BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam beberapa tahun belakangan ini, perkembagan lembaga keuangan
yang berlabel Syariah, Bank-bank Syariah sangatlah pesat. Sehingga membuat
Bank-bank konvensional ikut-ikutan terbawa arus dan membuka UUS (Unit Usaha
Syariah) yang manajemennya terpisah dengan induknya yang berlandaskan
konvensional.
Pada dasarnya Bank-bank syariah ialah Bank atau lembaga keuangan
yang berlandaskan prinsip Islam, yang mana didalamnya bebas dari unsur-unsur
Riba, Gharar, Judi, dan berbagai transaksi-transaksi yang dilarang oleh hukum
islam. Dalam mekanisme pelaksaan kegiatan usaha bank syariah, untuk menghindari
terjadinya unsur-unsur yang dilarang dalam Islam, maka dalam mekanisme kegiatan
usaha bank syariah, baik dalam penghimpunan dan penyaluran dana. Terdapat
berbagai macam akad, diantaranya, akad Mudharabah, Musyarakah, Wadiah, Ijarah
Dan lain sebagainya.
B.
Rumusan
masalah
Dari latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa macam rumusan
masalah yang terdapat didalamnya, diantaranya adalah :
·
Apa
yang dimaksud dengan akad ?
·
Apa
dan bagaimana sih yang dimaksud dengan akad Mudharabah ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Maksud
Dan Arti Akad
Pengertian Akad
secara bahasa memiliki berbagai macam arti. Yaitu : الربط (mengikat), عقدة (sambungan), العهد (janji).[1] Kata ini juga
bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang
berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan dan
kesepakatan.sedang Pengertian Akad
Secara
terminologi, ulama fiqih berpendapat, akad dapat ditinjau dari segi umum dan
segi khusus. Dari segi umum, pengertian akad sama dengan pengertian akad dari
segi bahasa menurut ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah yaitu segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri seperti
waqaf, talak, pembebasan, dan segala sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan dari
segi khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqih antara lain adalah Perikatan yang
ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara' yang berdampak pada
objeknya, Keterkaitan ucapan antara orang yang berakad secara syara' pada segi
yang tampak dan berdampak pada objeknya, Terkumpulnya adanya serah terima atau sesuatu
yang menunjukan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hokum dan
Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridhaan kedua
belah pihak.[2]
Dari penjelasan arti akad diatas, dapat kita
lihat bahwasanya maksud dari akad tersebut ialah sebuah legalitas atau sebuah
pengakuan dengan adanya lafazd penyerahan dan penerimaan (Ijab-Qabul).
B.
Akad
Mudharabah Dalam Bank Syariah
Dalam
mekanisme kegiatan usaha perbankan syariah, terdapat berbagai macam akad yang
dipergunakan didalamnya, diantaranya adalah akad Mudharabah. Secara singkat
Mudharabah atau penanaman modal adalah penyerahan modal uang kepada orang yang
berniaga sehingga ia mendapatkan presentase keuntungan.[3] Pada dasarnya Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara
dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan
sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari
shahibul maal dan keahlian dari mudharib. Transaksi jenis ini tidak
mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang
kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk
setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul
maal dia diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk
menciptakan laba optimal.
Apabila terjadi kerugian karena proses normal dari proses usaha,
dan bukan karena kelalaian dan kecurangan panitia, kerugian ditanggung
sepenuhnya oleh pemilik modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan
keahlian yang telah dicurahkannya. Apabila kerugian karena kecurangan dan
kelalaian pengelola, maka pengelolalah yang bertanggung jawab sepenuhnya.[4]
Dalam satu akad mudharabah, pemodal dapat bekerjasama dari satu
pengelola. Para bekerjasama tersebut seperti bekerja sebagai mitra usaha
terhadap pengelolaan yang lain. Nisbah porsi bagi hasil pengelola dibagi sesuai
kesepakatan dimuka.
Nisbah bagi hasil antara pemodal dan pengelola ini harus
disepakati diawal pejanjian. Besarnya nisbah bagi hasil masing-masing pihak
tidak diatur dalam syariah, tetapi hanya tergantung pada kesepakatan mereka.
Nisbah bagi hasil ini bisa dibagi rata 50:50, namun bisa juga 30:70, 60:40,
atau porsi-porsi yang disepakati keduanya. Pembagian keuntungan yang tidak
diperbolehkan adalah dengan menentukan alokasi jumlah tertentu untuk salah satu
pihak. Diluar porsi bagi hasil yang diterima pengelola, pengelola tidak
diperkenankan meminta gaji atau kompensasi lainnya untuk hasil kerjanya. Semua
mazhab sepakat dalam hal ini.[5]
a.
Rukun dan Syarat akad Mudharabah
Terbentuk dan terjadinya akad mudharabah haruslah ada syarat dan
rukun-rukun tertentu yang harus terpenuhi. Diantara rukun-rukunnya adalah :
1. Pelaku akad, yaitu Shahibul Mal (pemodal) dan
Mudharib (pengelola), adalah pihak yang pandai berbisnis namun tak memiliki
modal.
2. Objek akad, yaitu mal (modal), kerja (dharabah), dan
keuntungan (ribh),
3. Shighah, yaitu ijab dan kabul
Sementara
itu, syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam mudharabah terdiri dari
syarat keuntungan dan modal. syarat modal, yaitu :
1.
Modal harus berupa uang,
2.
Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya,
3.
Modal harus tunai, bukan utang,
4.
Modal harus diserahkan kepada mitra kerja.
Dan
syarat mengenai keuntungan, yaitu keuntungan tersebut haruslah jelas ukurannya,
dan keuntungan harus dengan pembagian yang disepakati kedua belah pihak.
Beberapa
syarat pokok mudharabah menurut Usmani (1999) antara lain sebagai berikut :
1.
Usaha Mudharabah, Shahibul mal boleh menentukan usaha apa yang akan dilakukan
oleh Mudharib, dan Mudharib harus menginvestasikan modal kedala usaha tersebut
saja. Mudharabah seperti ini disebut mudharabah Muqayyadah (mudharabah
terikat). Akan tetapi, apabila shahibul mal memberikan kebebasan kepada mudharib
untuk melakukan usaha apa saja yang diinginkan oleh mudharib, maka kepada
mudharib harus diberi otoritas untuk menginvestasikan kedalam usaha yang dirasa
cocok. Mudharabah seperti ini disebut dengan mudharabah mutlaqah (mudharabah
tidak terikat).[6]
2.
Pembagian Keuntungan. Untuk validitas mudharabah diperlukan bahwa para pihak
sepakat, pada awal kontrak, pada proporsi tertentu dari keuntungan nyata yang
menjaddi bagian masing-masing.
3.
penghentian Mudharabah, kontrak mudharabah dapat dihentikan kapan saja oleh salah satu
pihak dengan syarat memberi tahu pihak lain terlebih dahulu. Jika semua aset
berbentuk cair/tunai pada saat usah dihentikan, dan usaha telah menghasilkan
keuntungan, maka keuntungan dibagi terlebih dahulu sesuai dengan kesepakatan.
Jika aset belum berbentuk cair/tunai, kepada mudharib haruslah diberi waktu
untuk melikuidasi aset agar keuntungan atau kerugian dapat diketahui dan
keuntungan.[7]
b.
Jenis Dan Bentuk Akad Mudharabah
Dalam PBI No. 7/46.PBI/2005, bentuk akad Mudharabah diatur dalam
dalam dua bentuk, yaitu Mudharabah Mutlaqah diatur dalam pasal 6 dan Mudharabah
Muqayyadah yang diatur dalam pasal 7. Didalam fatwa DSN No.
7/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Mudharabah tidak diatur secara khusus
mengenai kedua bentuk Mudharabah ini, meskipun didalam fiqih kedua bentuk ini
diakui. Ketentuan yang diatur dalam fatwa DSN lebih cenderung mengatur
mudharabah Mutlaqah walaupun tidak disebut secara tegas.[8]
Pada Mudhrabah Mutlaqah pemodal mensyaratkan kepada pengelola
untuk melakukan jenis usaha tertentu. Jenis usaha yang dijalankan oleh mudharib
secara mutlak diputuskan oleh mudharib yang dirasa sesuai sehingga disebut
mudharabah tidak terikat atau tidak terbatas. Hal yang tak boleh dilakukan oleh
mudharib/pengelola tanpa seijin pemodal antara lain meminjam modal, meminjamkan
modal, dan me-Mudharabahkan lagi dengan orang lain. Serta pada mudharabah
muqayyadah, pemodal mensyaratkan kepada pengelola untuk melakukan jenis usaha
tertentu pada tempat dan waktu tertentu pula, sehingga disebut mudharabah
terikat atau terbatas.
Mudharabah mutlaqah ini biasanya diaplikasikan dalam pendanaa,
sedangkan mudharabah muqayyadah biasa diaplikasikan dalam pendanaan maupun pembiayaan.
Bentuk-bentuk
akad Mudharabah antara lain :
1. Mudharabah Bilateral (sederhana)
Mudharabah Bilateral adalah bentuk mudharabah antara
satu pihak sebagai shohibul mal dan satu pihak lain sebagai mudharib.
2. Mudharabah Multilateral
Mudharabah multilateral adalah bentuk mudharabah
antara beberapa pihak sebagai shahibul mal dan satu pihak sebagai mudharib.
3. Mudharabah Beringkat (Re-Mudharabah)
Mudharabah bertingkat adalah bentuk dari mudhrabah
antara tiga pihak. Pihak pertama sebagai shahibul mal, pihak kedua sebagai
mudharib antara, dan pihak ketiga sebagai mudharib akhir. Conto pembagian
keuntungan dan kerugian dalam mudharabah bertingkat ini ialah, pertama shahibul
menyediakan modal sebesar $50.000 untuk diusahakan oleh mudharib dengan nisbah
yang disepakati 70:30. Kemudian, mudharib antara bermitra dengan mudharib akhir
untuk menyediakan modal $ 50.000 yang akan diusahakan oleh mudharib akhir
dengan nisbah yang disepakati 60:40. Apabila setelah 3 tahun nilai proyek
menjadi $ 120.000, maka pembagian keuntungan mudharib akhir adalah $ 28.000
(0.4 x $70.000), dan bagian mudharib antara adalah $ 12.600 (0.3 x 0.6 x
$70.000), dan bagian shahibul mal adalah $ 29.400 (0.7 x 0.6 x $70.000). dan
apabila setelah tiga tahun modal menyusut menjadi $ 20.000 dan kerugian tersebut
tidak disebabkan karena kelalaian atau kecurangan mudharib, maka kerugian $
30.000 ($50.000 - $20.000) ditanggung shahibul mal sendiri, dan mudharib tidak
menanggung kerugian.
4. Kombinasi musyarakah dan mudharabah
Dalam perjanjian mudharabah pada umumnya diasumsikan
bahwa pengelola tidak ikut mennanamkan modalnya, tetapi hanya bertanggung jawab
menjalankan usaha, sedang nodal seluruhnya berasal dari pemodal. Namun
demikian, ada kemungkinan pengelola juga ingin menginvestasikan dananya dalam
usaha murabahah ini. Pada kondisi seperti ini mudharabah dan musyarakah
digabung dalam satu akad, dan kerjasama seperti ini disebut dengan kombinasi
musyarakah dan mudharabah. Dalam perjanjian ini. Pengelola akan mendapatkan
bagian nisbah bagi hasil dari modal yang diinvestasikannya sebagai mitra usaha
(sharik) dalam musyarakah, dan pada saat yang bersamaan pengelola juga
mendapatkan nisbah bagi hasil dari kerjanya sebagai pengelola (mudharib) dalam
Mudharabah.[9]
c.
Praktek Pelaksanaan Mudharabah Dalam Perbankan
1. Pendanaan Dengan Prinsip Mudharabah
a) Tabungan Mudharabah
Sesuai dengan bentuk kegiatan usaha bank, yaitu menghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkannya kembali pada masyarakat, Bank Syariah pun
juga menerima simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening tabungan (Save
Account) untuk keamanan dan Giro. Prinsip yang digunakan pun dapat berupa
Wadi’ah (titipan), dan mudharabah (bagi hasil).[10]
Sesuai dengan yang tertera dalam Fatwa
DSN No.2/DSN-MUI/2000 Tentang Tabungan, yang berbunyi sebagai berikut :
Tabungan ada dua jenis
:
1. Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu
tabungan yang berdasarkan perhitungan riba.
2. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.[11]
Serta
dengan Fatwa DSN No.01/DSN_MUI/VI/2000 Tentang giro, menyebutkan bahwasanya
giro ada dua jenis, yaitu :
1. Giro yang tidak dibenarkan secar syariah, yaitu giro
yang berdasarkan perhitungan bunga.
2. Giro yang dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.[12]
Selain itu, bank juga dapat mengintegrasikan rekening tabungan
dengan rekening investasi dengan menggunakan prinsip mudharabah dengan nisbah
bagi hasil yang disepakati bersama. Dalam konteks ini nasabah berlaku sebagai
pemodal dan bank sebagai mudharib yang mengelola dana modal dari nasabah
tersebut.
b) Deposito/investasi umum (tidak terikat)
Bank syariah juga menerima simpanan yang berupa deposito
berjangka (pada umumnya berjangka satu bulan keatas) ke dalam rekening
investasi umum (General Investment Account) dengan prinsip mudharabah
al-muthlaqah. Investasi umum ini sering disebut juga sebagai investasi tidak
terikat. Nasabah rekening investasi lebih bertujuan untuk mencari keuntungan
dari pada untuk mengamankan uangnya. Dalam Mudharabah al-muthlaqah, bank sebagai
mudharib memiliki kebebasan mutlak dalam pengelolaan investasinya. Jangka waktu
investasi dan bagi hasil disepakati bersama. Apabila bank menghasilkan
keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal. Apabila bank mengalami
kerugian, bukan karena kelalaian bank kerugian ditanggung oleh nasabah sebagai
shahibul mal. Dan nasabah dapat menarik dananya dengan pemberitahuan terlebih
dahulu.
Mengenai Deposito Mudharabah inipun sudah tercantum dalam fatwa
DSN No.03/DSN-MUI/IV/2000, yang mana didalamnya sudah mengatur konsep deposito
mudharabah ini, diantaranya :
1. Nasabah Berindak sebagai Shahibul Maal atau pemilik
dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk didalamnya
mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk
tunai dan bukan piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk
nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5. Mudharib menutup biaya oprasional deposito dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.[13]
c) Deposito/investasi khusus (terikat)
Selain rekening investasi umum, bank syariah juga menawarkan
rekening investasi khusus (Special Investment Account) kepada nasabah
yang ingin menginvestasikan langsung dananya dalam proyek yang disukainya yang
dilaksanakan oleh bank dengan prinsip Mudharabah Al-muqayyadah. Invesatsi
khusus ini sering disebut sebagai investasi terikat. Rekening investasi khusus
ini biasanya ditujukan kepada para nasabah/investor besar dan institusi. Dalam
mudharabah al-muqayyadah bank menginvestasikan dana dalam proyek tertentu yang
diinginkan nasabah. Jangka waktu investasi dan bagi hasil disepakati bersama
dan hasilnya langsung berkaitan dengan keberhasilan proyek investasi yang
dipilih.
Investasi khusus ini ada dua jenis, yaitu investasi khusus “Executing”
(on balance sheet) dan investasi khusus “Channeling” (off
balance sheet). Dengan karekteristik masing-masing sebagai berikut :
·
Investasi Khusus On Balance Sheet (executing) :
Pemodal menetapkan syarat,
Kedua pihak sepakat dengan syarat usaha, keuntungan,
Bank menerbitkan bukti investasi khusus,
Bank memisahkan dana.
·
Investasi khusus off balance sheet (channeling) :
Penyaluran langsung ke nasabag,
Bank menerima komisi,
Bank menerbitkan bukti investasi khusus,
Bank mencatat di rekening administrasi.
d) Sukuk al-mudharabah
Akad mudhrabah juga dimanfaatkan oleh bank syariah untuk
penghimpunan dana dengan menerbitkan sukuk yang merupakan obligasi syariah.
Dengan obligasi syariah, bank mendapatkan alternatif sumber dana berjangka
panjang (lima tahun atau lebih) sehingga dapat digunakan untuk
pembiayaan-pembiayaan berjngka panjang.[14]
3. Pembiayaan mudharabah
Prinsip pokok (standar) minimal pembiayaan modharabah yang harus
dipenuhi adalah sebagai berikut :
a) Mudharabah adalah suatu peraturan ketika seorang
berpartisipasi dengan menyediakan sumber pendanaan/modal dan pihak lainnya
menyediakan tenaganya, dan mengikut sertakan bank, unit trust,
reksadana, atau institusi, dan orang lainya.
b) Seorang mudharib yang menjalankan bisnis dapat
diartikan sebagai orang pribadi, sekumpulan orang, atau suatu badan hukum dan
badan usaha.
c) Rabbul mal harus menyediakan investasinya dalam
bentuk uang atau sejenisnya, selain daripada piutang, dengan nilai valuasi yang
disepakati bersama yang dilimpahkan pengelolaan sepenuhnya kepada mudharib.
d) Pengelolaan usaha mudharabah harus dilakukan secar
eksklusif oleh mudharib dengan kerangka mandat yang ditetapkan dalam kontrak
mudharabah.
e) Keuntungan harus dibagi dalam suatu proporsi yang
disepakati pada awal kontrak dan tidak boleh ada pihak yang berhak untuk
memperoleh nilai imbalan atau renumerasi yang ditetapkan dimuka.
f) Kerugian finansial dari kegiatan usaha mudharabah
harus ditanggung oleh rabbul mal, kecuali jika terbukti mudharib melakukan
kecurangan, kelalaian atau kesalahan dalam mengelola secara sengaja atau bertindak
tidak sesuai dengan mandat yang telah ditetapkan dalam perjanjian mudharabah.
g) Kewajiban dari rabbul mal terbatas sebesar nilai
investasinyya, kecuali dinyatakan lain dalam kontrak.
h) Mudharabah dapat berpariasi tipenya yang dapat dengan
satu atau banyak tujuan, bergulir atau periode tertentu, resticted atau
unresticted, close atau open-ended tergantung dengan kondisi yang ditetapkan.
i)
Mudharib dapat menginvestasikan dananya dalam bisnis mudhrabah
dengan persetujuan rabbul mal. Persyaratannya adalah rabbul mal tidak boleh
memperoleh porsi keuntungan lebih besar daripada porsi investasinya terhadap
total investasi proyek mudharabah. Kerugian harus dibagi sesuai dengan proporsi
modal dari masing-masing pihak.[15]
Dalam prakteknya pembiayaan mudharabah ini diperbankan syariah
Indonesia tidaklah sama persis dengan konsep teori-teori klasik mudharabah. Hal
tersebut dikarenakan adanya kendala yyang menyandung pihak perbankan syariah
dalam menerapkan prinsip klasik tersebut. diantara kedalanya tersebut ialah :
·
Kesulitanya menarik kembali dana apabila terjadi wan prestasi,
·
Kesulitan perhitungan keuntungan/bagi hasil karena cicilan
pengembalian dana,
·
Tidak boleh ada jaminan.
Serta
terdapat beberapa deviasi pembiayaan mudharabah yang perlu digaris bawahi
adalah sebagai berikut :
·
Kurangnya informasi dari pihak bank untuk menjelaskan secara
penuh esensi dari pembiayaan mudharabah dan keterangan lain yang berkaitan
dengan keberadaan produk tersebut.
·
Dalam proses permohonan pembaiayaan mudharabah maupun
musyarakah, titik berat analisis masih berfokus pada analisis kemampuan bayar
dan keberadaan jaminan. Analisis usaha yang merupakan esensi dari suatu
kegiatan esensi, juga telah dilakukan walaupun dalam kapasitas terbatas. Dengan
demikian, kesan utang-piutang masih lebih kuat dibandingkan kesan investasi.
·
Tingkat efektif pengenaan denda dalam pembiayaan mudharabah
maupun musyarakah yang diakitkan dan/atau disamakan dengan tingkat efektif NBH,
dikhawatirkan akan tergolong dalam riba fadl.
Hal-hal
tersebut diatas, menjadi perhatian para utama dalam standarisasi akad
mudharabah yang dikeluarkan bank imndonesia dalam rangka pemurnian ketentuan
syariah dengan memperhatikan syarat minimum menurut ketentuan fiqih.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kegiatan utama usaha bank syariah pada umumnya tidaklah
berbeda dengan bank-bank konvensional, yaitu menghimpun dana dari masyaraka dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Namun meskipun terlihat tak berbeda
dengan bank konvensional, terdapat perbedaan yang sangat mendasar yang selalu
menyertai transaksi-transaksi yang dilakukan oleh bank syariah, yaitu akad.
Dalam kegiatan bank syariah ini terdapat berbagai macam akad
yang digunakan, guna menghindari unsur-unsur yang tidak diperbolehkan dalam prinsip
syariah. Akad-akad tersebut diantaranya adalah, Mudharabah, Murabahah,
Musyarakah, Wadi’ah dan lain sebagainya.
Sebagai salah satu akad yang digunakan kegiatan usaha yang
dilakukan oleh bank syariah, Akad Mudhrabah pun dimasukan kedalam beberapa produk
bank syariah seperti tabungan, deposito/investasi, sukuk, dan produk
pembiayaan-pembiayaan. Dan mengenai legalitas penggunaannya pun sudah
difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
·
Hendi
Suhendi, FIQIH MUAMALAH, Ed. 1, Cet. 5. Jakarta: RajawaliPers, 2010
·
Ascarya.
Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008
·
Yeni,
Salma Barlinti. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia, :Badan Litbag dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
·
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=148:
fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-giro&catid=57:fatwa-dsn-mui
[1] Hendi Suhendi,
FIQIH MUAMALAH,(Jakarta: RajawaliPers, 2010), Ed. 1, Cet. 5, Hal. 44.
[3] Ascarya. Akad
& Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. Hal.
60.
[4] Ibid.
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Hal. 61.
[5] Ibid.
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Hal. 62.
[6] Ibid.
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Hal. 63.
[7] Ibid . Ascarya.
Akad & Produk Bank Syariah. Hal. 64-65.
[8] Yeni, Salma
Barlinti. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional
di Indonesia, :Badan Litbag dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012. Hal. 236.
[9] Op. Cit.
Akad & Produk Bank Syariah. Hal. 69-74.
[11]
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui&Itemid=70
[12]
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=148: fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-giro&catid=57:fatwa-dsn-mui
[13] Fatwa
DSN No.03/DSN-MUI/IV/2000
[14] Ibid. Akad
& Produk Bank Syariah. Hal. 117-119
[15] Ibid. Akad
& Produk Bank Syariah. Hal. 172-173.
[16] Ibid. Akad
& Produk Bank Syariah. Hal 219-221.
assalam wr wb ,,,, salam hijau hitam kakanda ,,, saya dari HMI cabang palembang. mhon izin copas untuk referensi tugas akhir. saya terkendala dengan data tentang mekanisme mudharabah pada bank syariah secara praktik nya dan juga isu yang menarik tentang mudharabah itu sendiri. mohon arahan dan bimbingan nya kakanda jika berkenan. salam yakusa, jazakallahu khoiran, qobla waba'da syukron.
BalasHapuswa'alaikum salam.
BalasHapussalam hijau hitam juga,
iya silahkan kalau untuk referensi..