim. Selain itu, Allah memberikan kewenangan kepada Rasulullah untuk
membagikannya sesuai dengan pertimbangan beliau untuk kemaslahatan kaum
muslimin. Hal tersebut sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
ra, Rasulullah saw bersabda:”setiap negeri yang engkau taklukan tanpa
pertempuran, maka engkau mendapat bagian atas harta rampasannya, dan setiap
negeri yang engkau taklukan dengan pertempuran, maka seperlima harta
rampasannya untuk Allah dan Rasul-Nya, kemudian sisanya untuk kamu sekalian”.[8]
Dengan demikian harta yang didapat pada masa perang tersebut
menjadi hak bagi baitul maal yang pengelolaannya dilakukan oleh
Rasulullah. Harta yang didapat pada masa perang oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah,
selesai pertempuran dibagikan sampai habis oleh Rasulullah, begitu juga pada
zaman khalifah Abu Bakar dan pada permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab.
Dengan bertambahnya kawasan yang ditaklukan, kekayaan yang didapat pada masa
perang pun semakin banyak, belum lagi pendapatan dari pajak tanah (kharaj)
yang dibayarkan oleh petani dan pajak yang dibayarkan oleh penduduk non muslim
(jizyah). Pada zaman Umar, kekayaan dan pendapatan yang terkumpul
sebagai baitul maal tersebut dicatat dan disalurkan untuk keperluan
dakwah dan syiar Islam serta kemaslahatan rakyat. Sumber pendapatan keuangan
Negara pada zaman Nabi selain ghanimah, juga khums, zakat, jizyah, dan
kharaj. Pada masa itu orang-orang yang menyebarkan agama dan pejabat
Negara mendapatkan gaji dari dana tersebut, baitul maal yang dibentuk
pada awal pemerintahan masih berbentuk pusat pengumpulan dana dan pembagian
kekayaan public yang belum melembaga. Baitul maal dalam arti kantor
perbendaharaan Negara baru dibentuk pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Khattab (634-644 M).[9]
Fungsi baitul maal sebagai lembaga yang mengumpulkan harta
dan menyalurkannya untu kemaslahatan rakyat tersebut, menurut Wangsawidjaja
identik dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediary, yaitu sebagai
penyimpan dan penyalur daba masyarakat. Karena itu berdasarkan sejarahnya,
dapat dikatakan bahwa baitul maal merupakan cikal bakal dari lahirnya
perbankan Syariah.[10]
Dalam literatur lain disebutkan, bahwa Rasulullah saw yang dikenal
dengan julukan al-amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima
simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia
meminta Ali bin Abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan itu kepada
miliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta
titipan.[11]
Seorang sahabat Rasulullah., Zubair bin Al-Awwam r.a., memilih
tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman.
Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama,
dengan mengambil uang sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkannya,
kedua, karena bentuk pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikan
secara utuh. Dalam riwayat lain disebutkan, Ibnu Abbas r.a juga pernah
melakukan pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a melakukan
pengiriman uang dari Makkah ke adiknya Ms’ab bin Zubair r.a yang tinggal di
Irak.[12]
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya
perdagangan antara Syam dan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam
setahun. Bahkan, pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khattab r.a
menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan
menggunakan cek ini, mereka mengambil gandum di baitul maal yang ketika
diimpor dari Mesir. Di samping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis
bagi hasil, seperti mudharabah, muzara’ah, musaqah, telah
dikenal sejak awal di antara kaum muhajirin kaum anshar.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah
melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah saw, meskipun individu
tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang
melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi
pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada
pula yang memberikan modal kerja.[13]
Oleh karena bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang
berarti haram, di sejumlah negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim mulai
timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga bank alternatif non-ribawi. Hal ini
terjadi terutama setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya dari
para penjajah bangsa Eropa. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa
bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an tetapi
usaha ini tidak sukses. Eksperimen lain dilakukan di Pakistan pada akhir tahun
1950-an, di mana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan di pedesaan
negara itu.[14]
Kemudian sejarah lainnya bagi perkembangan bank Islam yaitu dengan
didirikannya Islamic Development Bank (IDB). Pendiriannya diawali dengan sidang
menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi,
Pakistan pada bulan Desember 1970, dimana Mesir mengajukan proposal untuk
mendirikan bank syariah Internasional. Setelah melalui persetujuan
negara-negara OKI lainnya dan tahapan-tahapan tertentu, maka pada tahun 1975
berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang beranggotakan 22 negara Islam
pendiri.[15]
Lembaga ini kemudian berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dana
negara-negara Islam untuk pembangunan dan secara aktif memberi jaminan bebas
bunga berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. Di samping itu, berdirinya
IDB juga memotivasi banyak negara lain untuk mendirikan lembaga keuangan
syariah. Pada akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, lembaga keuangan
syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran,
Malaysia, dan Turki.[16]
C.
Perbankan Syariah di Indonesia
Setelah Indonesia merdeka,
serangkaian keputusan dan undang-undang yang dikeluarkan telah memberikan
landasan bagi kebijakan nasional tentang pengaturan perbankan. Landasan pokok
penting bagi perbankan tencantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok perbankan.[17]
Sejak awal 70-an, gerakan islam di tingkat
nasional telah memasuki bidang ekonomi dengan diperkenalkannya sistem ekonomi
Islam, sebagai alternatif terhadap sistem kapitalis
dan sosialis. Wacana sistem ekonomi islam itu mencakup semua aspek ekonomi
sebagaimana telah dirumuskan secara komprehensif oleh Umer Chappra dalam
bukunya, The Future of Economics.
Namun, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi islam itu identik dengan konsep
tentang sistem keuangan dan perbankan.kecenderungan ini dipengaruhi oleh dua
factor. Pertama, petunjuk Tuhan dalam
Al-Qur’a n dan Sunnah yang paling menonjol – paling tidak sebagaimana yang
dilihat dan menjadi perhatian para ulama dan cendikiawan muslim adalah, doktrin
transaksi nonribawi (larangan praktik riba). Kedua, peristiwa ditahun 1974 dan 1979, yang menimbulkan kekuatan
financial, berupa petro dolar pada kawasan Negara-negara dikawasan Timur Tengah
dan Afrika Utara, termasuk Indonesia, Malaysia dan Brunei di Asia Tenggara.
Melihat gejala itu timbul pemikiran untuk “memutar” dana petro dolar tersebut
melalui lembaga keuangan syariah.[18]
Sebenarnya di Indonesia maupun di Dunia Islam terdapat dua aliran
pemikiran sehubungan dengan sistem keuangan dan perbankan. Aliran pertama
berpendapat bahwa bunga bank itu tidak tergolong riba, karena yang disebut riba
adalah pembugaan uang oleh mindering yang bunganya sanggat tinggi
sehingga disebut ”lintah darat”. Seorang ulama terkemuka dari PERSIS (Persatuan
Islam), A. Hasan, bahkan berpendapat bahwa yang disebut riba itu adalah bunga
dengan suku bunga tinggi (ad’afan mudhoafan). Muhammad Hatta, ahli
ekonomi terkemuka, juga berpendapat bahwa riba adalah bunga pada kredit
konsumtif, sedangkan bunga pada kredit produktif tidak tergolong riba, karena,
uangnya bermanfaat untuk mendapatkan keuntungan. Mereka yang menghalalkan bunga
bank termasuk tokoh Muhammadiyah, Kasman Singomedjo dan Syarifuddin
Prawiranegara.[19]
Namun aliran yang melahirkan
ide bank Islam berpendapat bahwa bunga itu tetap riba. Kendatipun
demikian, bank sebagai lembaga keuangan tidaklah dilarang, bahkan diperlukan.
Karena itu yang harus diciptakan adalah sebuah bank yang tidak bekerja atas
dasar bunga, melainkan atas sistem bagi hasil yang dikenal dalam fiqh muamalah
sebagai transaksi qirad atau muradharabah.[20]aliran
kedua ini dapat dikategorikan sebagai
pemikiran fundamentalis, sedangkan aliran pertama bisa disebut sebagai aliran
liberal.
Kedua aliran tersebut di Indonesia maupun di dunia Islam masih
tetap hidup bersama. Pada umumnya di dunia Islam yang berlaku adalah dual
system yang berkoeksistensi dan bersaing. Sebagian besar umat Islam masih
menganut pada sitem perbankan konvensional. Mereka menyimpan uangnya dan
meminta kredit dari bank konvensional dengan sistem bunga.
Namun kelompok fundamentalis di bidang ekonomi ini memperjuangkan
berlakunya syariat di bidang perbankan. Diantara tokoh-tokoh yang
memperjuangkannya seperti, A. M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin
Aziz, Mohammad Syafi’I Antonio, Adiwarman Karim, Zainal Arifin, Mulya Siregar,
Suroso Jajuli, Zaenal Baharnoer, Iwan Poncowinoto dan Riawan Amin.[21]
Pada dasarnya entitas bank Syariah
di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983 dengan keluarnya Paket Desember
1983 (Pakdes 83) yang berisi sejumlah regulasi di bidang perbankan, dimana
salah satunya ada peraturan yang memperbolehkan bank memberikan kredit dengan
bunga 0% (zero
interest).[22]
Deregulasi ini tidak berdampak langsung atas pelaksanaan sistem perbankan tanpa
bunga yang dibicarakan pada pertengahan tahun 1970-an,[23]
ada beberapa alasan yang menghambat terealisasinya ide ini, yaitu operasi bank
Islam yang menerapkan perinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena hal itu
tidak sejalan dengan Undang-Undang No. 14 tahun 1967. Konsep bank Islam dari
segi poltis juga dianggap berkonotasi ideologis, merupakan bagian atau
berkaitan dengan konsep Negara Islam. Dan pada saat itu masih dipertanyakan,
siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara
pendirian bank baru dari Negara-negara Timur Tengahmasi dicegah, antara lain
oleh kebijakan pembatasan bank asing yang ingin membuka kantor cabang di
Indonesia, sedangkan pendirian bank baru oleh orang Indonesi sendiri masih
belum memungkinkan.[24] Dalam
perkembangannya diikuti oleh serangkaian kebijakan di bidang perbankan oleh
Menteri Keuangan Radius Prawiro yang tertuang dalam Paket Oktober 1988 (Pakto
88). Pakto 88 intinya merupakan deregulasi perbankan yang memberikan kemudahan
bagi pendirian bank-bank baru, sehingga industri perbankan pada waktu itu
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.[25]
Seminar lokakarya bertema Bunga Bank
dan Perbankan yang diadakan pada tanggal 18-20 agustus 1990, menimbulkan ide
berdirinya bank Islam. Ide tersebut ditindak lanjuti dalam Munas IV Majelis
Ulama Indonesia (MUI) di Hotel Sahid pada tanggal 22-23 agustus 1990. Akhirnya
dengan izin prinsip Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1223/MK.013/1991
tanggal 5 November 1991 dan Izin usaha Keputusan Menteri Keuangan RI No.
430/KMK: 013/1992 tanggal 24 April 1992 bahwa pada tanggal 1 Mei 1991 Bank
Muamalat Indonesia dapat memenuhi operasi melayani kebutuhan masyarakat melalui
jasa-jasanya.[26]
Industri perbankan yang pertama menggunakan sistem Syariah adalah
PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk yang didirikan pada tahun 1991 dan memulai
kegiatan oprasionalnya pada bulan Mei 1992. Perbankan bank dimaksud,
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pemerintah Indonesia, serta
mendapat dukungan nyata dari eksponen Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia
(ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Selain itu, pendirian Bank Muamalat juga
mendapat dukungan dari masyarakat. Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua
tahun setelah didirikan, Bank Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai
Bank Devisa. Pengakuan ini semakin memperkokoh posisi perseroan sebagai bank
Syariah pertama dan terkemuka di Indonesia.[27]
Lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) ini diikuti dengan
kemunculan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang memperkenalkan
sistem Perbankan Bagi Hasil. Dalam undang-undang tersebut pada pasal 6 (m) dan
pasal 13 huruf (c) menyatakan,[28]
bahwa salah satu usaha Bank Umum dan Bank Pengkreditan Rakyat adalah
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan dalam Peraturan Pemerintah
(PP) No. 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil dan
diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 119 tahun 1992.[29] Walaupun
fungsi regulasi pemerintah terhadap sektor bagi hasil ini sudah dimulai, namun
undang-undang ini belum secara tegas mengatur tentang keberadaan perbankan
syariah. Artinya undang-undang tersebut belum member landasan hukum yang kuat
terhadap pengembangan bank syariah karena belum tegas mengatur keberadaan bank
berdasarkan prinsip syariah.[30]
Dalam perjalanannya, perbankan syariah di Indonesia geraknya tidak secapat bank
konvensional. Kondisi ini terjadi akibat dari sistem dan perangkat hukum yang
mendukung perbankan syariah tidak memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi
perbangkan syariah untuk berkembang.
Kebiasaan dan tradisi hukum di Indonesia dalam membuat rancangan
undang-undang di zaman Orde Lama dan Orde Baru tidak pernah terdengar kata
“Syariat”. Kata “Syariat”itu baru muncul ketika rancangan undang-undang
perbankan diusulkan menjadi undang-undang di akhir zaman Orde Baru dan zaman
awal Reformasi. Hal ini menujukan bahwa pihak eksekutif dan legislative
memahami aspirasi penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga menyiapkan
perangkat hukum yang berkaitan dengan persoalan hukum perbankan dan produk-produknya.[31]
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter. Akibat krisis tersebut, merupakan suatu ujian
terhadap para pelaksana sistem peekonomian Indonesia yang membuat banyak
lembaga keuangan dan perbankan saat itu mengalami negative spread yang
berakibat pada likuidasi, tingkat suku bunga yang mengakibatkan tinggi biaya
modal bagi sektor usaha yang pada akhirnya mengakibatkan merosot kemampuan
usaha sektor produksi, berdampaknya pada kualitas aset perbankan menurun secara
drastis, sementara sistem perbankan mempunyai kewajiban untuk membayar bunga
kepada para depositor sesuai dengan tingkat suku bunga pasar. Rendahnya
kemampuan daya saing usaha pada sektor produksi ini menyebabkan berkurangnya
persen sistem perbankan secara umum untuk menjalankan fungsi sebagai
intermediator dalam kegiatan investasi.[32]
Perkembangan perbankan syariah dalam menghadapi berbagai krisis,
cukup memadai. Hal ini dibuktikan dengan hampir tidak ditemukan permasalahan
dalam penyaluran pembiayaan (non performing loan) pada perbankan syariah
dan tidak terjadi negative spread dalam kegiatan operasionalnya. Hal
dimaksud dapat difahmi mengingat tingkat pengembalian pada bank syariah tidak
mengacu pada tingkat suku bunga dan pada akhirnya dapat menyediakan dana
investasi dengan biaya modal yang relatif lebih rendah kepada warga masyarakat.
Selain itu, fakta hukum menunjukkan bahwa bank syariah relatif lebih dapat
menyalurkan dana kepada sektor produksi dengan LDR berkisar antara 113-117%.[33]
Pada tahun 1998, dikeluarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Pada undang-undang ini
terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang besar bagi
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Undang-Undang ini juga memberikan
penegasan terhadap konsep Perbankan Islam dengan megubah penyebutan “bank
Berdasarkan Prinsip Bagi hasil” pada Undang-Undang No. 7 tahun 1992, menjadi
“Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Bahkan dalam undang-undang tersebut juga
dijelaskan tentang pengertian Prinsip Syariah dalam perbankan pun terdapat
penguatan kedudukan Hukum Islam dalam hukum positif. Sebagai mana disebutkan
dalam Pasal 1 ayat (13 ).[34]
Undang-undang inilah yang pertama kali memperkenalkan istilah
perbankan Syariah, yag sebelumnya hanya dikenal dengan bank yang menggunakan
prinsip bagi hasil dan memberikan layanan dengan bunga 0% (zero interest). Dan undang-undang tersebut juga memberi kesempatan yang luas
untuk pengembangan jaringan perbankan Syariah antara lain melalui pembukaan
Kantor Cabang Syariah (KCS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) oleh bank
konvensional. Dengan kata lain, bank umum dimungkinkan menjalankan usahanya
secara konvensional sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.[35]
UU No. 10 ini menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia.
Dual Banking System ini membuktikan sektor keuangan berbasis Syariah diterima
dalam industri perbankan nasional. Aturan ini memicu ekspansi perbankan Syariah
nasioal secara signifikan.
Akan tetapi efek keadaan ini, bank Syariah yang menjadi unit bank
konvensional tidak dapat berdiri sendiri, operasionalisasinya masih menginduk
kepada bank konvensional. Bila demikian, adanya perbankan syariah hanya menjadi
salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional. Untuk mencapai
tujuan yang di inginkan perbankan Syariah dibutuhkan kemandirian perbankan
syariah dengan pengaturan dalam bentuk peraturan perundang-undangan khusus.
Pada periode undang-undang ini, juga dapat dilihat beberapa
permasalahan hukum yang masih belum diatur lebih lanjut. Masalah-masalah
tersebut antara lain:[36]
1.
Bank
islam tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda,
2.
Eksistensi
Dewan Pengawas Syariah,
3.
Pengawasan
bank Islam masih berdasarkan pendekatan konvensional,
4.
Bank
sentral memakai standar interst,
5.
Belum
memadainya peraturan pelaksanaan bank Islam,
6.
Hukum
perdata tetap menjadi acuan dalam dokumentasi dan legitimasi.
Secara evolusi perjalanan perundang-undangan perbankan di Indoseia
dapat digambarkan sebagai berikut :
1.
UU
No. 14 tahun 1967 (tidak memungkinkan ada bank tanpa bunga)
2.
Deregulasi
1 juni 1983 (dimungkinkan ada bank tanpa bunga, tapi belum ada izin mendirikan
bank baru)
3.
Pakto
1988 (dimungkinkan adanya bank tanpa bunga, sudah ada ijin mendirikan bank
baru)
4.
UU.
No. 7 tahun 1992 (sudah diakomodasi adanya bank tanpa bunga dengan sistem bagi
hasil)
5.
UU
no. 10 tahun 1998 (penyebutan istilah perbankan Syariah secara jelas, dan
memungkinkan bank konvensional membuka Kantor Cabang Syariah “KCS” atau Unit
Usaha Syariah “UUS)
D.
Kesimpulan
Perjalanan perbankan di Indonesia tentunya sudah ada sejak zaman
colonial dahulu, dan dalam kontek pasca kemerdekaan regulasi pertama yang ada
mengenai perbankan di tanah air dimulai dengan UU No. 14 Tahun 1967, dari
regulasi tersebut tidak memungkinkan adanya bank tanpa bunga, namun dengn
perkembangan selanjutnya lahir regulasi-regulasi yang menaungi adanya bank yang
boleh menjalankan usahanya tanpa bunga / zero inters.
Perjuangan para cendikiawan dalam menegakkan ekonomi Islam di
Indonesia tentunya mendapat banyak tantangan, diantaranya adalah faktor politik
yang ada. Lahirnya ide pendirian bank syariah sendiri tentunya tidak lepas dari
peran para pemikir fundamental, yang mereka berpendapat bahwa bunga bank itu
adalah riba, namun pada perkembangan zaman ini tetunya jasa perbankan sangatlah
diperlukan, karena itu para fundamentalis melahirkan ide adanya bank Islam yang
tentunya bank dengan menggunakan prinsip dasar Islam. Diantara tokoh-tokoh yang
memperjuangkannya seperti, A. M. Saefuddin, Karnaen Perwataatmaja, M. Amin
Aziz, Mohammad Syafi’I Antonio, Adiwarman Karim, Zainal Arifin, Mulya Siregar,
Suroso Jajuli, Zaenal Baharnoer, Iwan Poncowinoto dan Riawan Amin.
Salah satu faktor dapat berdirinya bank Islam pada waktu itu adalah
keberpihakan politik pada masa itu mampu mendoron berdirinya Bank Islam, salah
satunya dengan pembentuan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang
diketuai BJ. Habibiy pada saat itu.
Sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang disebut
sebagai bank syariah yang pertama kali berdiri di Indonesia, barulah lahir
regulasi yang menaunginya, seperti lahirnya UU No. 7 tahun 1992 yang
memungkinkan adanya bank tanpa bunga, lalu sekitar 6 tahun kemudian lahir pula
UU No. 10 tahun 1998 yang menyebutkan istilah perbankan syariah dengan jelas
didalamnya serta penjelasannya sendiri. Dengan lahirnya Uundang-undang tersebut
memberikan angin segar bagi berkembangnya perbankan syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. karim, Bank
Islam Analisis Fiqih Dan KeuangaN, Ed. 4, Cet. 7, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010).
Adiwarman A. Karim, Praktik Pengembangan Perbankan Syariah di
Negara-negara Islam, FHUI, Depok, 2003.
Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi
dan Konversi (Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam), (Yogyakarta: UII
Press, 2010), Cet. I.
Abdul Ghofur Anshori, Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional,
(La-Riba Jurnal Ekonomi Islam, 2008), Vol. II, No. 2.
Dewi. Nurul Musjtari, Penyelasain Sengketa dalam Praktik
Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Parama Publishing, 2012).
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi
M. Dawam Raharjo, “Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”,
dalam kata pengantar.
Rozalinda, Politik Ekonomi Islam di Indonesia.
Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012).
Wirdyaningsil. Dkk, Bank dan Suransi Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007), Cet. III.
[1] Mohammed
Nejatullah Shiddiq menandaskan, Pemikiran Ekonomi Islam berusia setua Islam.
Sepanjang 14 abad sejarah Islam kita menemukan studi yang berkelanjutan tentang
isu ekonomi dan pandangan syariah. (Lihat, Mohammed Nejatullah Shiddiq, Studi
Terkini Sejarah Pemikiran Islam: Suatu Survei Dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Adi Warman Karim)
[2] Maksud Syariah
bukanlah identik dengan syariat (wahyu Tuhan dan Sunnah Rasul yang artinya
adalah jalan), melainkan ilmu syariat yang telah mengalami rasionalisasi
menurut metode ilmiah. Hasilnya adalah konsep Bank Syariah. Istilah Bank
Syariah sendiri sebenarnya adalah khas Indonesia yang tidak dijumpai di
Negara-negara lain (biasa disebut Bank Islam). Nama itu muncul berkaitan dengan
tradisi menegakkan syariat yang sudah muncul di sekitar berdirinya Republik
Indonesia, khususnya disekitar naskah Piagam Jakarta.
[3] Dewi. Nurul
Musjtari, Penyelasain Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah,
(Yogyakarta: Parama Publishing, 2012), Cet. I, Hal. 1.
[4] adalah harta
yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran
[5] harta rampasan
dari negeri (orang kafir) yang ditaklukan tanpa melalui pertempuran
[6] Maksudnya:
pembagian harta rampasan itu menurut ketentuan Allah dan RasulNya.
[7] Maksudnya:
seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat
Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e.
Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut
bertempur.
[8] Wangsawidjaja,
Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal.
4.
[9] Ibid, hal.
4-5.
[10] Ibid,
hal. 5.
[11] Adiwarman, A.
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008), hal. 18.
[12] Ibid,
hal. 19.
[13] Ibid,.
[14] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah Deskripsi dan Ilustrasi , Hal 19
[15] Adiwarman A.
Karim, Praktik Pengembangan Perbankan Syariah di Negara-negara Islam,
FHUI, Depok, 2003 hal 1
[16] Heri
Sudarsono, Op.cit., Hal 20
[17] Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank
Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi (Pendekatan Hukum Positif dan Hukum
Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2010), Cet. I, Hal. 8-9.
[18] M. Dawam
Raharjo, “Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, dalam kata
pengantar, Adiwarman A. karim, BANK
ISLAM ANALISIS FIQIH DAN KEUANGAN, Ed. 4, Cet. 7, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), h. XII.
[19] Beliau adalah
tokoh Masyumi yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Gubernur Bank
Sentral, Bank Indonesia yang pertama.
[20] Adalah sebuah
sistem yang digunakan bank Syariah, yaitu pembagian keuntungan dengan
proporsional yang telah ditentukan antara pemodal dan pekerja/pengelola modal.
[21] Ibid,
Hal. XXI-XXII.
[22] Abdul Ghofur Anshori, Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional,
(La-Riba Jurnal Ekonomi Islam, 2008), Vol. II, No. 2, Hal. 161.
[23] Wacana ini
dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada
tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang dilaksanakan oleh Lembaga
Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. (Lihat,
Duddy Yustiady, Penjelasan Perbankan Syariah Secara Umum).
[24] Wirdyaningsil.
Dkk, Bank dan Suransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2007), Cet. III, Hal. 49
[25] Abdul Ghofur Anshori, Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional,
(La-Riba Jurnal Ekonomi Islam, 2008), Vol. II, No. 2, Hal. 161.
[26] Syafi’i
Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), Hal. 25.
[27] Zainuddin.
Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. I,
Hal. 11-12
[28] Pada intinya
kedua pasal tersebut menerangkan, bahwa bank umum maupun BPR dapat menyediakan
pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam PP tersebut.
[29] Wirdyaningsil. Dkk, Bank dan Suransi Islam
di Indonesia, Op. Cit, Hal. 51.
[30] Rozalinda, Politik
Ekonomi Islam di Indonesia, Hal. 2.
[31] Zainuddin. Ali, Hukum Perbankan Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet. I, Hal. 3.
[32] Ibid,
Hal. 16.
[33] Ibid.
[34]“Bahwa
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank
dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesusai syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli-barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina’)
[35] Wirdyaningsil.
Dkk, Bank dan Suransi Islam di Indonesia, Op. Cit, Hal. 55.
[36] Ibid,
h. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar