Rabu, 10 September 2014

IJARAH "


BAB I
PENDAHULUAN



A.Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari – hari, masyarakat memiliki kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank. Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama manusia.
Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa). Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.

Dalam makalah ini akan dijelaskan secara sederhana tentang definisi ijarah baik dari pandangan ulama fiqih kontemporer maupun modern, landasan hukum, rukun dan syarat sahnya, bentuk – bentuk ijarah dan fatwa DSN tentang ijarah.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pembiayaan ijarah ?
2.      Apa yang menjadi landasan hukum mengenai pembiayaan ijarah ?
3.      Apa saja rukun dan syarat sahnya melakukan ijarah ?
4.      Apa saja bentuk-bentuk dari Ijarah ?
5.      Bagaimana fatwa DSN tentang pembiayaan ijarah ?

C. Tujuan Penulisan
1.      Dapat memahami apa itu pengertian ijarah .
2.      Mengetahui landasan hukum mengenai pembiayaan ijarah.
3.      Mengetahui rukun dan syarat sahnya melakukan ijarah.
4.      Mengetahui bentuk-bentuk dari Ijarah.
5.      Mengetahui dan memahami fatwa DSN tentang pembiayaan ijarah .


BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Ijarah

Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu (ganti), ajru (upah).[1]Menurut pengertian Syara’, Al-Ijarah ialah: Urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuanya, dapat diserah terimakan, boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu).[2] Seperti halnya barang itu harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.
Pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir ( orang yang menyawa = penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut  Ajran atau Ujrah (upah). Dan setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian).[3]

Pengertian Ijarah dalam terminologi menurut fiqih klasik dan fiqih kontemporer, yaitu :

1.      Menurut fiqih klasik
a. Menurut Hanafiyah, ijarah ialah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang di sewa dengan imbalan.
عقد يفيد تمليك منفعة معلومة مقصودة من العين المستأجرة بعوض
b. Menurut Malikiyah, ijarah ialah nama bagi aqad-aqad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.
نِ لآ لْمَنْقُوْا بَعْضِوَ دَمِيْ لآ ا مَنْفَعَةِ يعَلَقُدِ التّعَا تَسْمِيَةُ

c. Menurut Syafi’iyah ijarah adalah Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.[4]
معلوم بعوض والإباحة للبذل قابلة مباحة معلومة مقصودة منفعة على عقد
d. Menurut Hanabilah, ijarah ialah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal
ijarah .
هُمَا مَعْنَا فِيْ وَالْكَرَاءِ رَةِ جَا  لاا بِلَفْظِ تَنْعَقِدُ فِعِ الْمَنَا عَلَى عَقْدٌ وَهِيَ

2.      Menurut fiqih kontemporer
a.       Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’I berpendapat ijarah berarti upah mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah).[5]
b.      Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.[6]
c.       Undang undang sipil; Islam Kerajaan Uni Emirat Arab mendefinisikan ijarah sebagai berikut: “ ijarah atau sewa yaitu memberi penyewa kesempatan untuk mengambil pemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang telah disepakati bersama.[7]
d.      Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة  (menjual manfaat).
e.       Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian”.
f.       Menurut Syafi’I Antonio Al-ijarah adalah pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.[8]
g.      Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah  Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.[9]

B. Landasan Hukum Syariah
Adapun yang menjadi landasan hukum yang membolehkannya pembiayaan ijarah adalah :
1.      Al-Qur’an

·         Qs.Al-Zukhruf (43) : 32 :

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
·         QS.Al-Baqarah (2) : 233 :
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
·         QS.Al-Qashash (28) : 26:
 
salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

2.Hadits, Ijma dan Kaidah Fiqih
·         Hadits riwayat ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda :
عَرَقُهُ يَجِفَّ أَنْ قَبْلَ أَجْرَهُ الأَجِيرَ أَعْطُوا
Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
·         Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
أَجْرَهُ ا فَلْيُعْلِمْهُ أَجِيْرًا سْتَأْجَرَ مَنِ
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya”.
·         Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak”.
·         Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.( HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf )
·         Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
·         Kaidah fiqh:
يْمِهَا تَحْرِ عَلَى دَلِيْلٌ يَدُلَّ أَنْ إِلاَّ اْلإِبَاحَةُ الْمُعَامَلاَتِ فِي اَلأَصْلُ.
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

C. Rukun dan Syarat Sahnya Ijarah
a. Menurut fatwa DSN NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah, rukun dan syarat sahnya ijarah adalah :
Rukun :
1. Pernyataan ijab dan qabul.
2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, LKS), dan penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
3. Obyek kontrak: pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
4. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin.
5. Sighat Ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
Syarat ijarah :
1.Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut.
2.Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisahan,
3. Kegunaannya dari barang tersebut,
4. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’,
5.Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita.[10]

b.Menurut ulama fiqih klasik :
Rukun :
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’, dan al-ikra. Sedangkan menurut Ibnu Juzay dalam kitabnya Al-Qowanin Al-Fiqhiyah menerangkan tentang rukun ijarah, yakni : “Ijarah itu diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama, adapun rukun ijarah yakni:
1. Orang yang menyewa.
2. Orang Yang menyewakan. Dan disyaratkan  bagi keduanya sebagaimana disyaratkan dalam transaksi jual beli, dan dimakruhkan orang muslim menyewakan kepada orang kafir.
3.  Uang sewa .
4.  Adanya manfaat dari barang sewa tersebut. [11]

Syarat :
Syarat Ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
  1. Syarat Terjadinya Akad (al-inqad)
Syarat in’inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak diisyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz dipandang sah bila telah diizinkan walinya.[12]
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.[13]
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.[14]
2.      Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atas ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3.   Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:
a.       ‘aqid (orang yang ber akad)

·         Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan pada firman Allah SWT:
  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS.An-Nisa : 29)
Ijarah dapat dikategorikan jual-beli sebab mengandung unsur pertukaran harta.Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
b.      Ma’qud ‘Alaih (barang yang menjadi objek akad)

·         Bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud ‘alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid.
Diantaranya cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
Ø  Penjelasan manfaat
Penjelasan dilakukan agar benda yang disewakan  benar-benar jelas. Tidak sah mengatakan, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini”.



Ø  Penjelasan waktu
Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk membatasinya.[15]
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah  mensyaratkannya sebab bila tidak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak tahuan waktu yang wajib dipenuhi.[16]
Ø  Penjelasan jenis pekerjaan
Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
Ø  Penjelasan waktu kerja
Batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesempatan dalam akad.
·         Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syarat
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk berbicara dengan anaknnya, sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seorang perempuan sedang haid untuk membersihkan masjid sebab diharamkan syara’.
·         Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’.
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’, seperti menyewakan rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu dan lain-lain.
Para ulama sepakat melarang ijarah, baik benda atau pun orang untuk berbuat maksiat atau berbuat dosa.
·         Tidak menyewa utuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
Diantara contohnya adalah menyewa orang untuk sholat fardu, puasa dan laian-lain. Juga dilarang menyewa istri sendiri melayaninya sebab hal itu kewajiban si istri.
·         Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Juga tidak mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuknya atau tepungnya untuk dirinya. Hal itu didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Daruquthri bahwa Rosulullah Saw melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama’ Syafi’iyah menyepakatinya.  Ulama Hanabilah dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas sebab hadist diatas dipandang tidak shohih.
  •  Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.
c.        Syarat ujrah (upah)
Para ulama’ telah menetapkan syarat upah, yaitu:
  1. Berupa harta tetap yang dapat diketahui
  2. Tidak boleh sejenis dengan barang dan manfaat dari ijarah.
4. Syarat kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal sebagai berikut:
a. Ma’qud aliahi ( barang sewaan ) terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat dalam barang sewaan, menyewa boleh memilih antara, meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya.
b. Tidak ada unsur yang dapat membatalkan akad
Ulama hanafiah berpendapat bahwa ijarah batal karna adanya undzur sebab kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada udzur. Udzur yang dimaksud adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan kemudaratan bagi yang akad.
Menurut jumhur ulama’ ijarah adalah akad lazim seperti jual beli. Oleh karna itu, tidak bisa batal tanpa ada sebab yang membatalkannya. Menurut ulama’ Syafi’iyah, jika tidak ada udzur tetapi masih memungkinkan untuk mengganti dengan barang yang lain, ijarah tidak batal tetapi diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika kemanfaatannya betul-betul hilang, seperti hancurnya rumah yang disewakan.
D. Bentuk – Bentuk Ijarah
a.Ijarah sederhana
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.[17] Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah. Sedangkan akad ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan atas kinerja objek yang disewa. Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan obyek ijarah. Obyek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan. Tansaksi ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada obyek transasksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah obyek transaksinya dapat berupa barang namun dilandasi dengan pemindahan manfaat dan dapat pula berupa jasa.



b.Ijarah muntahiya bittamlik

 Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan penyewa. Sifat kepemilikan inilah yang membedakannya dengan ijarah biasa. Dalam  ijarah muntahiya bittamlik , pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
a.Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. 
b.Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) di Indonesia di atur dalam Fatwa DSN 27/DSN-MUI/III/2002: al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik, baik rukun dan syarat maupun penyelesaian sengketa IMBT mengikuti peraturan berlaku pada Fatwa DSN 09/DSN-MUI/IV/2000, ketentuan IMBT yang berbeda dengan ijarah biasa adalah :
·         Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
·         Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

E.Fatwa DSN tentang Ijarah dan IMBT

a.       Fatwa DSN 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ


Dewan Syariah Nasional setelah :

Menimbang:   a.Bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri;

b.Bahwa kebutuhan akan ijarah kini dapat dilayani oleh lembaga keuangan            syariah (LKS) melalui akad pembiayaan ijarah;
c.Bahwa agar akad tersebut sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang akad ijarah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat                   : Landasan hukum ( hal 5 )
Memperhatikan           : Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Kamis, tanggal 8 Muharram 1421 H./13 April 2000.
Menetapkan              : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN IJARAH
Pertama                      :  Rukun dan Syarat Ijarah: Lihat hal 7
Kedua                       : Ketentuan Obyek Ijarah:
1.    Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.    Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3.    Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
4.    Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
5.    Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6.    Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7.    Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam Ijarah.
8.    Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9.    Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga                       : Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi sewa:
a.    Menyediakan aset yang disewakan.
b.    Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c.    Menjaminan bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penyewa:
a.    Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai kontrak.
b.    Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (tidak materiil).
c.    Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat                    : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[18]
Ditetapkan di: Jakarta
Tanggal: 8 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M

b.Fatwa DSN 27/DSN-MUI/III/2002: al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik
Pertama: Ketentuan Umum:
Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
  2. Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
  3. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.

Kedua: Ketentuan tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik
  1. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
  2. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
Ketiga:
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di: Jakarta
Tanggal: 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M

      







BAB III
ANALISIS
A.    Analisis Pengertian
Dari berbagai definisi ijarah menurut berbagai pandangan ulama  diatas, baik itu ulama fiqih klasik maupun kontemporer bahwa pengertian ijarah kurang lebih yaitu ijarah adalah suatu kegiatan sewa menyewa barang atau upah mengupah jasa untuk memperoleh manfaat.

B.     Analisis Landasan Hukum
·        Qs.Al-Zukhruf (43) : 32 :
Ayat ini  dijadikan dasar bahwa pemanfaatan jasa atau skill orang lain adalah suatu keniscayaan kerena Allah menciptakan makhlukNya dengan potensi yang beraneka ragam agar mereka saling bermuamalah.
·        QS.Al-Baqarah (2) : 233 :
Apabila karena sebab kesulitan satu dan lain hal,  ibu dan ayah bersepakat untuk anaknya menyusu dari perempuan lain , maka hal tersebut dibolehkan dengan syarat pemberian pembayaran yang patut atas manfaat yang diberikan perempuan lain atau Ibu susu kepada bayi mereka. Kasus penyusuan ini menjadi dasar atas dibolehkannya mendapatkan pembayaran atas pekerjaan, manfaat atau jasa yang dilakukan kepada orang lain.
·        QS.Al-Qashash (28) : 26 :
Ayat ini merujuk kepada keabsahan kontrak ijarah. Ayat ini menggambarkan proses penyewaan jasa seseorang dan bagaimana pembayaran upah sewa itu dilakukan.
·        Hadits riwayat ibn Majah dari Ibnu Umar
Merupakan dalil lain diperbolehkanya akad ijarah, Hadits ini memerintahkan kepada penyewa untuk memberikan upah orang yang disewa sebelum kering keringatnya. Hadits ini memberikan sebuah etika dalam melakukan akad ijarah, yakni memberikan pembayaran upah secepat mungkin. Relevansinya dengan praktik kontrak ijarah pada saat sekarang adalah adanya keharusan untuk melakukan pembayaran uang sesuai dengan kesepakatan / batas waktu yang telah disepakati.

·        Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri
Hadits ini memerintahkan kita untuk mempertegas upah sewa kepada pihak yang kita sewa, kedua pihak yang bertransaksi harus menjelaskan hak dan kewajiban diantara keduanya untuk menghindari adanya perselisihan, dan guna memperjelas akad.
·        Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash
Hadits ini merujuk pada praktek akad ijarah yang dilakukan sahabat dizaman Rasulullah SAW. Pada awalnya, para sahabt melakukan akad ijarah dengan menyewakan perkebunan mereka, dengan upah sewa berupa hasil pertanian, kemudian Rasulullah SAW melarangnya, dan disuruh mengganti upah sewa dengan menggunakan emas/perak/uang.
·        Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf
Dalam Hadits ini merujuk kepada kebebasan untuk melakukan transaksi dan diperbolehkannya menetapkan beberapa syarat dalam transaksi sepanjang syarat tersebut tidak bertentangan dengan nash syar’i, kedua belah pihak diberikan kebebasan untuk menentukan syarat-syarat sepanjang tidak melanggar koridor yang telah disebutkan.
·        Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
Ulama pada zaman para sahabat sepakat akan kebolehan akad ijarah, hal ini didasari pada kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa tertentu seperti halnya kebutuhan akan barang.
·        Kaidah fiqih
a.Kaidah ini merujuk kepada prinsip bahwa semua muammalah itu pada dasarnya boleh kecuali ada dalil yang mengharamkanya. Dengan demikian akad ijarah adalah akad yang boleh karena tidak bertentangan dengan ketentuan syariah yang manapun seperti tidak mengandung gharar, dharar, maisyir, riba dan lain-lain.
b. Kaidah ini merujuk pada prinsip bahwa kita boleh melakukan sesuatu sepanjang tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan/bahaya), dan mampu mendatangkan maslahat. Jika memang akad ijarah bias mendatangkan maslahat bagi kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, dan bisa dihindarkan beberapa hal yang dapat menimbulkan kerusakan, maka akad ijarah bisa digunakan



C.Analisis rukun dan syarat
            Dari segi rukun dalam pandang ulama fiqih klasik memberikan beberapa hal yang harus dipenuhi,yaitu menurut hanafiyah harus adanya ijab dan qabul yang didalamnya terdapat unsur kejelasan mengenai sewa menyewa ,manfaat dari penggunaan asset, kejelasan pembayaran dan adanya kontrak, kemudian menurut Ibnu juzay dalam kitabnya menyatakan bahwa rukun yang harus dipenuhi yaitu adanya objek dan subjek, uang sewa dan manfaat dari barang sewa.
            Sedangkan menurut fatwa DSN tentang rukun ijarah adalah menurut penulis disini rukunnya kurang lebih saja dengan rukun yang terdapat dalam rukun ulama fiqih klasik, yaitu adanya ijab dan qabul, pihak-pihak yang ber akad, obyek kontrak, manfaat dari penggunaan asset dan sighat ijarah, ulama DSN juga berlandaskan Nash dan merujuk kepada pemikiran ulama klasik tentang rukun ijarah yang relevan dengan zaman sekarang.
            Sedangkan dari segi syarat menurut pandangan ulama kontemporer yang juga merujuk kepada syarat ulama fiqih klasik yaitu :
1.      Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut (ulama fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat al-inqad (terjadinya akad) (ulama fiqih klasik).
2.      Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisahan (ulama fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat sah ( ulama fiqih klasik).
3.      Kegunaannya dari barang tersebut (ulama fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat lazim ( ulama fiqih klasik).
4.      Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’(ulama fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat sah (ulama fiqih klasik).
5.      Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita (ulama fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat  sah dan lazim (ulama fiqih klasik).
          

D.Analisis Bentuk-Bentuk Ijarah
Dizaman Rasul belum dikenal dengan istilah ijarah muntahiya bittamlik tetapi hanya mengenal ijarah murni (ijarah) yaitu sewa menyewa yang tidak diikuti oleh pemindahan hak milik. Di zaman sekarang ini kebutuhan manusia yang semakin bertambah sehingga muncul aqad-aqad baru, termasuk dalam hal sewa-menyewa.
Karena kebutuhan tersebut, islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melakukan modifikasi-modifikasi yang diperlukan asalkan tidak melanggar prinsip-prinsi dasar muamalah serta membawa kemaslahatan kepada umatnya. Aqad ijarah berkembang pesat karena kebutuhan hidup manusia itu sendiri dan tidak semua orang mempunyai rumah, kenderaan, alat-alat rumah tangga dan lain-lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut dapat dilakukan dengan cara menyewa kepada orang lain dan berpindah kepemilikan diakhir akad, karena itulah ijarah mengalami perkembangan dan inovasi baru dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.




BAB IV
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari berbagai definisi ijarah menurut berbagai pandangan ulama  diatas, baik itu ulama fiqih klasik maupun kontemporer bahwa pengertian ijarah kurang lebih yaitu ijarah adalah suatu kegiatan sewa menyewa barang atau upah mengupah jasa untuk memperoleh manfaat. Landasan hukum atau rujukan ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah,  Al-Ijma’dan kaidah fiqih .Dari segi rukun dan syarat pun, rukun dan syarat ulama fiqih kontemporer juga yang terdapat dalam rukun dan syarat ulama fiqih klasik. Dari segi bentuk-bentuk ijarah, dizaman Rasul belum dikenal dengan istilah ijarah muntahiya bittamlik tetapi hanya mengenal ijarah murni (ijarah) yaitu sewa menyewa yang tidak diikuti oleh pemindahan hak milik.










DAFTAR PUSTAKA


Abi Ishaq Aasy-Syirazi, AL- Muhadzdzab, juz I.
Al-Kasani, Juz IV.
Al-Qowanin Al-Fiqhiyah : Ibnu Juzay, Darul Fikr.
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986.
Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis fiqih dan keuangan,                           (Jakarta) :2004.
Muhammad Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj Juz II.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta,        2000.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta :2001, Gema Insani),              cet-1.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung : PT. AL – Ma’arif, 1987)
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta,                   2004.
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press,2001),                hlm, 117.
Syamsuddin Abu Abdillah, Terjemah FHATHUL QARIB,(Surabaya : CM Grafika, 2010)
Syarh Al-Kabir li Dardir, juz IV.



[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung : PT. AL – Ma’arif, 1987) hlm. 7.
[2] Syamsuddin Abu Abdillah, Terjemah FHATHUL QARIB,(Surabaya : CM Grafika, 2010) hlm. 209.
[3] Sayyid Sabiq, Op.Cit,...hlm. 9.
[4] Muhammad Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj Juz II, hlm. 332
[5] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986, hlm. 139
[6] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 203
[7] Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm 34
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta :2001, Gema Insani), cet-1, hml. 117
[9] Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta) :2004.
[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung : PT. AL – Ma’arif, 1987) hlm. 12-13.
[11] Al-Qowanin Al-Fiqhiyah : Ibnu Juzay, Darul Fikr. Hal : 236
[12] Al-Kasani, Juz IV, hlm. 176
[13] Syarh Al-Kabir li Dardir, juz IV, hlm.3
[14] Muhammad Asy Syarbini., juz II, hlm. 332
[15] Muhammas Asy-Syarbini, juz II. hlm. 349
[16] Abi Ishaq Aasy-Syirazi, AL- Muhadzdzab, juz I. Hlm 396
[17] Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press,2001), hlm, 117.

1 komentar:

Laporan Keuangan Koperasi

  apa itu laporan keuangan ??? Laporan keuangan  sangat penting bagi koperasi. Laporan ini merupakan hal yang terkait dengan berjalannya k...