Selasa, 26 April 2016

al-'Adatu Muhkamatun (oleh Siti Khumaira)

A.    Pendahuluan
Realitas sosial kemasyarakatan,  semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma-norma yang sudah berjalan sejak lama, sehingga mereka memiliki pola hidup kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama.[1]
Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah terbiasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telaah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yanag dikenal dengan sebutan adat-istiadat, budaya , tradisi dan sebagainya.[2]
Dengan batasan seperti itu fuqaha’ membuat batasan khusus bahwa ‘adah kebiasaan yang bisa mendapatkan legitimasi syari’ah adalah sesuatu yang tidak memiliki batasan syar’iy (taqyid al-syar’iy) dan batasan bahasa (taqyid al-lughawiy). Jika ditemukan adanya syari’ah yang hanya memberikan ketentuan secara umum, maka batasan pastinya diserahkan kepada penilaian ‘adah yang berlaku di masyarakat.[3]
Dengan demikian diperlukan ketentuan-ketentuan umum yang mengatur detil-detil hukum, menentukan garis perjalanan, batasan, dan aplikasinya yang sekaligus   berfungsi sebagai pedoman umum tanpa memberikan rincian secara mendetail yang disebut qawa’id fiqhiyyah[4]. Adapun mengenai qawa’id fiqhiyyah  yang berkenaan dengan ‘adah secara lebih lanjut akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.



B.     Pembahasan
Salah satu kaidah utama dalam fikih muamalah yang disepakati para ahli fikih dari berbagai mazhab adalah menjadikan adat kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat sebagai landasan hukum, selama itu tidak menyalahi syariat. Oleh karena itulah mereka menjadikan kaidah al-adah muhkamah (adat kebiasaan ditetapkan sebagai hukum) sebagai salah satu kaidah garis besar fikih dan syariat yang disepakati secara umum[5].
Islam dalam berbagai ajaran yang di dalamnya mengaggap adat sebagai partner dan elemen yanag bisa diadopsi selektif dan proporsional, sehingga bisa dijadikan sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’ bukan sebagai landasan yuridis yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk hukum baru, akan tetapi ia hanya sebagi ornament untuk melegatimasi hukum-hukum syara’ sesuai dengan perspektifnya yang tidak bertentangan dengan hukum syara’.[6]
Sebelum Nabi Muhammad saw diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat, baik di dunia Arab maupun di bagian lain termasuk Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun  atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut.[7]
Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. Ketika Islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai–nilai adat kebiasaan di masyarakat. Di antara nilai-nilai tersebut ada yang sesuai dengan nilai–nilai Islam, meskipun aspek filosofisnya berbeda. Namun, ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai – nilai yang ada dalam ajaran Islam.[8]
Di sinilah kemudian ulama membagi adat kebiasaan yang ada dimasyarakat menjadi al-adah, al-shahihah (adat yang shahih, benar, baik) dan ada pula adah al-fasidah (adat yang mafsadah, salah, rusak).[9] Adapun penjelasannya sebagi berikut :
a.       Adat yang shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariat. Adat yang seperti ini harus dipelihara baik dalam menetapkan hukum atau ketika mempertimbangkan suatu keputusan dalam pengadilan. Karena adat yang sudah berlaku di tengah tengah masyarakat, merupakan tuntutan yang sesuai dengan kemaslahatan mereka. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan perkawinan[10].
b.      Adat fasid, yaitu adat yang berlaku dalam masyarakat yang senantiasa bertentangan dengan syariat, misalnya kebiasaan mengadakan sesajin untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang mulia, karena bertentang dengan akidah tauhid.[11]

Adat apabila dipandang dari segi sifatnya, maka dibagi :
a.       Adat qawli (perkataan), yaitu adat yang berupa perkataan misalnya panggilan “anang” untuk anak laki-laki bukan untuk anak perempuan.
b.      Adat ‘amali perbuatan, yaitu adat berupa perbuatan. Misalnya kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad yang lengkap dalam jual beli (area luar banjar), tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tanpa akad jual beli yang lengkap, dan tidak terjadi kekacauan, maka syara’ membolehkannya.[12]
Adat apabila dipandang dari segi ruang lingkupnya, maka dibagi :
a.       Adat ‘amm, yaitu adat yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan. Misalnya memberi hadiah kepada oranag yang telah memberikan jasanya kepada seseorang. Begitu pula mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu.
b.      Adat Khas, yaitu adat yang hanya berlaku pada tempat, masa dan atau keadaan tertentu saja. Misalnya, mengadakan “halal bihalal” yang biasa dilakukan oleh orang (masyarakat) Indonesia bagi yang beragama Islam pada setiap selesai puasa Ramadhan dan berlebaran. Sedangkan di Negara lain bukan merupakan kebiasaan.[13]
Imam Izzuddin bin Abd al-Salam menyatakan bahwa kemaslahatan dan kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan al-syariah. Sedangkan kemaslahatan dan kemafsadatan dunia saja, bisa dikenal dengan pengalaman, adat kebiasaan, perkiraan yang benar, serta indikator. [14]
Secara bahasa, al-adah diambil dari kata al-aud atau al-mu’awadah yang artinya berulang. Ibnu Nuzaim mendefinisikannya dengan : “Sesuatu ungkapan yang terpendam dari dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”.[15]
Para ulama mengartikan al-adah dalam pengertian yang sama, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya al-urf didefinisikan : “Urf adalah apa yang dikenal manusia dan mengulang-ngulangnya dengan ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”[16]
Dari dua definisi di atas ada dua hal yang penting, di dalam al-adah ada unsur berulang-ualng yang dilakukan dan  di dalam al-uruf ada unsur al-ma’ruf yang dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata al-ma’ruf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy  al-munkar” dalam Al-qur’an.[17]
Tampaknya lebih tepat apabila al-adah atau al-urf ini didefinisikan dengan : “Apa yang dianggap baik dan benar menurut manusia secara umum yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.”[18]
Dalam memutuskan suatu perkara, setidaknya ada dua macam pertimbangan yang harus diperhatikan, yaitu:
1.      Pertimbangan keadaan kasusnya itu sendiri seperti apa, kasusnya di mana, dan kapan terjadinya, bagaimana proses kejadiannya, mengapa terjadi, dan siapa pelakunya.
2.      Pertimbangan hukum. Dalam pertimbangan hukum inilah terutama dalam hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam al-qur’an dan al-hadis, adat kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan perkara.[19]
Ketika kaidah tentang adat ini dikembalikan kepada ayat-ayat al-qur’an dan al-hadis, ternyata banyak ayat-ayat al-qur’an dan al-hadis yang menguatkannya. Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para ulama sepanjang sejarah hukum Islam, akhirnya menjadi kaidah yang mapan.[20]
Diantara ayat-ayat al-qur’an itu adalah sebagai berikut:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”(QS.al-araf :199).
“Dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”(QS.Al-baqarah :228)
“Kafarat sumpah ialah member makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian “(QS.Al-Maidah:89).
Seperti telah dijelaskan bahwa al-adah yang bisa dijelaskan dalam penetapan hukum adalah al-adah al-shahihah bukan al-adah al-fasidah. Oleh karena itu kaidah tersebut tidak bisa digunakan apabila :
·         Al-adah bertentangan dengan nash baik al-quran maupun al-hadis seperti saum terus-terusan atau saum 40 hari atau 7 hari siang malam; kebiasaan judi; menyabung ayam; kebiasaan menanam kepala hewan qurban untuk membangun jembatan; kebiasaan memelihara babi atau memperjualbelikan daging babi dan lain sebagainya.
·         Al-adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk didalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kesukaran, seperti memboroskan harta : hura-hura dalam acara perayaan; memaksakan dalam menjual; dan lain sebagainya.
·         Al-adah berlaku pada umumnya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.[21]
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak dilakukan kecuali yang telah disyariatkan oleh Allah dan al-adah tidak diharamkan kecuali yang telah diharamkan Allah.[22] Adapun kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah sebagai berikut :  
1.      Kaidah 1
ا نما تعتبر العا دة ادا اضطردت او غلبت
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum.”
Maksud kaidah adalah sesuatu tidak dianggap adat kebiasaan yang biasa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-sekali terjadi dan/atau tidak berlaku umum. Mengacu pada kaidah ini sesungguhnya maka ada dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus menerus dilakukan dan bersifat umum (keberlakuannya).[23]
Sebagai tambahan, al-adat agar dapat dijadikan pegangan haruslah masih berlaku saja bukan yang sudah kadaluarsa, atau al-adat yang biasanya berlaku yaitu yang ada kalanya dianggap kadaluarsa tetapi masih berlaku bagi kebanyakan orang. [24]
Penulis kitab al-Asybah telah menyatakan bahwa sesuatu yang diartikan berdasarkan uruf dan al-adat haruslah:
1.      Mesti diartikan berdasarkan al-urf yang ada saat ijab kabul (akad/transaksi). Jadi, suatu akad yang telah berlaku tidak diartikan berdasarkan suatu al-urf yang baru muncul belakangan.
2.      Haruslah al-urf sudah ada sebelum akad itu dan masih mengiringi (masih berlaku), bukan yang benar-benar baru muncul. [25] 
Contoh penerapan kaidah:
·         Jika seratus tahun yang lalu ada yang membeli sebidang tanah seharga 100 pound mesir, sementara pound saat itu adalah pound emas, maka tidak boleh diartikan berdasarkan pound zaman sekarang, karena ini adalah al-urf yang baru saat itu.[26]
·         Apabila seseorang berlangganan majalah atau surat kabar, maka majalah dan surat kabar itu diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah atau surat kabar tersebut maka ia bisa complain (mengadukannya) dan menuntutnya kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.[27]
·         Adat Minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu Matrilenial, artinya: keturunan itu hanya dihitung menurut garis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan anaknya harus diam di ruamh keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun demikian pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh suami (matriarchat). Dalam hal ini Islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash, baik al-qur’an maupun al-hadits.[28]

1.      Kaidah 2
التعيين با لعرف كا التعيين با لنص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan bersadarkan nash”.

Maksud kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat adalah mengikat dan sama kedudukannyaa seperti penetapan hukum berdasarkan nash.[29]
Contoh penerapan kaidah:
·         Apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izin orang yang menyewakan.[30]
·         Jika seseorang meminjam seekor binatang tunggangan kepada orang lain sebagai pinjaman tanpa ketentuan, orang yang menjamin tidak boleh menggunakan binatang itu untuk mengangkut sesuatu yang tidak sesuai dengan adat maupun al-urf. Seandainya ia mengangkutkan besi padanya, atau menggunakannya untuk menempuh jalan rusak, maka kedua tindakannya itu membuatnya harus menjamin.[31]
·         Demikian pula halnya perwakilan/agen untuk menjual sesuatu dengan wakalah (perwakilan/keagenan) tanpa ketentuan yang menurut al-adat tidak merugikan orang yang mewakilkan. Seandainya ia mewakilkan orang lain untuk menjualkan sesuatu dengan wakalah tanpa ketentuan, si wakil dengan agen boleh menjual harta benda itu secara tunai ataupun utang sampai batas waktu yang dikenal para pedagang sebagai al-urf. Ia tidak boleh menjualnya dengan batas waktu pembayaran yang lebih lama dari pada biasanya. Begitu juga jikaorang mewakilkan seseorang untuk menjual sesuatu, ia tidak berhak menjual sebagiannya apabila pembagian itu merugikan menurut al-adat.[32]

2.      Kaidah 3
الممتنع عادة كا لممتنع حقيقة
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan.”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.[33]
Contoh penerapannya:
·         Seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi ia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut. Sama halnya seperti seseorang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur dia lebih tua dari si A yang diakui sebagai bapaknya.[34]
·         Mustahil secara logika apabila seseorang yang dikenal miskin mengklaim bahwa seseorang yang dikenal kaya berutang  kepadanya, sejumlah uang yang menurut al-adat (tradisi/kebiasaan) tidaklah mungkin. Maka klaimnya tidak digubris.[35]

3.      Kaidah 4
الحقيقة تترك بدلا لة العا دة
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.

Maksud kaidah ini adalah arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditujukan oleh adat kebiasaan.[36]
Contoh penerapan kaidah
·         Sesuatu yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi, apaabila si pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi  membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.[37]
·         Jika Anda mewakili seseorang untuk membeli makanan dalam rangka resepsi pernikahan, ia hanya boleh membeli makanan yang biasa dihidangkan dalam acara tersebut, bukan sembarang makanan.[38]
·         Negara yang sedang mengalami krisis moneter global, dan tidak sedikit dalam satu Negara ditemukan banyak mata uang yang beredar dan bisa digunakan sebagai alat pembayaran. Dalam kondisi fluktuatif ini, warga Negara bersangkutan yang sedang melakukan traansaksi, harus terlebih dahulu menjelaskan mata uang apa yang akan dipakai sebagai alat pembayaran, sebab masing-masing masyarakat memiliki mata uang yang dikehendaki.[39]
Pada contoh diatas tentang mata uang, kasus berlakunya penggunaan mata uang yang sama untuk melakukan transaksi bagi warga negara Indonesia, yaitu rupiah. Dalam proses pembayaran otomatis harus menggunakan mata uang Rupiah. Akan tetapi jika ditemukan seorang warga Negara Indonesia, maka hal ini diperbolehkan selama ada penjelasan dan alasan yang detailnya dari pelaku tentang alasan ia melakukan hal tersebut. Bisa jadi ia sedang bertransaksi dengan orang asing atau ia sedang berada di pasar bursa. Jika demikian maka, yang harus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah melihat kenyataan bahwa jika kebiasaan itu sifatnya tidak menetap dan selalu berubah-ubah, maka kebiasaan itu tidak bisa dijaadikan standar dalam bertransaksi, bahkan menjadi potensi yang bisa memunculkan perbedaan.[40]
Suatu redaksi bisa mengandung arti sebenaarnya (ma’na haqiqi) atau arti kiasan (ma’na majazi). Para ahli fikih telah memandaskan bahwa ketika seorang mufti dimintai fatwa tentang suatu persoalan, jika orany yang meminta fatwa itu berasal dari negeri lain, maka sang mufti tidak boleh berfatwa sebelum mengetahui arti dari redaksi yang digunakan si peminta fatwa.[41]
Di Indonesia, hukum Islam merupakan sumber ajaran yang dianut dan dijadikan patokan moralitas sosial sehingga nilai-nilai yang dikandung syara diadatisasikan dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat mengalami proses asimilasi dengan hukum Islam atau hukum Islam yang diterapkan dalam masyarakat menajdi hukum adat.[42]
Namun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hukum adat tidak dapat dipandang sebagi norma sosial yang mutlak yang dapat dijadikan sebagi tolak ukur, karena hukum adatnya sendiri sudah direduksikan dengan hukum nasional sebagai hukum pasif yang berlaku di seluruh rakyat Indonesia.[43]
Masalah keperdataan di masyarakat disarankan diselesaikan dengan cara kekeluargaan yang menganut norma sosialnya masing-masing. Namun, juga diperbolehkan menempuh jalur hukum nasional dan menafikan hukum adat. Secara sosiologis kedua hukum tersebut merupakan gejala sosial tentang pencarian rasa adil. Meskipun kedua hukum tersebut tidak mutlak menjamin rasa adil yang dimaksud.[44]

C.    Penutup
Berdasarkan pemabahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebgaimana berikut:
·         Permasalahan adat kebiasaan berperan penting dalam legitimasi hukum syara’ yang menjadi patokan tertentu dalam pertimbanagan hukum berdasarkan kaidah-kaidah yang telah dibahas.
·         Simpulan kaidah 1 yaitu adat yang menjadi landasan hukum, hanyalah selama itu tidak menyalahi syariat - adat shahih dan berbagai ketentuan lainnya seperti:
·         tidak menyebabkan kemafsadatan atau tidak menghilangkan kemaslahatan.
·         dilakukan secara continue, bersifat umum dan tidak baru muncul juga tidak kadaluarsa
·         Simpulan kaidah 2 yaitu adat mampu mengantarkan kepada pemahaman menurut nash
·         Simpulan kaidah 3 yaitu adanya adat mampu juga mampu menjadi ukuran yang rasional dalam menilai sesuatu
·         Simpulan kaidah 4 yaitu penunjukan oleh adat mampu mengantarkan pada mampu mengilangkan penunjukan pada arti secara hakiki
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi,  Yusuf. 7 kaidah Utama Fikih Muamalat. Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2010.


Athaillah, A. Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah (Legal Maxim)


Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang praktis.


Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyah Muamalah. Banjarmasin:LPKU Ummat Banjarmasin. 2014.


Dahlan Tamrin. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Kulliyah al-Khamsah. Malang: UIN Mala Press, 2010


Saebani,  Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam.Bandung: Pustaka Setia Bandung. 2007
 




[1] Dahlan Tamrin. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Kulliyah al-Khamsah. Malang: UIN Mala Press, 2010. h 204
[2] Ibid h 204
[3] Ibid h 204
[4] Athaillah, A. Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah (Legal Maxim).h 6
[5] Al-Qaradhawi,  Yusuf. 7 kaidah Utama Fikih Muamalat. Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2010. h228
[6] Ibid h 204
[7] Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang praktis. Hal 78
[8] Ibid hal 79
[9] Ibid hal 79
[10] Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyah Muamalah. Banjarmasin:LPKU Ummat Banjarmasin. 2014. h 143
[11] Ibid h 144
[12] Ibid h 144
[13] Ibid hal 145
[14] Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang praktis. Hal 79
[15] Ibid h 79
[16] Ibid h 80
[17] Ibid h 80
[18] Ibid h 80
[19] Ibid h 80
[20] Ibid h 81
[21] Ibid 83
[22] Ibid 84
[23] Ibid 85
[24] Ibid h 250
[25] Ibid h 250
[26] Ibid h 250
[27] Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang praktis. H 85
[28]Ibid  h240
[29] Ibid h 87
[30] Ibid h 87
[31] Ibid h 253
[32] Ibid h 254
[33] Ibid h 87
[34] Ibid h 87
[35] Ibid h 247
[36] Ibid h 88
[37] Ibid h 88
[38] Ibid h 249
[39] Ibid h 245
[40] Ibid h245
[41] Ibid h 249
[42] Saebani,  Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam.Bandung: Pustaka Setia Bandung. 2007. H 262
[43] Ibid h 263
[44] Ibid h 269

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laporan Keuangan Koperasi

  apa itu laporan keuangan ??? Laporan keuangan  sangat penting bagi koperasi. Laporan ini merupakan hal yang terkait dengan berjalannya k...