A.
Pendahuluan
Realitas
sosial kemasyarakatan, semua cara hidup
dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma-norma
yang sudah berjalan sejak lama, sehingga mereka memiliki pola hidup kehidupan
sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama.[1]
Jika
ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama ini sudah
terbiasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telaah mengalami pergeseran
nilai. Nilai-nilai seperti inilah yanag dikenal dengan sebutan adat-istiadat,
budaya , tradisi dan sebagainya.[2]
Dengan
batasan seperti itu fuqaha’ membuat batasan khusus bahwa ‘adah kebiasaan
yang bisa mendapatkan legitimasi syari’ah adalah sesuatu yang tidak memiliki
batasan syar’iy (taqyid al-syar’iy) dan batasan bahasa (taqyid
al-lughawiy). Jika ditemukan adanya syari’ah yang hanya memberikan
ketentuan secara umum, maka batasan pastinya diserahkan kepada penilaian ‘adah
yang berlaku di masyarakat.[3]
Dengan
demikian diperlukan ketentuan-ketentuan umum yang mengatur detil-detil hukum,
menentukan garis perjalanan, batasan, dan aplikasinya yang sekaligus berfungsi sebagai pedoman umum tanpa
memberikan rincian secara mendetail yang disebut qawa’id fiqhiyyah[4].
Adapun mengenai qawa’id fiqhiyyah
yang berkenaan dengan ‘adah secara lebih lanjut akan dijelaskan
pada pembahasan berikut ini.
B. Pembahasan
Salah
satu kaidah utama dalam fikih muamalah yang disepakati para ahli fikih dari
berbagai mazhab adalah menjadikan adat kebiasaan dan tradisi masyarakat
setempat sebagai landasan hukum, selama itu tidak menyalahi syariat. Oleh
karena itulah mereka menjadikan kaidah al-adah muhkamah (adat kebiasaan
ditetapkan sebagai hukum) sebagai salah satu kaidah garis besar fikih dan
syariat yang disepakati secara umum[5].
Islam
dalam berbagai ajaran yang di dalamnya mengaggap adat sebagai partner dan
elemen yanag bisa diadopsi selektif dan proporsional, sehingga bisa dijadikan
sebagai salah satu alat penunjang hukum-hukum syara’ bukan sebagai landasan
yuridis yang berdiri sendiri dan akan melahirkan produk hukum baru, akan tetapi
ia hanya sebagi ornament untuk melegatimasi hukum-hukum syara’ sesuai dengan
perspektifnya yang tidak bertentangan dengan hukum syara’.[6]
Sebelum
Nabi Muhammad saw diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat, baik di
dunia Arab maupun di bagian lain termasuk Indonesia. Adat kebiasaan suatu
masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai
yang dianggap oleh masyarakat tersebut.[7]
Nilai-nilai
tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran
masyarakat tersebut. Ketika Islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai
uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan)
bertemu dengan nilai–nilai adat kebiasaan di masyarakat. Di antara nilai-nilai
tersebut ada yang sesuai dengan nilai–nilai Islam, meskipun aspek filosofisnya
berbeda. Namun, ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai – nilai
yang ada dalam ajaran Islam.[8]
Di sinilah
kemudian ulama membagi adat kebiasaan yang ada dimasyarakat menjadi al-adah,
al-shahihah (adat yang shahih, benar, baik) dan ada pula adah
al-fasidah (adat yang mafsadah, salah, rusak).[9]
Adapun penjelasannya sebagi berikut :
a. Adat
yang shahih, yaitu adat yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum
syariat. Adat yang seperti ini harus dipelihara baik dalam menetapkan hukum
atau ketika mempertimbangkan suatu keputusan dalam pengadilan. Karena adat yang
sudah berlaku di tengah tengah masyarakat, merupakan tuntutan yang sesuai
dengan kemaslahatan mereka. Misalnya mengadakan pertunangan sebelum
melangsungkan perkawinan[10].
b. Adat
fasid, yaitu adat yang berlaku dalam masyarakat yang senantiasa
bertentangan dengan syariat, misalnya kebiasaan mengadakan sesajin untuk sebuah
patung atau suatu tempat yang dipandang mulia, karena bertentang dengan akidah
tauhid.[11]
Adat apabila dipandang dari segi
sifatnya, maka dibagi :
a. Adat
qawli (perkataan), yaitu adat yang berupa perkataan misalnya panggilan “anang”
untuk anak laki-laki bukan untuk anak perempuan.
b. Adat
‘amali perbuatan, yaitu adat berupa perbuatan. Misalnya kebiasaan jual
beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad yang lengkap dalam
jual beli (area luar banjar), tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat tanpa akad jual beli yang lengkap, dan tidak terjadi kekacauan, maka
syara’ membolehkannya.[12]
Adat apabila dipandang dari segi ruang
lingkupnya, maka dibagi :
a.
Adat ‘amm,
yaitu adat yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan. Misalnya memberi
hadiah kepada oranag yang telah memberikan jasanya kepada seseorang. Begitu
pula mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu.
b. Adat
Khas, yaitu adat yang hanya berlaku pada tempat, masa dan atau keadaan
tertentu saja. Misalnya, mengadakan “halal bihalal” yang biasa dilakukan
oleh orang (masyarakat) Indonesia bagi yang beragama Islam pada setiap selesai
puasa Ramadhan dan berlebaran. Sedangkan di Negara lain bukan merupakan
kebiasaan.[13]
Imam
Izzuddin bin Abd al-Salam menyatakan bahwa kemaslahatan dan kemafsadatan dunia
dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan al-syariah. Sedangkan
kemaslahatan dan kemafsadatan dunia saja, bisa dikenal dengan pengalaman, adat
kebiasaan, perkiraan yang benar, serta indikator. [14]
Secara
bahasa, al-adah diambil dari kata al-aud atau al-mu’awadah yang
artinya berulang. Ibnu Nuzaim mendefinisikannya dengan : “Sesuatu ungkapan yang
terpendam dari dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh
tabiat (perangai) yang sehat”.[15]
Para
ulama mengartikan al-adah dalam pengertian yang sama, karena
substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya al-urf didefinisikan
: “Urf adalah apa yang dikenal manusia dan mengulang-ngulangnya dengan
ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”[16]
Dari
dua definisi di atas ada dua hal yang penting, di dalam al-adah ada
unsur berulang-ualng yang dilakukan dan di dalam al-uruf ada unsur al-ma’ruf
yang dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata al-ma’ruf ada
hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya
benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan atau
diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan “al-amr bi al-ma’ruf wa
al-nahy al-munkar” dalam Al-qur’an.[17]
Tampaknya
lebih tepat apabila al-adah atau al-urf ini didefinisikan dengan
: “Apa yang dianggap baik dan benar menurut manusia secara umum yang dilakukan
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.”[18]
Dalam memutuskan suatu perkara,
setidaknya ada dua macam pertimbangan yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Pertimbangan
keadaan kasusnya itu sendiri seperti apa, kasusnya di mana, dan kapan
terjadinya, bagaimana proses kejadiannya, mengapa terjadi, dan siapa pelakunya.
2. Pertimbangan
hukum. Dalam pertimbangan hukum inilah terutama dalam hukum-hukum yang tidak
tegas disebutkan dalam al-qur’an dan al-hadis, adat kebiasaan harus menjadi
pertimbangan dalam memutuskan perkara.[19]
Ketika kaidah tentang adat ini dikembalikan
kepada ayat-ayat al-qur’an dan al-hadis, ternyata banyak ayat-ayat al-qur’an
dan al-hadis yang menguatkannya. Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan
diasah oleh para ulama sepanjang sejarah hukum Islam, akhirnya menjadi kaidah
yang mapan.[20]
Diantara ayat-ayat al-qur’an itu adalah
sebagai berikut:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”(QS.al-araf
:199).
“Dan bagi para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”(QS.Al-baqarah
:228)
“Kafarat sumpah ialah member makan
sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu atau memberi pakaian “(QS.Al-Maidah:89).
Seperti telah dijelaskan bahwa al-adah
yang bisa dijelaskan dalam penetapan hukum adalah al-adah al-shahihah bukan
al-adah al-fasidah. Oleh karena itu kaidah tersebut tidak bisa digunakan
apabila :
·
Al-adah
bertentangan dengan nash baik al-quran maupun al-hadis seperti saum
terus-terusan atau saum 40 hari atau 7 hari siang malam; kebiasaan judi;
menyabung ayam; kebiasaan menanam kepala hewan qurban untuk membangun jembatan;
kebiasaan memelihara babi atau memperjualbelikan daging babi dan lain
sebagainya.
·
Al-adah
tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau tidak menghilangkan kemaslahatan
termasuk didalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kesukaran, seperti
memboroskan harta : hura-hura dalam acara perayaan; memaksakan dalam menjual;
dan lain sebagainya.
·
Al-adah
berlaku pada umumnya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang dilakukan
oleh beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.[21]
Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa ibadah mahdhah tidak dilakukan kecuali yang telah
disyariatkan oleh Allah dan al-adah tidak diharamkan kecuali yang telah
diharamkan Allah.[22] Adapun
kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah sebagai berikut
:
1. Kaidah 1
ا نما تعتبر
العا دة ادا اضطردت او غلبت
“Adat
yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus
berlaku atau berlaku umum.”
Maksud kaidah adalah sesuatu tidak dianggap adat
kebiasaan yang biasa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu
hanya sekali-sekali terjadi dan/atau tidak berlaku umum. Mengacu pada kaidah ini
sesungguhnya maka ada dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus menerus
dilakukan dan bersifat umum (keberlakuannya).[23]
Sebagai tambahan, al-adat agar
dapat dijadikan pegangan haruslah masih berlaku saja bukan yang sudah
kadaluarsa, atau al-adat yang biasanya berlaku yaitu yang ada kalanya dianggap
kadaluarsa tetapi masih berlaku bagi kebanyakan orang. [24]
Penulis kitab al-Asybah telah menyatakan
bahwa sesuatu yang diartikan berdasarkan uruf dan al-adat haruslah:
1. Mesti
diartikan berdasarkan al-urf yang ada saat ijab kabul (akad/transaksi).
Jadi, suatu akad yang telah berlaku tidak diartikan berdasarkan suatu al-urf
yang baru muncul belakangan.
2. Haruslah
al-urf sudah ada sebelum akad itu dan masih mengiringi (masih berlaku),
bukan yang benar-benar baru muncul. [25]
Contoh penerapan kaidah:
·
Jika seratus
tahun yang lalu ada yang membeli sebidang tanah seharga 100 pound mesir,
sementara pound saat itu adalah pound emas, maka tidak boleh diartikan
berdasarkan pound zaman sekarang, karena ini adalah al-urf yang baru saat itu.[26]
·
Apabila
seseorang berlangganan majalah atau surat kabar, maka majalah dan surat kabar
itu diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah
atau surat kabar tersebut maka ia bisa complain (mengadukannya) dan menuntutnya
kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.[27]
·
Adat Minangkabau
tentang hubungan kekerabatan, yaitu Matrilenial, artinya: keturunan itu
hanya dihitung menurut garis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan
anaknya harus diam di ruamh keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun
demikian pada umumnya kekuasaan masih dipegang oleh suami (matriarchat).
Dalam hal ini Islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash,
baik al-qur’an maupun al-hadits.[28]
1.
Kaidah
2
التعيين با لعرف كا التعيين با لنص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan bersadarkan nash”.
Maksud kaidah
ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat adalah
mengikat dan sama kedudukannyaa seperti penetapan hukum berdasarkan nash.[29]
Contoh penerapan
kaidah:
·
Apabila
seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat
tinggal di rumah atau toko tersebut maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah
tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan izin orang
yang menyewakan.[30]
·
Jika seseorang
meminjam seekor binatang tunggangan kepada orang lain sebagai pinjaman tanpa
ketentuan, orang yang menjamin tidak boleh menggunakan binatang itu untuk
mengangkut sesuatu yang tidak sesuai dengan adat maupun al-urf. Seandainya
ia mengangkutkan besi padanya, atau menggunakannya untuk menempuh jalan rusak,
maka kedua tindakannya itu membuatnya harus menjamin.[31]
·
Demikian pula
halnya perwakilan/agen untuk menjual sesuatu dengan wakalah
(perwakilan/keagenan) tanpa ketentuan yang menurut al-adat tidak merugikan
orang yang mewakilkan. Seandainya ia mewakilkan orang lain untuk menjualkan
sesuatu dengan wakalah tanpa ketentuan, si wakil dengan agen boleh
menjual harta benda itu secara tunai ataupun utang sampai batas waktu yang
dikenal para pedagang sebagai al-urf. Ia tidak boleh menjualnya dengan batas
waktu pembayaran yang lebih lama dari pada biasanya. Begitu juga jikaorang
mewakilkan seseorang untuk menjual sesuatu, ia tidak berhak menjual sebagiannya
apabila pembagian itu merugikan menurut al-adat.[32]
2. Kaidah 3
الممتنع عادة كا لممتنع حقيقة
“Sesuatu
yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam
kenyataan.”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak
mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin
terjadi dalam kenyataannya.[33]
Contoh penerapannya:
·
Seseorang
mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi ia tidak bisa
menjelaskan dari mana asal harta tersebut. Sama halnya seperti seseorang
mengaku anak si A, tetapi ternyata umur dia lebih tua dari si A yang diakui
sebagai bapaknya.[34]
·
Mustahil secara
logika apabila seseorang yang dikenal miskin mengklaim bahwa seseorang yang
dikenal kaya berutang kepadanya,
sejumlah uang yang menurut al-adat (tradisi/kebiasaan) tidaklah mungkin. Maka
klaimnya tidak digubris.[35]
3. Kaidah 4
الحقيقة تترك بدلا لة العا دة
“Arti
hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
Maksud kaidah ini adalah arti yang
sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditujukan oleh adat
kebiasaan.[36]
Contoh penerapan
kaidah
·
Sesuatu yang
disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli
sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi,
apaabila si pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat
kebiasaan akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga barang
naik.[37]
·
Jika Anda
mewakili seseorang untuk membeli makanan dalam rangka resepsi pernikahan, ia
hanya boleh membeli makanan yang biasa dihidangkan dalam acara tersebut, bukan
sembarang makanan.[38]
·
Negara yang
sedang mengalami krisis moneter global, dan tidak sedikit dalam satu Negara
ditemukan banyak mata uang yang beredar dan bisa digunakan sebagai alat
pembayaran. Dalam kondisi fluktuatif ini, warga Negara bersangkutan yang sedang
melakukan traansaksi, harus terlebih dahulu menjelaskan mata uang apa yang akan
dipakai sebagai alat pembayaran, sebab masing-masing masyarakat memiliki mata
uang yang dikehendaki.[39]
Pada contoh diatas tentang mata uang, kasus
berlakunya penggunaan mata uang yang sama untuk melakukan transaksi bagi warga
negara Indonesia, yaitu rupiah. Dalam proses pembayaran otomatis harus
menggunakan mata uang Rupiah. Akan tetapi jika ditemukan seorang warga Negara
Indonesia, maka hal ini diperbolehkan selama ada penjelasan dan alasan yang
detailnya dari pelaku tentang alasan ia melakukan hal tersebut. Bisa jadi ia
sedang bertransaksi dengan orang asing atau ia sedang berada di pasar bursa. Jika
demikian maka, yang harus dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut
adalah melihat kenyataan bahwa jika kebiasaan itu sifatnya tidak menetap dan
selalu berubah-ubah, maka kebiasaan itu tidak bisa dijaadikan standar dalam
bertransaksi, bahkan menjadi potensi yang bisa memunculkan perbedaan.[40]
Suatu redaksi bisa mengandung arti sebenaarnya (ma’na
haqiqi) atau arti kiasan (ma’na majazi). Para ahli fikih telah
memandaskan bahwa ketika seorang mufti dimintai fatwa tentang suatu persoalan, jika
orany yang meminta fatwa itu berasal dari negeri lain, maka sang mufti tidak
boleh berfatwa sebelum mengetahui arti dari redaksi yang digunakan si peminta
fatwa.[41]
Di Indonesia, hukum Islam merupakan sumber ajaran
yang dianut dan dijadikan patokan moralitas sosial sehingga nilai-nilai yang
dikandung syara diadatisasikan dalam kehidupan masyarakat. Hukum adat mengalami
proses asimilasi dengan hukum Islam atau hukum Islam yang diterapkan dalam
masyarakat menajdi hukum adat.[42]
Namun
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, hukum adat tidak dapat dipandang
sebagi norma sosial yang mutlak yang dapat dijadikan sebagi tolak ukur, karena
hukum adatnya sendiri sudah direduksikan dengan hukum nasional sebagai hukum
pasif yang berlaku di seluruh rakyat Indonesia.[43]
Masalah
keperdataan di masyarakat disarankan diselesaikan dengan cara kekeluargaan yang
menganut norma sosialnya masing-masing. Namun, juga diperbolehkan menempuh
jalur hukum nasional dan menafikan hukum adat. Secara sosiologis kedua hukum
tersebut merupakan gejala sosial tentang pencarian rasa adil. Meskipun kedua
hukum tersebut tidak mutlak menjamin rasa adil yang dimaksud.[44]
C.
Penutup
Berdasarkan pemabahasan di atas,
dapat disimpulkan beberapa hal sebgaimana berikut:
·
Permasalahan
adat kebiasaan berperan penting dalam legitimasi hukum syara’ yang menjadi
patokan tertentu dalam pertimbanagan hukum berdasarkan kaidah-kaidah yang telah
dibahas.
·
Simpulan kaidah
1 yaitu adat yang menjadi landasan hukum, hanyalah selama itu tidak menyalahi
syariat - adat shahih dan berbagai ketentuan lainnya seperti:
·
tidak menyebabkan
kemafsadatan atau tidak menghilangkan kemaslahatan.
·
dilakukan secara
continue, bersifat umum dan tidak baru muncul juga tidak kadaluarsa
·
Simpulan kaidah
2 yaitu adat mampu mengantarkan kepada pemahaman menurut nash
·
Simpulan kaidah
3 yaitu adanya adat mampu juga mampu menjadi ukuran yang rasional dalam menilai
sesuatu
·
Simpulan kaidah
4 yaitu penunjukan oleh adat mampu mengantarkan pada mampu mengilangkan
penunjukan pada arti secara hakiki
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi, Yusuf. 7 kaidah Utama Fikih Muamalat.
Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2010.
Athaillah,
A. Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah (Legal Maxim)
Djazuli.
Kaidah-kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang praktis.
Azhari,
Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyah Muamalah. Banjarmasin:LPKU Ummat
Banjarmasin. 2014.
Dahlan
Tamrin. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Kulliyah al-Khamsah. Malang: UIN Mala
Press, 2010
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum Islam.Bandung:
Pustaka Setia Bandung. 2007
[1]
Dahlan Tamrin. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Kulliyah al-Khamsah. Malang:
UIN Mala Press, 2010. h 204
[2]
Ibid h 204
[3]
Ibid h 204
[4]
Athaillah, A. Mengenal Qawa’id Fiqhiyyah (Legal Maxim).h 6
[5]
Al-Qaradhawi, Yusuf. 7 kaidah Utama
Fikih Muamalat. Jakarta: Pustaka Al-Kausar. 2010. h228
[6]
Ibid h 204
[7]
Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang praktis. Hal 78
[8]
Ibid hal 79
[9]
Ibid hal 79
[10]
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyah Muamalah. Banjarmasin:LPKU Ummat
Banjarmasin. 2014. h 143
[11]
Ibid h 144
[12]
Ibid h 144
[13]
Ibid hal 145
[14]
Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang praktis. Hal 79
[15]
Ibid h 79
[16]
Ibid h 80
[17]
Ibid h 80
[18]
Ibid h 80
[19]
Ibid h 80
[20]
Ibid h 81
[21]
Ibid 83
[22]
Ibid 84
[23]
Ibid 85
[24]
Ibid h 250
[25]
Ibid h 250
[26]
Ibid h 250
[27]
Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih:Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang praktis. H 85
[28]Ibid h240
[29]
Ibid h 87
[30]
Ibid h 87
[31]
Ibid h 253
[32]
Ibid h 254
[33]
Ibid h 87
[34]
Ibid h 87
[35]
Ibid h 247
[36]
Ibid h 88
[37]
Ibid h 88
[38]
Ibid h 249
[39]
Ibid h 245
[40]
Ibid h245
[41]
Ibid h 249
[42]
Saebani, Beni Ahmad. Filsafat Hukum
Islam.Bandung: Pustaka Setia Bandung. 2007. H 262
[43]
Ibid h 263
[44]
Ibid h 269
Tidak ada komentar:
Posting Komentar