1. baca
dan telaah tulisan tersebut. (lihat: politik hukum)
2. Memberikan
komentar terkait diskursus agama resmi Negara, hukum islam sebagai hukum Negara
dan keberpihakan politik hukum nasional terhadap hukum islam, termasuk hukum
ekonomi islam didalamnya
3. Berikan
uraian perihal “kelembagaan” ekonomi syariah dan “materi perundang-undangan”
yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Apakah kedua hal tersebut telah mendapat
dukungan yang positif dari Negara ?
Diskursus Agama Negara :
Memang
tidak ada aturan yang menyatakan agama resmi Negara di Indonesia, namun ada
beberapa agama yang diakui seperti, Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha
dan Kong Hu Chu. Sebagaimana terdapat dalam Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun
1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada pasal 1. Dengan adanya
Penetapan Presiden tersebut bukan berarti menutup adanya
kepercayaan-kepercayaan lain yang ada.
Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1 menbutkan bahwa “setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. . . .”, pada ayat 2
juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan kepercayaan. Selain
itu dalam Pasal 28 I ayat 1 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak
asasi manusia. Selanjutnya juga pada Pasal 29 ayat 2 juga menyatakan bahwa
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Jadi
pada dasarnya tak ada penetapan suatu Agama yang resmi Negara di Indonesia,
meainkan hanya sekedar pengakuan 6 agama yang dianut masyarakat kebanyakannya
di Indonesia dan mayoritas masyarakat kita (Indonesia) ialah pemeluk Agama
Islam.
Hukum Islam sebagai Hukum Negara :
Sebagaimana
kita ketahui dari sejarah, dalam pembentukan dasar Negara dalam siding BPUPKI
pada tanggal 22 Juni 1945 , bahwa delapan dari Sembilan orang panitianya ialah
muslim, sehingga menghasilkan lima butir dsar Negara yang disebut sebagai
PANCASILA. Salah satu poin tersebut (yang pertama) ialah “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluk-Nya” meskipun pada
akhirnya poin tersebut dirubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” karena
adanya ancaman dari Indonesia bagian timur yang mayoritas non muslim (beragama
Kristen) akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesis (NKRI).
Dari
sana sudah terlihat adanya indikasi-indikasi untuk menjadi Hukum Islam sebagai
Hukum Negara, meskipun tidak termaktub dalam Undang-Undang/Aturan dasar Negara,
namun didalamnya terkandung ajaran-ajaran/aturan Hukum Islam.
keberpihakan politik hukum
nasional terhadap hukum islam :
Politik Hukum Indonesia dalam hal pembangunan hukum
nasional, pada awalnya masih dipengaruhi oleh teori receptie yang dikembangkan
oleh Snock Horgronye. (1857-1936) . Pengaruh teori receptie ini masih melekat
pada masa awal kemerdekaan atau pada masa pemerintahan orde lama, bahkan sampai
pada masa pemerintahan orde baru (1967-1998). Pada masa Orde Baru ini konsep
pembangunan hukum diarahkan pada konsep kesatuan hukum nasional, dimana hukum
agama (Islam) yang dianut mayoritas rakyat Indonesia tidak dengan serta merta
dapat dijadikan sebagai hukum yang berlaku. Beberapa hukum Islam untuk diangkat
menjadi materi hukum membutuhkan kerja keras dari umat Islam, meskipun
sebenarnya hukum itu hanya diberlakukan bagi pemeluknya. Namun pada masa orde
baru teori receptie ini mulai berkurang pengaruhnya terbukti dengan telah
diterimanya hukum Islam ( perdata dan muamalat ) sebagai hukum positif di
Indonesia. Dalam perkembangan hukum di Indonesia, terutama yang menyangkut
perkembangan penerapan hukum Islam, mengalami pasang surut mengikuti arah
politik yang ada.
adanya hubungan yang cukup baik antara umat Islam dengan
Negara pada paruh kedua masa Orde Baru, sedikit demi sedikit hukum Islam diberi
tempat dalam tata hukum Nasional, dimulai dengan lahirnya undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dan undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan adanya
pemberlakuan Hukum Islam di bidang muamalat, maka Hukum Islam dalam bidang
muamalat telah mendapat tempat dalam dalam hukum Nasional Indonesia.
Kelembagaan Ekonomi Syariah :
Kelembagaan
yang menunjang perkembangan Ekonomi Syariah ialah dengan adanya Peradilan Agama
sebagai Institusi kekuasaan kehakiman yang diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah, selain itu adanya Badan Arbitrase
Syariah dan juga adanya Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang berlaku sebagai penjaga agar Lembaga-lembaga Keuangan Syariah (LKS)
yang ada tidak keluar dari koridor prinsip Syariah.
Materi perundang-undangan :
sejak
berdirinya Bank Syariah (Bank Muamalat pada tahun 1992) pertama kalinya,
meskipun belum ada Undang-Undang yang mengatur secara tegas, namun pada saat
itu ditahun yang sama pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Meskipun undang-undang ini belum secara tegas
mengatur tentang keberadaan Perbankan Syariah, namun fungsi regulasi pemerintah
dalam sektor ekonomi syariah sudah dimulai. Akibat dari sistem perangkat hukum
yang tidak memberikan kebebasan bagi Perbankan Syariah sehingga pergerakannya
begitu lambat tidak secepat perbankan konvensional.
Ketika
diterbitkannya undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan undang-undang
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah
ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi Bank Indonesia atau peraturan
Bank Indonesia, maka dengan itu memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan
ruang yang lebih luas bagi pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Namun
isi dari undang-undang tersebut memungkinkan Bank Umum untuk menjalankan
usahanya secara konvensional sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip
syariah (Unit Usaha Syariah “UUS”), dengan begitu bank syariah yang menjadi
unit bank konvensional tidak dapat berdiri sendiri, operasinya masih menginduk
kepada bank konvensional,. Bila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi
saah satu bagian dari program pengembangan bank-bank konvensional saja.
Tepat
pada tanggal 16 Juli 2008 diberlakukanlah undang-undang No. 21 tentang
Perbankan Syariah. Dengan adanya undang-undang ini yang mengatur secara tegas
dan jelas akan perbankan syariah, maka pengembangan industry perbankan syariah
nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi.
Selain
Undang-undang tertang Perbankan Syariah, juga terdapat materi undang-undang
lain yang menyangkut dengan dukungan pemerintah dalam pengembangan Ekonomi Syariah seperti,
Undang-undang No. 19 tahun tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah,
Undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang No.7 Tahun 1989 sebagaimana diberbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan berbagai
ketentuan paraturan perundang-undangan lainnya.
Secara
umum, mulai dari pendekatan politik, landasan hukum, efektifitas pengawasan,
dan kelembagaannya, perbankan Syariah telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat, khususnya dalam pembukaan Bank Syariah. Bank Indonesia telah menyediakan
regulasi yang cukup memadai untuk pendirian baru, konversi, dan membolehkan
bank konvensional membuka unit usaha Syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar