BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan
Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 Jo Stb. 1906 No. 348 merupakan hukum kepailitan lama yang merupakan produk perundang-undangan Belanda yang mengatur materi tentang kepailitan secara lengkap, ketat dan mendetail seperti ciri khas perundang-undangan Belanda. Dalam mempelajari Faillisement Verordening, maka kesan pertama yang muncul bagi sebahagian orang adalah “keruwetan”, “ingewilkkelheidt” yang cukup rumit dan berbelit-belit. Karena itu bagi sebahagian besar Sarjana Hukum Indonesia, bidang hukum kepailitan ini kurang dikenal, tidak populer dan hampir diabaikan, semacam “Terra Incognito”. Hal seperti ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan dunia ilmu hukum dan praktek hukum.
Sejalan dengan perkembangan perdagangan yang semakin cepat, meningkat dan dalam skalayang lebih luas dan global, masalah utang piutang perusahaan semakin rumit dan membutuhkan aturan hukum yang efektif. Akibatnya akademisi, pengacara dan berbagai kalangan mulai melirik kembali Faillisement Verordening. Mulai dilakukan kegiatankegiatan dalam bentuk seminar, lokakarya, dan penelitian yang khusus membahas hukum kepailitan serta aspek hukum lain yang memiliki kaitan yang sangat erat dengan hukum kepailitan terutama dampaknya dari segi ekonomi.
Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti substansi berbagai Undang undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kepailitan dan Dasar hukum kepailitan
Bila ditelusuri secara lebih mendasar,bahwa istilah “pailit” dijumpai di dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda. Di dalam bahasa Perancis istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Begitu juga dalam istilah Belanda.Sedangkan di dalam bahasa Inggris di kenal istilah “to fail” dan bahasa Latin “failire”
Pailit, di dalam khasanah ilmu pengetahuan hokum diartikan sebagai keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar (berhenti membayar) utang-utangnya. Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
Terminologi Kepailitan dalam Sistem hukum Anglo-Saxon dikenal dengan kata Bankrupct adapun hal itu berarti keadaan tidak mampu membayar hutan dan semua harta kekayaan yang berhutang diambil oleh penagih atau persero-persero
B. Sejarah Dan Perkembangan Aturan Kepailitan Di Indonesia
Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK).
Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali.
Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998.
C. Dasar Hukum (Pengaturan) Kepailitan di Indonesia
Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa ketentuan antara lain:
• UU No . 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;
• UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
• UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
• UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
• Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.
• Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)
D. Perkembangan Substansi Hukum
Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:
1. Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time.
2. Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.
3. Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila Banding diperbolehkan.
4. Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin praktek.
5. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan.
Pertanyaan: UU Kepailitan melindungi siapa? apakah Melindungi Pihak Kreditor atau Debitor?
Jawab: Melndungi hak kedua-dua pihak baik kreditor maupun debitor, hal tersebut terdapat dalam pasal-pasal UUK. Mengenai Pasal-pasal tersebut dapat dilihat dalam pembahasan mengenai Hukum Kepailitan selanjutnya.
E. Syarat-Syarat Untuk Mengajukan Permohonan Pailit
• Terdapat Lebih dari satu Kreditor, adapun dapat dikatakan lebih dari satu Hutang.
• Dari Hutang-utang tersebut terdapat salah satu Hutang yang sudah Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih.
F. Siapakah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit?
Adapun Udang-undang mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan Pailiit, yaitu:
1. Pihak Debitor itu sendiri
2. Pihak Kreditor
3. Jaksa, untuk kepentingan umum
4. Dalam hal Debitornya adalah Bank, maka pihak yang berhak mengajukan permohonan pailit adalah Bank Indonesia
5. Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka pihak yang hanya dapat mengajukan permohonan pailit adalah Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
6. Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-Asuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan Publik maka pihak yang mengajukan adalah Mentri Keuangan.
Yang perlu diingat sehubungan dengan para pihak-pihak yang mengajukan permohonan pailit harus dapat diketahui apabila seorang pemohon tersebut adalah Debitor orang-perorangan dalam prosesnya maka harus ditinjau terlebih dahulu apakah pihak tersebut masih terikat dalam suatu perkawinan dan apakah perkawinan tersebut mempunyai perjanjian pemisahan harta?. Hal sangat penting sekali sebab orang yang terikat dalam suatu perkawinan(baik suami maupun istri) yang tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta (maka ada harta bersama/campuran) tidak dapat mengajukan permohonan pailit tanpa sepengetahuan pasangannya(suami /istri) , adapun alasannya arena pailit itu mempunyai akibat hukum terhadap harta.
KESIMPULAN
Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan pembayaran.
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
DAFTAR PUSTAKA
• Sumber : http://hukum-area.blogspot.com/2009/11/hukum-kepailitan-pengantar.html
• http://ayusuliestya.wordpress.com/2011/02/26/1-pengertian-kepailitan-dan-dasar-hukum-kepailitan/
• Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum Dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya
Bagi Pendidikan Hukum Dan Pembangunan Hukum Indonesia,
Selasa, 13 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Laporan Keuangan Koperasi
apa itu laporan keuangan ??? Laporan keuangan sangat penting bagi koperasi. Laporan ini merupakan hal yang terkait dengan berjalannya k...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang System Perekonomian yang ada di Indonesia begitu banyak, sehingga perlu adanya kebijakan...
-
A. Pengertian dan Fungsi Jaminan Jaminan atau yang lebih dikenal sebagai agunan adalah harta benda milik debitur atau pihak keti...
-
A. Pendahuluan Realitas sosial kemasyarakatan, semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai n...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar