(Makalah disampaiakan pada saat stadium general PPS IAIN Antasari Banjarmasin, 14 Maret 2015)
Pendekatan
Politik Hukum
Soerjono Soekanto dan
Purnadi Purbacaraka mengemukakan, Disiplin Politik Hukum terbentuk dari gabungan dua disiplin
hukum, yaitu disiplin ilmu hukum dan filsafat hukum. Ilmu Hukum diarahkan pada
cara untuk mencapai tujuan. Adapun filsafat hukum diarahkan untuk melihat
tujuan yang diinginkan. Proses interplay antara cara untuk mencapai
tujuan dan melihat tujuan yang diinginkan itulah yang kemudian melahirkan
politik hukum, dengan catatan bahwa politik dipahami sebagai policy, bukan
dalam pengertian cara untuk memperoleh kekuasaan.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebijakan hukum (legal policy).
Dengan Kerangka pikir seperti ini, Purnadi Purbacaraka[1] mengemukakan bahwa: “Politik hukum
dalam disiplin hukum bergerak pada tataran etik dan teknik kegiatan pembentukan
hukum dan penemuan hukum” Lebih lanjut dijelaskan bahwa: Politik Hukum
berbicara pada tataran empiris fungsional dengan menggunakan metode teleologis-konstruktif,
artinya bahwa politik hukum dalam pengetian etik dan teknik kegiatan
pembentukan hukum dan penemuan hukum, lebih diarahkan untuk melihat sejauh mana
hukum yang dibentuk memiliki nilai guna dan gerak dalam proses transformasi
masyarakat yang diinginkan, proses yang melibatkan unsur-unsur yang mendukung
terjadinya proses tersebut harus diperhatikan, termasuk dalam hal ini adalah
pengaruh ideologi atau ajaran-ajaran politik kendatipun kecil pengaruh
tersebut”.
Sebagai sebuah disiplin hukum, politik hukum memberikan
landasan akademis terhadap proses pembentukan dan penemuan hukum yang lebih
sesuai dengan konteks kesejarahan, situasi dan kondisi, kultur, nilai-nilai
yang berkembang dimasyarakat, dan dengan memperhatikan pula kebutuhan masyarakat
terhadap hukum itu sendiri. Melalui proses seperti ini diharapkan produk hukum
yang akan diimplementasikan ditengah-tengah masyarakat dapat diterima,
dilaksanakan dan dipatuhi.
Pengertian Politik Hukum dapat dibagi dalam pengertian dari
perspektif etimologi dan perspektif terminologi. Dalam perspektif etimologi politik hukum
merupakan terjemahan bahasa Belanda ”recht politik” yang berarti
kebijakan (policy) sehingga dapat dikatan sebagai kebijakan hukum.
Berkaitan dengan pengertian tersebut Klan menjelaskan bahwa kebijakan itu
adalah tindakan secara sadar dan sistimatis, dengan mempergunakan sarana-sarana
yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran yang dijalankan
langkah demi langkah. [2]
Menurut Bachsan Mustafa, Politik Hukum mengandung dua
pengertian yaitu “Politik dan Hukum. Politik adalah aspek dari semua perbuatan yang berkenaan dengan usaha
kolektif bagi tujuan-tujuan kolektif. Politik adalah tindakan yang dijalankan
menurut suatu rencana tertentu, terorganisir dan terarah, yang secara tekun
berusaha menghasilkan, mempertahankan atau mengubah susunan kemasyarakatan.
Sementara itu Mahfud MD mengemukakan “Politik Hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara”.[3] Dengan demikian, politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
pembukaan UUD 1945.
Mengenai hubungan antara hukum dan politik, Michael D. Bayles melihat hubungan politik dan hukum itu dari
tiga pola interaksi yang terbangun di antara keduanya.[4] Pola pertama, yang disebutnya
sebagai pola empiris yaitu pola di mana politik mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam proses pembentukan konstitusi. Di sini
dapat dikatakan bahwa politik membentuk hukum. Pola yang kedua adalah pola
hubungan yang bersifat analitis, yaitu pola yang menggambarkan hukum
membutuhkan kekuasaan politik agar dapat berlaku efektif. Pola ini meski diakui
oleh Hans Kelsen, namun ia menolak adanya kebergantungan hukum terhadap politik
dengan alasan efektivitas tersebut. Kelsen berpendapat bahwa meskipun banyak
kalangan yang berpendapat adanya korelasi antara kekuasaan dan efektivitas
hukum, menurut teori yang dibangunnya, hukum merupakan tatanan atau organisasi
kekuasaan yang bersifat khas atau spesifik.[5] Pola yang ketiga adalah pola
hubungan yang bersifat normatif. Di dalam pola ini, politik harus menyediakan
kekuatan normatif bagi berlakunya hukum.
Penegasan hubungan politik dan hukum ini perlu dilakukan agar
dapat dipahami di bagian mana saja politik dapat berjalin dengan hukum dan di
bagian mana saja politik memang harus berpisah dari hukum. Tidak adanya
penegasan hubungan politik dan hukum berpretensi melahirkan pemahaman yang
menempatkan hukum dalam posisi yang tidak suprematif. Kecenderungan itu
ditangkap oleh Mahfud MD, ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh mahasiswa hukum seputar ketidakberdayaan hukum di hadapan politik.[6]
Jawaban atas problematika tersebut tidak dapat disederhanakan
dengan mengidentifikasi politik dalam wujud law in action atau dengan
memutus keterkaitan antara politik dengan hukum. Perubahan di bidang-bidang
non-hukum, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya, baik secara langsung
maupun tidak langsung memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hukum.
Menghadapi kenyataan itu, menurut Satjipto Rahardjo, cara-cara analisis yang
murni dan formal sangat dirasakan kekurangannya.[7] Hukum harus selalu hidup di
masyarakat mengingat keberadaan hukum sangat berkaitan dengan keberadaan
masyarakat itu sendiri, seperti dikemukakan oleh Celcius, “ubi societas, ibi
ius”.[8]
Dari penjelasan mengenai hubungan politik dan hukum, penjelasan
Bayles tentang pola hubungan yang terbangun di antara hukum dan politik
agaknya lebih menggambarkan gradasi hubungan yang lebih ideal. Melalui pola-pola hubungan
yang diuraikannya, agaknya Bayles ingin menjelaskan posisi hukum yang suprematif tanpa
mengesampingkan faktor-faktor non-hukum yang lain. Dalam kaitannya dengan
keberadaan negara, penjelasan Bayles tersebut relevan dengan esensi institusi
negara, yang oleh C.F.Strong diidentifikasi as distinct from
all other forms of association, is the obedience of its members to the law.[9]
Mahfud MD
mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang
mendasarinya, yaitu (1) Hukum determinan (menentukan) atas politik,
dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (2) Politik
determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk
normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi
dipendent variable atas politik. (3) Politik dan hukum terjalin dalam
hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium, “politik tanpa
hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi
lumpuh.[10]
Berangkat dari
studi mengenai hubungan antara politik dan hukum di atas kemudian lahir sebuah
teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau
telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama,
pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi
hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan
hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para
penegak hukum.[11] Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau
seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta
bagaimana hukum difungsikan.
Teori politik
hukum yang dirumuskan oleh Mahfud MD cenderung berkesimpulan bahwa yang terjadi
Indonesia adalah politik determinan atas hukum. Situasi dan kebijakan
politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil
oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk
hukum yang dihasilkan.
Hubungan
politik dengan hukum di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan
hukum terdapat asumsi yang mendasarinya. Pertama, hukum determinan terhadap
politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua
kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan,
keharusan dan cita). Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam arti
bahwa dalam kenyataannya baik produk normative maupun
implementasi-penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent
variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein
(kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris. Ketiga, politik dan
hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang
dapat dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan
kesewenang-wenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”.
Mahfud MD mengatakan hukum dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan
asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan)
atas hukum”. Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent
variable (variable pengaruh), politik diletakkan sebagai independent
variable (variabel berpengaruh).
Pada tataran
empiris, politik hukum telah digunakan oleh Mahfud MD dalam memahami relasi
antara hukum dan politik. Mahfud MD menghadirkan sebuah pendekatan yang berbeda
dalam memahami sebuah fenomena hukum, dalam hal ini berbeda dengan pendekatan
klasik yang melihat hukum dari sisi yuridis normatif an sich, Mahfud MD melihat
hukum dari sisi yuridis sosio politis, yang menghadirkan sistem politik sebagai
variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Berdasarkan hasil
penelitiannya, Mahfud MD berkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politik
rezim tertentu akan signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian
dilahirkannya. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk
hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang
konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif atau elitis.[12] Pernyataan tersebut dapat disajikan dalam gambar sebagai
berikut :
Hasil yang
kurang lebih sama diperoleh dari penelitian Benny K. Harman terhadap hubungan
linier antara konfigurasi politik dan kekuasaan kehakiman. Menurutnya apabila
dalam suatu negara diterapkan suatu konfigurasi politik yang demokratis,
karakter kekuasaan kehakiman yang dihasilkan oleh konfigurasi politik semacam
itu adalah karakter kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Begitu
pula apabila yang diterapkan konfigurasi politik otoriter atau totaliter, yang
dihasilkannya adalah karakter kekuasaan kehakiman yang tidak otonom atau tidak
bebas.[13] Pernyataan tersebut dapat digambarkan seperti gambar di
bawah ini:
Bila diperhatikan secara seksama, baik Mahfud MD maupun
Harman menggunakan asumsi yang sama, yaitu ada keterkaitan antara hukum dan
politik, meskipun objek penelitiannya berbeda. Mahfud MD lebih menekankan pada
aspek keterkaitan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum,
sedangkan Harman lebih menekankan pada aspek keterkaitan konfigurasi politik
dan karakter kekuasaan kehakiman, apakah dia bersifat otonom atau tidak otonom.
Dari hasil penelitiannya, kedua berpendapat bahwa konfigurasi politik sangat
mempengaruhi karakter hukum dan karakter kekuasaan kehakiman.
Permasalahannya,
apakah contoh di atas termasuk dalam penelitian hukum atau politik? Mahfud MD dalam bukunya secara jelas menyatakan
bahwa model yang dia lakukan adalah penelitian hukum, bukan politik.
Berdasarkan argumen bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum bukan ilmu politik. Ia menjelaskan bahwa,
bila ilmu hukum diibaratkan sebagai pohon, filsafat merupakan akarnya,
sedangkan politik merupakan batangnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang
berupa berbagai bidang hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata
negara, hukum administrasi negara dan sebagainya.[14]
“Negara Agama”
dan Posisi Hukum Syariah
Menurut Mahfud
MD, secara yuridis-konstitusional negara Indonesia bukanlah negara agama dan
bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah religious nation state atau
negara kebangsaan yang beragama. Indonesia adalah negara yang menjadikan ajaran
agama sebagai dasar moral, sekaligus sebagai sumber hukum materiil dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dengan jelas
dikatakan bahwa salah satu dasar negara Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.[15]
Masalah agama merupakan persoalan yang sejak dari awal
Indonesia merdeka pada tahun 1945 menjadi perdebatan yang sengit diantara the founding fathers. Pada tanggal 22
Juni 1945 digelar sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang pertama untuk membahas dasar negara Indonesia kelak
setelah merdeka. Pembahasan tersebut dilakukan oleh panitian sembilan yang
beranggotakan Ir. Soekarno, Mohammad
Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim,
Achmad
Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad
Yamin. Panitia sembilan berhasil merumuskan dasar-dasar negara yang
berisi lima sila yang kemudian disebut Pancasila, yaitu :
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Namun setelah Indonesia merdeka
pada tanggal 17 Agustus 1945, BPUPKI kembali menggelar sidang kedua dimana
salah satunya mensahkan rancangan konstitusi yang telah dibuat sebelumnya
menjadi konstitusi resmi negara. Hal yang sangat mengejutkan pada saat itu
ialah dirubahnya isi poin pertama dasar negara yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” dan digantikan dengan poin yang berbunyi “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Dalam catatan sejarah, perubahan tersebut dilakukan oleh
Mohammad Hatta yang kemudian menjadi Waki Presiden Pertama Indonesia setelah
mendengar usul dari A.A.Maramis (satu-satunya anggota panitia sembilan yang
beragama kristen) setelah
berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo[16].
Latar belakang politis (political background) yang sering
dikemukakan dalam berbagai tulisan atas perubahan bunyi sila pertama tersebut
adalah adanya ancaman dari A.A.Maramis yang mewakili masyarakat Indonesia dari
wilayah Timur dan beragama kristen untuk memisahkan diri dari Indonesia, jika
poin pertama yang berbunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak
dihapuskan atau diganti.
Hal itulah yang melatarbelakangi, mengapa hingga saat ini[17]
Indonesia tidak memiliki agama resmi negara, kendati di Indonesia kebebasan
beragama di atur dalam konstitusinya (UUD 1945). Dalam pasal 29 UUD 1945
disebutkan ;
(1). Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap masyarakat
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya itu.
Namun dalam prakteknya, di Indonesia ummat Islam sebagai masyarakat
mayoritas memiliki berbagai keistemewaan antara lain dapat dilihat dalam
berbagai indikasi berikut :
Pertama : Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
tertentu di bidang hukum, masyarakat yang beragama Islam diberikan perlindungan
hukum dan penyelesaian sesuai dengan hukum Islam. Hal ini seiring dengan adanya
lembaga peradilan di Indonesia bernama Pengadilan Agama. Dalam pasal 49 ayat
(1) Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama disebutkan
bahwa ;
Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Apabila para
pihak tidak berpuas dengan putusan yang
dibuat oleh Pengadilan Agama, maka mereka dapat mengajukan gugatan (petition)
kepada Pengadilan Tinggi Agama yang berada di setiap Ibukota Provinsi-provinsi
yang ada di Indonesia. Di tingkat paling tinggi terdapat Mahkamah Agung yang
memutuskan dan memeriksa perkara pada tingkat terakhir.
Kedua : Dalam hal pelaksanaan dan pencatatan perkawinan
hanya masyarakat yang beragama Islam yang memiliki pelayanan khas melalui
Kantor Urusan Agama (KUA). KUA merupakan institusi yang khas dipersiapkan oleh
pemerintah Indonesia untuk menangani pentadbiran pernikahan (perkawinan) bagi
orang yang beragama Islam di Indonesia. KUA didirikan di setiap kecamatan yang
ada di Indonesia. Sedangkan umat agama lain (selain Islam) mencatatkan
perkawinannya di Kantor Catatan Sipil yang berada di setiap kabupaten[18].
Ketiga :
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama memiliki tugas melaksanakan dan
mengurus seluruh hal yang berkaitan dengan ibadah Haji. Haji adalah ibadah
wajib umat Islam Islam sebagaimana termaktub dalam rukun Islam. Ummat Islam di
Indonesia difasilitasi dan diataur oleh negara dalam melaksanakan ibadah
tersebut. Hal ini berbeda dengan umat agama lain, selain Islam yang tidak
difasilitasi dalam menjalankan perjalanan ibadahnya, seperti ziarah ummat
kristen ke Vatikan dan lain-lain.
Keempat : Saat ini setelah diterapkan otonomi
daerah, beberapa daerah membuat peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang
perilaku kehidupan seorang, sekaligus memberikan perlindugan kepada mereka.
Sebagai contoh Perda Kabupaten Banjar No.4 tahun 2005 tentang
Kewajiban Pandai Baca Tulis Al-Quran bagi siswa/siswi SD/MI sederajat dan Perda
Kota Banjarmasin No.6 Tahun 2004 tentang larangan Minuman Keras (Miras) di Kota
Banjarmasin.[19]
Kelima : Kebijakan pemerintah
Indonesia untuk memberikan hari libur
bersama pada hari-hari besar agama Islam, seperti libur pada saat Bulan
Ramadhan yang dilaksanakan satu bulan penuh, serta libur untuk Idul Fitri yang
dilaksanakan lebih dari satu minggu. Hal ini tidak didapati pada hari besar
agama lain, seperti Natal, Nyepi dan lainnya. Libur pada hari-hari tersebut
terbatas pada hari pelaksanaan hari raya-nya.
Keenam : Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
berada mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai ke tingkat kabupaten/kota. MUI
memiliki wewenang untuk membuat fatwa. Fatwa MUI yang mengikat, bukan hanya
untuk umat Islam, melainkan juga umat non-muslim adalah fatwa halal atau haram
suatu produk makanan dan/atau minuman yang diproduksi di Indonesia. Fatwa
tersebut merupakan syarat yang wajib dipenuhi bagi setiap perusahaan yang ingin
menjual produknya di Indonesia. Fatwa MUI ini dimaksudkan untuk memberi proteksi
kepada umat Islam agar mendapatkan makana dan/atau minuman yang halal di pasar
Indonesia.
Politik Hukum
Ekonomi Syariah
Untuk
melihat sejauhmana keberpihakan politik hukum nasional terhadap keberadaan
ekonomi syariah di Indonesia, kita dapat melihatnya melalui dua aspek, yaitu
aspek kelembagaan dan aspek substansi hukum yang tercermin dari lahirnya
peraturan perundang-undangan yang ada.
Pada
ranah kelembagaan, politik hukum nasional memberikan pengaturan yang
menghadirkan kelembagaan yang memiliki otoritas dalam pengelolaan ekonomi
syariah. Sebagai contoh, keberadaan Peradilan Agama sebagai institusi kekuasaan
kehakiman yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah dalam yuridiksi absolutnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal
49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Pada
ranah kelembagaan pula, hadirnya Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Badan
Arbitrase Syariah (Basyarnas) adalah lompatan maju dalam politik hukum nasional.
Kedua lembaga tersebut berada di bawah MUI. Dalam struktur ketatanegaraan, MUI
bukanlah bagian dari organ kekuasaan resmi negara. MUI lebih tepat disebut
sebagai badan hukum biasa. Ia sejajar dengan berbagai organisasi keagamaan
lainnya.
Kehadiran
DSN dan Basyarnas dalam struktur hukum nasional seiring dengan diberlakukannya
UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kehadiran UU tersebut
menuntut hadirnya institusi penetapan legislasi dan pengawas fatwa di bidang
ekonomi syariah yang dilakukan oleh DSN, serta institusi penyelesaian sengketa
di luar peradilan (alterbative dispute
resolution). Kelembagaan Basayrnas dimaksudkan sebagai cara penyelesaian
sengketa alternatif selain ke Peradilan Agama.
Pada
aspek peraturan, kehadiran berbagai UU seperti UU No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah, UU 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana
diberbaharui dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama, UU 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan berbagai ketentuan
paraturan perundang-undangan lainnya.
Secara
lebih spesifik, Fatwa DSN MUI yang sesungguhnya bukan bagian dari produk
peraturan perundang-undangan nasional kita, juga dapat dikonversi menjadi dasar
hukum tata kelola ekonomi syariah di Indonesia, setelah dilakukan otorisasi
oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Penutup
Politik hukum nasional menempatkan
keberpihakan yang kuat pada legislasi hukum Islam, baik pada aspek kelembagaan,
maupun substansi pengaturannya. Hal ini sekaligus mempertegas, bahwa keberadaan
umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia diberikan perlindungan hukum
yang baik oleh negara.
Pada sisi yang lain,
perdebatan perlu tidaknya Islam diletakkan sebagai dasar negara, sekaligus
menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif tidak perlu dilakukan,lantaran
secara substansial pelbagai hukum Islam dapat dijadikan bagian dari hukum
positif nasional kita.
Daftar Pustaka
- Benny K. Harman, Konfigurasi
Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Elsam,
1997)
- C.F.Strong, Modern Political Constitution,
revised edition (London:Sidgwick and Jackson, 1952).
- F. Isjwara, Pengantar Ilmu
Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1974), hlm. 79.
- Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan
Negara (General Theory of
Law and State) diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cetakan Pertama
(Bandung:Nusa Media,2006), hal.175
- Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, cet ke-8, (Jakarta: Rajawali Pres,
2012), hlm. 40.
- M.Rifqinizamy,
Kedudukan Peraturan Daerah (Perda)
Syariah di Kalimantan Selatan dari Perspektif Hukum Tata Negara,
makalah yang dipersiapkan pada Seminar Serantau “Perkembangan Islam di
Borneo” yang diselenggarakan oleh Universiti
Tekhnologi Mara (UiTM) Kota Samarahan, Kuching, Sarawak, Malaysia pada
tanggal 27-28 Pebruari 2008.
- Moh. Mahfud MD, Politik Hukum
di Indonesia, cet ke-3, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 1.
- Michael Bayles, Law and Politics, hal.
137. Sebagaimana diunduh dari
<http://www.bibliojuridica.org/libros/3/1014/14.pdf> 16 Mei 2013.
¨ Disampaikan
pada Kuliah Umum di Program Pascasarjana IAIN Antasari, 14 Maret 2015.
© Pengajar
Hukum Ketatanegaraan pada Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Lambung Mangkurat, Pascasarjana IAIN Antasari dan Program Magister
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Universitas Brawijaya.
[1] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar
Politik Hukum, cet ke-8, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 40.
[4] Michael Bayles, Law and Politics, hal. 137. Sebagaimana diunduh dari
<http://www.bibliojuridica.org/libros/3/1014/14.pdf> 16 Mei 2013
[5] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara [General Theory
of Law and State] diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, cetakan Pertama
(Bandung:Nusa Media,2006), hal.175
[9] C.F.Strong, Modern Political Constitution, revised edition
(London:Sidgwick and Jackson, 1952), hlm. 4.
[13] Benny K. Harman, Konfigurasi
Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Elsam,
1997), hlm. …
[16] Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Piagam_Jakarta
diakses pada tanggal 24 Pebruari 2015.
[17] Perjuangan
untuk mengembalikan Piagam Jakarta dilakukan oleh beberapa kalangan, terutama
setelah jatuhnya Presiden Soeharto (reformasi). Partai Politik yang konsisten
mengangkat isue ini adalah Partai Bulan Bintang (PBB) yang diketuai Yusril Ihza
Mahendra, seorang profesor undang-undang perlembagaan pada Universitas
Indonesia. Namun Partai ini tidak memiliki suara yang cukup untuk melakukan
amandemen konstitusi, terlebih tidak didukung oleh partai-partai lainnya. Lihat
profilnya dalam www.yusril.com
[18] Indonesia merupakan negara kesatuan (unity state) yang berbentuk republik
yang terdiri dari wilayah-wilayah provinsi dimana setiap provinsi terbagi atas
wilayah-wilayah kabupaten/kota yang kemudian wilayah tersebut terbagi-bagi lagi
menjadi wilayah-wilayah bernama kecamatan. Pasal 18 UUD Republik Indonesia 1945
(konstitusi Indonsia).
[19] Untuk
mengetahui lebih jauh tentang Perda Syariah dapat dibaca M.Rifqinizamy, Kedudukan Peraturan Daerah (Perda) Syariah
di Kalimantan Selatan dari Perspektif Hukum Tata Negara, makalah yang
dipersiapkan pada Seminar Serantau “Perkembangan Islam di Borneo” yang
diselenggarakan oleh Universiti
Tekhnologi Mara (UiTM) Kota Samarahan, Kuching, Sarawak, Malaysia pada
tanggal 27-28 Pebruari 2008 dalam
www.rifq1.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar