SYAIFURRAHMAN
Abstract
Basicly
Musyarakah in fiqh muamalah is agreement of trust (amanah), which
each of partners be rialiable with their own partner that have agreement with
them, then in agreement of musyarakah each of partners do not allowed to
ask for assurance to other partners. In other hand, in the banking word within
the facility of musyarakah finance, the bank requires an assurance which
is given by the clients when they propose the finance of musyarakah. So,
there problems of how the procedure and assurance function in musyarakah
finance in the bank. This research uses field research method by directly
interviews the authorities of PT Bank Kalsel Syariah Banjarmasin Branch.
The
result of the procedure of musyarakah finance which is given by PT Bank
Kalsel Syariah Banjarmasin Branch is a
coorperation agreement between the bank and the clients where each of partners
gives the contribution of fund and work in undertaking productive business. The
profit result divide based on nisbah that has been agreed and one of the
partners can ask the more pofit based on their works and the loss devides
proportionally based on the fund that had been deposited by each of partners.
The client is asked to include the additional material wealth assurance that
worth of the price as a serious prove and responsible reflection of the clients
to undertake a coopertion and also as bank media in undertaking the principle
of carefulness in giving the finance.
1. Pendahuluan
Perbankan
syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum
Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk memungut maupun
meminjam dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan berinvestasi dalam
usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak Islami (haram).
Sebagai lebaga intermediary keuangan, bank syariah memiliki kegiatan
utama berupa penghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya
kembali kepada masyarakat.[1]
Bank
syariah menyalurkan dana demi menggerakkan roda ekonomi dalam bentuk
pembiayaan. Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan
oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan, dengan kata lain pembiayaan adalah yang dikeluarkan untuk
mendukung investasi yang direncanakan. Bank syariah membiayai setiap usaha
produktif atau ide kreatif dan memiliki prospek bagus para pengusaha atau calon
pengusaha dalam bentuk kerjasama.[2]
Salah
satu produk pembaiayaan usaha produktif oleh bank syariah adalah musyarakah.
Musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kejasama antara dua pihak atau
lebih untuk menjalankan usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. [3]
Bank syariah bekerja
dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank syariah atas dasar
kepercayaan, serta mempunyai posisi yang sangat strategis bagi penyelenggaraan
negara, maka setiap bank selalu menjaga kesehatan dirinya yang merupakan suatu
konsekuensi guna mendukung terciptanya perbankan yang sehat. Ketentuan
perundangundangan yang demikian merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum
kepada bank syariah. Pada tahap awal pelaksanaan operasionalnya mutlak
diterapkan prinsip prudential banking terhadap tumbuh dan berkembangnya setiap
bank syariah di Indonesia. Landasan diterapkannya prinsip prudential banking
adalah Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, yaitu:
a.
Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas
kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh
kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana
kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
b.
Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima
Fasilitas.[4]
Pembebanan jaminan
kepada nasabah debitur tersebut, juga berlaku pada Bank Kal-Sel Syariah cabang
Banjarmasin. Bank Kal-Sel Syariah cabang Banjarmasin berkantor di Jl. S. Parman
Banjarmasin. Bank Kal-Sel Syariah cabang Banjarmasin membebankan jaminan kepada
nasabah debitur karena merasa sulit mencari nasabah debitur yang benar-benar
bisa jujur. Selain hal tersebut, pembebanan tersebut dilakukan guna mengurangi
risiko sesuai dengan ketentuan dana perbankan.
Tujuan
dari pembebanan jaminan terhadap nasabah kreditur sebagaimana penjelasan yang
terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
menyatakan sebagai berikut: “Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank
harus memperhatikan asas-asas pengkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan
dan kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek
usaha dari Nasabah debitur”. [5]
Begitu
juga pada Penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 23 UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, menegaskan bahwa “Penyaluran dana berdasarkan
Prinsip Syariah oleh Bank Syariah dan
UUS mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga
dapat berpengaruh terhadap kesehatan Bank Syariah dan UUS”. Untuk itu dan/atau
UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima
Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah
dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas. Dan untuk
memperoleh keyakinan tersebut. Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan
penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas”.[6]
Berdasarkan
Penjelasan yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 dan Pasal 37
ayat (1) serta Pasal 23 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, memberikan pengertian bahwa jaminan yang dibebankan kepada nasabah
debitur adalah untuk melindungi kepentingan bank syariah selaku kreditor dari
ancaman kerugian. Bank syariah tidak ingin rugi bila memberikan dana
pembiayaannya kepada nasabah debitur, padahal kebersamaan dalam musyarakah baik
untung maupun rugi dijunjung tinggi dan di sisi lain bahwa kedudukan syarik
adalah sejajar, namun kenyataannya nasabah debitur yang menanggung kerugian
dari usaha bersama dan bank syariah enggan melaksanakan hal yang sama dengan
nasabah.
Akad dalam
pembiayaan Al Musyarakah adalah akad kepercayaan, di mana akad ini berdasarkan amanah dan wakalah (perwakilan),
masing-masing mitra menjadi seorang amin (terpercaya) bagi mitra lain yang
berakad dengannya, sementara itu harta dalam perserikatan adalah merupakan
amanat, maka dalam pembiayaan Al Musyarakah masing-masing mitra tidak
diperkenankan meminta adanya jaminan dari pihak yang lain. Adanya syarat
jaminan atas salah satu mitra dianggap tidak berlaku.
Jaminan erat
kaitannya dengan masalah hutang-piutang sedangkan dalam musyarakah bukanlah
masalah hutang piutang melainkan tentang kerjasama dalam bentuk musyarakah yang
mana para pihak memasukkan sesuatu (inbreng) yang dijadikan sebagai modal
bersama untuk menjalankan suatu usaha bersama yang tidak bertentangan dengan
Al-Qur`an dan Hadits. Menurut hukum positif Indonesia, jaminan adalah sesuatu
yang diberikan kepada kreditor yang diserahkan oleh debitur untuk menjamin
bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang
timbul dari suatu perikatan.[7]
Fatwa DSN No.
08/DSN-MUI/IV/2000 menyebutkan bahwa dalam pembiayaan Al Musyarakah pada
prinsipnya tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan
oleh nasabah (syarik), bank syariah boleh meminta jaminan. Berlandaskan fatwa
tersebut, dalam pembiayaan Musyarakah kedudukan jaminan hanya sebagai bentuk
kehati-hatian (penerapan prudential
banking principle) bukan merupakan syarat mutlak dalam penentuan pemberian
pembiayaan Al Musyarakah oleh pihak bank syariah, namun kenyataannya bank
syariah selalu mengharuskan adanya jaminan kepada nasabah dalam setiap
pembiayaan Al Musyarakah. Keberadaan jaminan sebagai bentuk kehati-hatian
menjadi hal yang mutlak harus ada yang harus disediakan oleh pihak nasabah
debitur.
Berdasarkan uraian
tersebut timbullah beberapa permasalahan yang dirumuskan, yaitu bagaimana
prosedur pembiayaan musyarakah dan fungsi jaminan pada PT Bank Kalsel Syariah
Cabang Banjarmasin.
2.
Metode Penelitian
Dalam peneltian ini,
peneliti menggunakan metode penelitian lapangan (field research), yaitu
dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak berwenang di PT Bank Kalsel Syariah
Cabang Banjarmasin.
3.
Beberapa Ketentuan Tentang Pembiayaan Musyarakah
3.1
Musyarakah
3.1.1
Pengertian Musyarkah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.[8]
Dalam Musyarakah, keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindari perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau
penghentian musyarakah.
Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara
proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan
diawal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Seorang boleh mengusulkan jika
keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan
kepadanya. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
Kerugian modal dibagi sesuai dengan presentase modal masing-masing.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pembiayaan
musyarakah dilakukan oleh dua orang pemilik modal atau lebih untuk menjalankan
suatu proyek. Semua pihak berhak ikut serta dalam manajemen proyek. Proporsi
pembagian laba tidak harus sebanding dengan persentase penyertaan modal, karena
pada prinsipnya penyertaan tidak hanya modal tetapi juga keahlian dan waktu.
Apabila terjadi kerugian masing-masing pihak bertanggung jawab sesuai proporsi
modal masing-masing.
3.1.2
Landasan Hukum Musyarakah
a.
Al-Qur’an
Firman Allah QS. Shad (38): 24 :
. . . وَ إِنَّ
كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلاَّ
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مّا هُمْ . . .
. . .
. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian
mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini".
. .[9]
b.
Hadits
Hadits riwayat Abu Daud
dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW, Berkata :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ٬ قَالَ اللهُ
تَعَالى: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ,
فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمأ. (رواه أبوداود وصحّحه الحاكم)
Allah SWT.
berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama
salah-satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah-satu pihak
telah berkhianat, Aku keluar dari mereka”. (HR. Abu Dawud, yang dishahihkan
oleh al Hakim dari Abu Hurairah)”.[10]
c.
Kaidah Fiqh
الأَصْلُ فِى
الْمُعَامَلَاتِ الإِبَاحَةُ إِلَّا أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلى تَحْرِيْمِهَا
Pada dasarnya sega macam
bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.[11]
d.
Hukum Positif
Musyarakah adalah
kemitraan antara bank dan nasabah untuk bersama-sama memberikan modal dengan
cara membeli saham untuk membiayai suatu investasi.[12]
Musyarakah merupakan pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai kesepakatan. Dasar hukum musyarakah berdasarkan UU No. 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah dan Fatwa DSN No.8.DSN-MUI/IV/2000.
Secara teknis pembiayaan
musyarakah ini diataur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No. 6/24/PBI/2004
Tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
yang pada intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan
prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha yang meliputi penyaluran
dana yang menggunakan prinsip bagi hasil berdasarkan akad musyarakah.[13]
Sebagai landasan hukum
akad pembiayaan musyarakah antara lain adalah Pasal 19 ayat (1) huruf c dan
ayat (2) huruf c serta Pasal 21 huruf b angka 1 UU Perbankan Syariah, Fatwa
Dewan Syariah Nasional No.8.DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan
PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan
Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya PBI No. 9/19/PBI/2007
tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah berikut perubahannya dengan
PBI No. 10/16/PBI/2008.[14]
3.1.3
Jenis-jenis Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis yaitu musyarakah pemilikan dan
musyawarah akad (kontrak). Dalam musyarakah ini, pemilik dua orang atau lebih
berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang
dihasilkan aset tersebut.[15]
a.
Serikat Amlak
Syirkatul-amla>k (Pemilikan) berarti
eksistensi suatu perkongsian tidak perlu kepada suatu kontrak membentuknya
tetapi terjadi dengan sendirinya.[16]
Bentuk Syirkatul-amla>k ini terbagi menjadi Amla>kul-jabr, Terjadinya suatu
perkongsian secara otomatis dan paksa. Otomatis berarti tidak memerlukan
kontrak untuk membentuknya, dan Amla>kul-ikhtiya>r, Terjadinya perkongsian
secara otomatis tetapi bebas. Otomatis seperti pengertian di atas: Adanya
pilihan/option untuk menolak.[17]
b.
Syirkah Uqud
Syirkatul-‘uqu>d berarti perkongsian yang terbentuk karena suatu kontrak,
syirkah ini terbagi kepada lima jenis, yaitu Syirkatul-‘ina>n, Syirkatul-mufawwa«ah,
Syirkatul-‘abda>n atau ‘Amal,
Syirkatul-wuju>h, dan Mu«arabah.[18]
Dalam Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, menyebutkan:
. والشركة بالجملة عند فقهاء الأمصار على أربعة
أنواعٍ: شركة العنان٬ شركة الأبدان٬ شركة المفاوضة٬ وشركة
الوجوه[19].
secara garis besar – menurut fuqaha Amshar – serikat (persekutuan/perseroan)
itu dibagi menjadi empat macam: serikat ‘ina>n, serikat abdan,
serikat mufawwadah, dan serikat wuju>h.[20]
3.1.4
Syarat dan Rukun Musyarakah
a.
Rukun
Rukun dari akad pembiayaan
musyarakah ada beberapa, yaitu : Pelaku
akad, Objek akad, Ijab dan Qabul. [21]
b.
Syarat
Dalam buku Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan, terdapat dua syarat dalam syirakah,
yaitu :
1)
Syarat Umum
sebagaimana disebutkan dalam Fiqih Islam Wa
Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili menyebutkan :
Disyaratkan untuk sahnya serikat
uqud dengan beberapa syarat :
1. Bisa diwakilkan. Pekerjaan yang menjadi objek akad
syirkah harus bisa diwakilkan, karena di antara ketentuan syirkah adalah adanya
persekutuan dalam keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan. Dan keuntungan
perdagangan tidak akan menjadi hak milik bersama, kecuali jika masing-masing
pihak bersedia menjadi wakil bagi mitranya dalam mengelola sebagian harta
syirkah, dan bekerja untuk dirinya sendiri atas sebagian harta syirkah lain.
2.
Jumlah
keuntungan yang dihasilkan hendaknya jelas. Dengan kata lain, bagian keuntungan
tiap-tiap mitra harus jelas, seperti seperlima, sepertiga, atau seper sepuluh
persen. Jika keuntungannya tidak jelas, maka akad syirkah menjadi tidak sah,
karena keuntungan itulah yang menjadi objek transaksi, dan tidak jelasnya objek
akan merusak akad.
3.
Bagian
keuntungan yang diberikan hendaknya tidak dapat terbedakan dan tidak tertentu.
Jika keduanya menentukan keuntungan tertentu untuk salah satu pihak, seperti
sepuluh atau seratus, maka syirkah tersebut batal atau tidak sah. Pasalnya
transaksi syirkah mengharuskan persekutuan dalam keuntungan, karena bisa saja
keuntungan itu tidak tercapai kecuali sesuai dengan keuntungan salah satu
mitra. Oleh karena itu penentuan bagian keuntungan dalam jumlah tertentu adalah
bertentangan dengan konsekuensi akad syirkah.[22]
2)
Syarat Khusus
1.
Modal syirkah hendaknya nyata, baik saat akad maupun saat
membeli.
2.
Modal syirkah hendaknya berupa barang berharga secara
mutlak, yaitu uang, seperti dirham dan dinar di masa lalu atau mata uang yang
tersebar luas sekarang di masa modern.[23]
3.2
Jaminan
3.2.1
Pengertian
Jaminan
Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, jaminan berasal dari kata jamin yang artinya menanggung. Jaminan
adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima (brog) atau garansi atau janji seseorang untuk menanggung utang atau
kewajiban tersebut tidak terpenuhi.[24]
Istilah jaminan merupakan
terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu zekerheid
atau cautie. Zekerheid atau cautie
mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya
disamping pertanggung-jawaban debitur terhadap barang-barangnya.[25]
3.2.2
Jaminan
Menurut KUH Perdata
Di Indonesia telah diatur
mengenai hukum jaminan. Pengaturan hukum positif tentang jaminan terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1150-1161.
Jaminan merupakan
perjanjian yang bersifat accesoir
yaitu perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.[26]
Perjanjian pokok dari jaminan adalah perjanjian pemberian kredit atau
pembiayaan. Perjanjian terbagi menjadi
dua jenis, yaitu Jaminan Materiil
(Kebendaan) dan Jaminan Immateriil (Perorangan). [27]
3.2.3
Jaminan
Menurut Hukum Islam
Jaminan dalam hukum Islam
dekenal dengan A«-¬aman.
Perkataan “«aman” itu keluar dari
masdar «immu yang berarti menghendaki untuk ditanggung. ¬aman menurut pengertian etimologis atau lugat ialah menjamin atau menyanggupi apa yang ada dalam tanggungan
orang lain. Yang semakna dengan «aman adalah kata kafa>lah. Dalam kamus istilah fiqih disebutkan pengertian «aman adalah jaminan utang atau
dalam hal lain menghadirkan seseorang atau barang ketempat tertentu untuk
diminta pertanggungjawabannya atau sebagai jaminan.[28]
Selain «aman dan kafa>lah dalam hukum Islam
dikenal juga degan istilah rahn, yaitu berarti £ubu>t dan dawa>m yaitu tetap dan lestari. Secara Syara’, rahn adalah
menyandera sejumlah harta yang diberikan sebagai jaminan secara hak, tetapi
dapat diambil kembali sebagai tebusan.[29]
3.2.4
Fungsi Jaminan
Jaminan memiliki fungsi antara lain :
a.
Jaminan berupa watak, kemampuan, dan prospek usaha yang
dimiliki debitur merupakan jaminan imateriel yang berfungsi sebagai first
way out. Dengan jaminan imateriel tersebut, debitur diharapkan dapat
mengelola modal dan perusahaannya dengan baik sehingga memperoleh pendapatan (revenue)
bisnis guna melunasi pembiayaan yang telah diterimanya dari bank syariah/UUS
sesuai dengan akad pembiayaan.[30]
b.
Jaminan pembiayaan berupa agunan yang bersifat
materiel/kebendaan sebagai second way out. Sebagai second way out,
pelaksanaan penjualan agunan (eksekusi) baru dilakukan apabila debitur gagal
(wanprestasi) atau macet dalam pelunasan/pembayaran kembali pembiayaan melalui first
out way.[31]
c.
Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi
untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggal usaha atau
proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau
sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.[32]
d.
Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi
janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat
yang telah disetujui agar debitur dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak
kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.[33]
4.
Penyajian
dan Analisis Data
4.1.
Penyajian Data
4.1.1.
Prosedur Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Kalsel Syariah
Cabang Banjarmasin.
Bank Kalsel Syariah Cabang
Banjarmasin menyediakan fasilitas pembiayaan musyarakah bagi nasabah. Untuk
memperoleh pembiayaan musyarakah tersebut, terdapat prosedur yang mengatur agar
pembiayaan dapat terlaksana dengan lancar.
Berdasarkan penuturan staff maketing bank
Kalsel syariah dalam wawancara,Pada saat nasabah mengajukan permohonan
pembiayaan musyarakah, pihak bank Kalsel syariah cabang Banjarmasin menayakan
lebih dahulu, apakah nasabah sudah mempunyai rekening bank Kalsel syariah. Jika
ternyata nasabah belum memiliki rekening, maka nasabah diwajibkan untuk membuka
rekening tabungan dengan cara mengisi blangko pembukaan rekening tabungan yang
telah disediakan oleh bank Kalsel syariah. Setelah mengisi blangko pembukaan
rekening tabungan, nasabah diminta untuk melampirkan fotokopi KTP (kartu tanda
penduduk) dan dikenakan setoran awal sebesar Rp. 50.000,00-.[34]
Setelah nasabah resmi menjadi nasabah Bank
Kalsel Syariah, nasabah akan mendapatkan nomor dan buku rekening tabungan.
Setelah itu barulah permohonan pembiayaan musyarakah dapat diajukan dengan
syarat-syarat sebagai berikut :
·
Mengisi formulir
permohonan pembiayaan,
·
Menyerahkan daftar
penghasilan, pendapatan yang diperoleh rata-rata perbulan,
·
Menyerahkan photocopy
(KTP/SIM/PASPOR),
·
Menyerahkan agunan
tambahan,
·
Copy Dokumen
perusahaan seperti: TDP, SIUP, SITU, NPWP.[35]
Setelah pihak bank menerima surat permohonan
pembiayaan dari calon nasabah pembiayaan yang telah dilengkapi dengan
dokumen-dokumen yang diperlukan, maka selanjutnya Acount Officer (AO)
Melakukan Survey/kunjungan untuk melihat kondisi usaha nasabah, kemudian AO
melukan anaalisis aspek yuridis. Setelah itu dilakukan analisis pembiayaan.
Analaisis dilakukan oleh AO dengan dua metode, metode yang di dalamnya
terkandung unsure 6 C (character, capacity, capital, cash flow, condition,
dan collateral),[36]
metode tersebut adalah :[37]
a.
Analisa kualitatif
Analisa Kualitatif adalah analisa terhadap
keauan bayar calon nasabah penerima pembiayaan, yang terdiri dari :
1)
Penilaian terhadap karakter (character)
Untuk membaca watak atau sifat dari nasabah,
dapat dilakukan dengan melihat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat
pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga,
hobi dan jiwa sosial. Dari sifat dan watak ini dapat menjadi ukuran tentang
kemauan nasabah untuk membayar.[38]
2)
Penilaian terhadap integritas
Penilaian dilakukan dengan cara menganalisis
kemauan nasabah dalam mengelola bisnis. Kemauan ini dihubungkan dengan
latarbelakang pendidikan dan pengalamannya selama ini dalam mengelola usahanya,
shingga akan terlihat “kemauannya” dalam pengembalian modal.[39]
b.
Analisis kuantitatif
Analisis kuantitatif adalah analisi terhadap
“kemampuan bayar” calon nasabah penerima pembiayaan, yang terdiri dari :[40]
1)
Kelayakan usaha (condition)
Penilaian terhadap kelayakan usaha adalah
dengan memproyeksikan usaha tersebut membutuhkan dana berapa banyak dan dapat
memberikan keuntungan seberapa besar. Dengan memperkirakan seluruh biaya selama
pembiayaan berlangsung, maka akan dapat diketahui berapa keuntungan yang
diperoleh sehingga permohonan pembiayaan tersebut dapat disetujui.[41]
Penilaian juga dilakukan dengan menilai
kondisi/keadaan ekonomi, sosial dan politik yang ada sekarang dan prediksi
untuk masa yang akan datang. Penilaian kondisi atau prospek bidang usaha yang
dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik sehingga kemungkinan
pembiayaan tersebut bermasalah relatif kecil.[42]
2)
Repayment capacity
Repayment capacity dapat
dilihat dari cash flow (aliran kas) pada calon nasabah pembiayaan yaitu
dengan melihat rekenig tabungannya 6 bulan terakhir, rekening listriknya dan
rekening telpon.[43]
Analisis terhadap nasabah telah dilakukan oleh acount
officer yang kemudian kepada manajer. Untuk tahap selanjutnya adalah
pengajuan pembiayaan kepada komite Bank Kalsel Syariah untuk memperoleh
persetujuan apakah pembiayaan tersebut dapat disetujui atau ditolak.
Komite pembiayaan menerima dan mempertimbangkan
data permohonan pembiayaan musyarakah yang diajukan oleh nasabah, kemudian
memutuskan, apabila pembiayaan tersebut layak, maka pembiayaan tersebut
disetujui dan dapat dilakukan. Persetujuanpun diterangkan dalam Surat
Persetujuan Prinsip Pembiayaan (SP3) yang kemudian ditanda tangani oleh manajer
dan pemohon.[44]
Pengikatan dilakukan dengan membuat surat
perjanjian akad pembiayaan musyarakah dengan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Bank Kalsel Syariah, yang selanjutnya ditanda tangani oleh
pihak-pihak Bank Kalsel Syariah dan nasabah pemohon. Dengan demikian kedua
belah pihak, Baik bank maupun nasabah telah terikat untuk melaksanakan
kewajiban mereka masing-masing selaku mitra dalam akad tersebut.[45]
Setelah Surat Perjanjian Akad Musyarakah
ditanda tangani, maka dilakukan serah terima jaminan dari nasabah kepada pihak
bank. Serah terima jaminan tertuang dalam Surat Form Berita Acara Serah Terima
Jaminan yang ditanda tangani oleh nasabah pembiayaan dan manajer Bank Kalsel
Syariah Cabang Banjarmasin. Namun apabila pembaiayaan ditolak, maka pihak bank
akan memberitahukan alasan mengapa pembiayaan itu ditolak. Bank akan
mengembalikan seluruh data dan dokumen yang telah diserahkan oleh pemohon.[46]
Langkah selanjutnya adalah pencairan dana yang dilakukan di bagian
keuangan atau teller. Pencairan dana dilakukan segera setelah surat
persetujuan ditanda tangani.[47]
4.1.2.
Penerapan
Jaminan Dalam Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan musyarakah adalah salah satu produk
pembiayaan yang disalurkan oleh PT Bank Klasel Syariah Cabang Banjarmasin
kepada pihak lain untuk melakukan usaha produktif. Dalam pembiayaan ini pihak
bank dan nasabah berlaku sebagai syarik (orang yang berserikat/mitra)
dimana masing-masing pihak telah memiliki modal masing-masing yang akan
digabung dalam suatu proyek usaha produktif.
Untuk menjalankan pembiayaan musyarakah yang
diadakan oleh PT Bank Kalsel Syariah, pihak bank memiliki ketentuan khusus
mengenai pembiayaan musyarakah. Dalam proses pengajuan pembiayaan yang
dilakukan oleh nasabah, terdapat salah satu syarat tambahan. Syarat tambahan
itu adalah nasabah diminta untuk menyertakan jaminan, jaminan tersebut berupa
barang yang tidak bergerak dan barang bergerak sebagai tambahan pabila barang
yang tidak bergerak tersebut tidak mencukupi nilai jaminan yang telah
ditetapkan oleh pihak bank, yaitu minimal 125% dari nilai pembiayaan.[48]
Jaminan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko
pembiayaan, setiap pembiayaan yang dilakukan oleh pihak PT Bank Kalsel Syariah
Cabang Banjarmasin haruslah memenuhi prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan
itu maka setiap pembiayaan yang diberikan dapat mepersyaratkan jaminan,
termasuk pembiayaan musyarakah.
Jaminan terbagi dua, yaitu :[49]
a.
Jaminan utama, jaminan utama
dalam pembiayaan musyarakah ini ialah adalah kelayakan dan prospek usaha.
b.
Jaminan tambahan, jaminan ini
berupa tanah dan bangunan (SHM/HGB/HGU/AJB), kendaraan roda dua dan roda empat
(BPKB).
Meskipun hanya sebagai syarat tambahan, namun
syarat ini yang menentukan apakah pembiayaan musyarakah dapat dilanjutkan atau
dibatalkan. Alasan pihak bank meminta jaminan adalah karena pada zaman
sekarang, adalah moral nasabah yang tidak dapat diperkirakan. Alasan lainnya
adalah agar nasabah memiliki tanggung jawab terhadap pembiayaan yang
diajukannya. Dengan mencantumkan jaminan maka nasabah diharapkan tidak
main-main dalam menjalankan usaha.[50]
Jaminan yang diserahkan kepada bank hanya
berupa surat-surat bukti kepemilikan saja (secara fidusia), bukan bentuk
barangnya yang diserahkan kepada bank. Barang tersebut masih dapat digunakan
oleh nasabah dalam kehidupan sehari-hari. Surat-surat tersebut kemudian
diamankan oleh pihak bank sebagai perlindungan terhadap dananya yang sedang dimusyarakahkan.
Jika perjanjian tersebut telah selesai, maka secara otomatis jaminan akan
dikembalikan kepada nasabah.[51]
Jika ternyata dalam masa perjanjian musyarakah
tersebut nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pihak bank akan
meneliti apa penyebab terjadinya hal tersebut. Jika diketahui bahwa kendala
yang dihadapi dalam menjalankan usaha tersebut adalah bukan akibat kelalaian
nasabah, melainkan akibat dari kondisi perekonomian yang terjadi atau force
majeur maka pihak bank akan memberikan kebijakan dengan cara me-rescedule
(penjadwalan ulang) pembiayaan. Yaitu dengan cara mendata seluruh jumlah
pembiayaan yang telah dikembalikan oleh nasabah yang kemudian akan didapat sisa
pembiayaan yang belum dibayar yang dalam kondisi macet. Jumlah yang telah
dibayarkan kepada bank telah dianggap lunas. Dan kemudian bank memberikan tempo
kembali terhadap jumlah pembiayaan tersebut. Tujuan dari reschedule
adalah untuk memperkecil jumlah angsuran, sehingga diharapkan bahwa nasabah
dapat membayar angsuran dengan jumlah lebih kecil yang pada akhirnya dapat
menyelesaikan pelunasan pembiayaannya.[52]
Dalam pembiayaan musyarakah ini, pihak bank
juga akan mengasuransikan usaha yang akan dijalankan nasabah, guna
melindunginya dari hal-hal yang tak terduga.[53]
Itikad baik nasabah akan terbaca pada saat nasabah
mengalami suatu kendala dalam pembiayaan. Jika dari jadwal yang disepakati
nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut, dan nasabah tidak cepat
melapor kepada pihak bank, maka pihak bank akan menunggu selama periode
tertentu dan nasabah akan diberikan SPKT (surat pemberitahuan keterangan
terlambat). SKPT berisi tentang pemberitahuan kepada nasabah telah mengalami
keterlambatan dalam pembayaran kewajibannya sesuai waktu yang tertera dalam
SKPT. Kemudian dalam tenggang waktu tiga bulan berikutnya nasabah belum juga
memenuhi kewajibannya, maka pihak bank akan mengeluarkan SP (surat peringatan)
pertama. Dalam SP 1 pihak bank masih bertindak memperingatkan nasabah mengenai
jumlah kewajibannya, dan bank masih memberikan tenggang waktu kepada nasabah.
Hal ini tetap berlangsung sampai SP ketiga dengan tenggang waktu per-tiga bulan
dalam tiap kali SP. Jika belum ada itikad baik dari nasabah dalam tiga kali SP,
maka bank akan menerbitkan SP keras, yaitu peringatan keras bahwa nasabah belum
memenuhi kewajibannya. Berikutnya bank akan memanggil nasabah jika belum ada
tanggapan mengenai pertanggung jawaban kewajibannya tersebut untuk mengeksekusi
jaminan guna penyelesaian pembiayaan musyarakahnya yang bermasalah.[54]
Sebelum pengeksekusian barang jaminan, pihak bank
memberi pilhan kepada nasabah apakah barang jaminan tersebut akan dijual
sendiri oleh nasabah atau dilakukan oleh pihak bank. Barang jaminan yang
dieksekusi oleh pihak bank diserahkan kepada lembaga lelang untuk kemudian
dieksekusi. Hasil dari penjualan barang jaminan tersebut diserahkan kepada
pihak bank untuk pengembalian modal yang digunakan dalam pembiayaan musyarakah.
Jika terdapat kelebihan pada harga barang jaminan milik nasabah, maka pihak
bank akan mengembalikannya kepada nasabah. Perlu diketahui, bahwa seluruh biaya
pelaksanaan eksekusi jaminan adalah tanggung jawab nasabah.[55]
Dalam pembiayaan musyarakah, pihak PT Bank
Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin telah mempertimbangkan usaha yang akan
dijalankan oleh nasabah sehingga bank telah memiliki gambaran mengenai kinerja
dan keuntungan yang akan diterimanya. Bank hanya menyetujui kegiatan musyarakah
yang benar-benar memiliki prospek usaha sehingga resiko pembiayaan bermasalah
sangat kecil.
4.1.3.
Fungsi
Jaminan Dalam Pembiayaan Musyarakah
Penyaluran dana oleh Bank Syariah bersumber
dari dana mayarakat yang disimpan pada Bank Kalsel dan UUS. Sementara itu,
berdasarkan Statistik Perbankan Syariah per Desember 2011, rasio dana
masyarakat yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan oleh perbankan syariah
mencapai 91,41%. Karena itu itu risiko yang dihadapi Bank Syariah dan UUS dalam
penyaluran dana akan berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat yang
disimpan pada bank tersebut.[56]
Pembiayaan musyarakah ialah salah satu produk
penyaluran dana yang disediakan oleh PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin.
Penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah mengandung risiko kegagalan atau
kemacetan dalam pengembalian dananya sehingga dapat berpengaruh terhadap
kesehatan bank.
Untuk menjaga kesehatan bank, maka dalam pembiayaan
yang diberikan oleh PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, pihak bank akan
menilai jaminan yang diberikan oleh nasabah, apakah nilai jaminan tersebut
setara dengan jumlah modal yang diberikan oleh bank kepada nasabah. Sebagaimana
disebutkan oleh staff marketing PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin,
minimal nilai jaminan tersebut adalah 125% dari jumlah modal yang akan
diberikan. Selain itu juga, dengan adanya jaminan yang disediakan oleh nasabah
sebagai salah satu persyartan pengajuan pembiayaan tersebut ialah untuk
memperkuat kenyakinan pihak bank bahwa nasabah benar-benar/tidak main-main
dalam menjalankan usaha yang akan dijalankan.[57]
4.2. Analisis
Data
4.2.1.
Analisis Prosedur Pembiayaan Musyarakah Pada
PT. Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin.
Prosedur pembiayaan musyarakah menurut kajian
fikih muamalah yang telah diterangkan pada bab sebelumnya dengan lengkap dan
jelas. Pembiayaan musyarakah yang diterapkan pada PT. Bank Kalsel Syariah
Cabang Banjarmasin telah sesuai dengan sistem kerjasama yang dikenal dalam
islam dengan istilah musyarakah. Tidak terdapat hal yang menyeleweng dalam
pembiayaan musyarakah menurut syariat islam dengan yang diterapkan oleh PT.
Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin.
Kesesuaian tersebut terlihat dari pengertian
musyarakah. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan. Dalam fasilitas pembiayaan musyarakah yang diberikan
oleh PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, penerapan akad tersebut telah
sesuai dengan pengertiannya, yaitu kerjasama antara pihak bank dan nasabah
untuk menjalankan suatu usaha tertentu.
Dilihat dari rukun musyarakah, yaitu adanya
pelaku akad, objek akad, dan ijab kabul, sangat terlihat jelas bahwa pihak bank
dan nasabah berlaku sebagai pelaku akad. mengenai objek akad, yaitu (1) modal,
ketentuan modal diantaranya adalah, modal yang diberikan harus uang tunai,
emas, perak, atau yang bernilai sama, serta modal dapat terdiri dari aset
perdagangan, seperti barang, property, dan sebagainya. (2) Kerja, dimana
dalam menjalankan usaha tersebut masing-masing pihak ikut bekerja menurut
porsinya masing-masing, meskipun kadar kerjanya tidak sama dan dalam kerja bisa
diwakilkan oleh partner/pihak yang lain, (3) pembagian keuntungan dan kerugian,
dalam menjalankan usaha salah satu pihak boleh meminta keuntungan yang lebih
sesuai dengan porsi kerjanya dan pembagian kerugian dibagi secara proporsional
menurut modal yang disetorkan oleh masing-masing pihak.[58]
Objek akad tersebut telah tertuang jelas dalam perjanjia akad dan disepakati
bersama antara bank dan nasabah sebagai mitra kerja ketika pelaksanaan Ijab
Kabul.
Dalam pemberian fasilitas pembaiayaan, bank
menggunakan dana yang terhimpun dari masyarakat/nasabah. Menjalankan suatu
usaha tidaklah semudah seperti membalikan telapak tangan yang tanpa risiko.
Oleh karenanya bank tidak sembarangan memberikan fasilitas pembiayaan
musyarakah, ada tahapan-tahapan untuk menilai usaha yang akan dijalankan memang
bena-benar layak untuk diberikan modal.
4.2.2.
Analisis Fungsi Jaminan dalam Akad Musyarakah
Pada dasarnya, Al-Qur’an tidak pernah berbicara
langsung mengenai musyarakah. Meskipun musyarakah tidak secara langsung
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui
dan diperaktekan oleh umat islam, dan bentuk kongsi dagang semacam ini tampak
terus hidup sepanjang periode era awal Islam.
Jumhur Fuqaha menyatakan bahwa dalam musyarakah
pada dasarnya masing-masing mitra adalah yad al-amanah (tangan
amanah/kepercayaan) atas harta perserikatan, artinya ia tidak bertanggung jawab
atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada harta perserikatan selama hal
ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam
mengelola harta perserikatan. Oleh karenanya, masing-masing mitra tidak bisa
menjamin (memberikan jaminan) atas modal mitra lainnya, dan apabila dalam
musyarakah ada jaminan atas salah satu mitra, maka jaminan tersebut dianggap
batal/tidak berlaku. Dengan demikian, maka berdasarkan mafhum mukhalafah /
argumentum a contrario, mitra yang lain dapat meminta pertanggung jawaban
dan jaminan pada mitra yang lain hanya apabila mitra yang lain tersebut
melakukan kelalaian atau kecerobohan dalam pengelolaan harta syirkah yang
berakibat pada kerugian/musnahnya sebagian/seluruhnya harta syirkah tersebut. [59]
Pada dasarnya jaminan yang diutamakan dalam pembiayaan musyarakah ini hanyalah
jaminan berupa kelayakan dan prospek usaha, namun mengingat kondisi
kemasyarakatan yang ada pada saat ini, tidak mungkin menerapkan kerjasama musyarakah sesuai konteks asli, yaitu tanpa jaminan,
maka untuk melindungi berbagai pihak yang terlibat dalam pembiayaan musyarakah
dari beragam risiko yang dapat muncul, nasabah dapat diminta untuk menyertakan
jaminan, berupa kebendaan yang bernilai jual.
Penerapan jaminan yang dilakukan oleh PT. Bank Kalsel Syariah
Cabang Banjarmasin pada dasarnya mengacu pada Peraturan Pemerintah dalam
Undang-Undang No. 10 Pasal 1 Tahun 1998 mengenai ketentuan umum penjelasan No.
23 yaitu :[60]
”Agunan
adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam
rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”.
Hal serupa disebutkan pula dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor. 08/DSN-MUI/IV/2000, dalam fatwa tersebut disebutkan, bahwa:[61]
“Pada
prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk
menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan”.
Dalam
hal terjadi kerugian dalam pengelolaan dana para mitra akan menanggung
bersama-sama kerugian tersebut sepanjang kerugian tersebut bukan disebabkan
karena kelalaian salah satu mitra. Sedang bila kerugian diakibatkan oleh
kelalaian atau kesalahan salah satu mitra (dalam hal ini ialah nasabah) dibeban
kepada nasabah dan diakui sebagai piutang musyarakah jatuh tempo. Kelalaian
atau kesalahan nasabah antara lain, ditunjukan oleh :
a.
Tidak dipenuhinya persyaratan
dalam akad,
b.
Tidak terdapat kondisi diluar
kemampuan (force majeur) yang lazim dan atau yang telah ditentukan dalam
akad,
Para ulama di Indonesia yang terhimpun pada
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya No. 8/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan Musyarakah, adanya jaminan dalam perbankan syariah khususnya dalam
pembiayaan musyarakah hanya untuk memberikan kepastian kepada pihak bank bahwa
pihak nasabah akan menggunakan dana dari pihak bank tersebut sesuai dengan yang
telah diperjanjikan.
Jadi dapat dikatakan bahwa penyertaan jaminan
dalam pembiayaan musyarakah merupakan bentuk aplikasi penerapan prinsip
kehati-hatian yang dijalankan oleh pihak bank guna pengamanan terhadap modal
yang diberikan oleh bank kepada nasabah dan sebagai penguat keseriusan nasabah
dalam menjalankan usaha yang akan dijalankan, hal ini serupa dengan pernyataan
staff marketing bank Kalsel syariah cabang Banjarmasin, dengan penyertaan jaminan
akan memperkuat kepercayaan mengingat moral nasabah yang tidak dapat
diperkirakan. Bagi nasabah cerminan rasa tanggung jawab jawab atas usaha yang
diberikan modal oleh bank sehingga dapat menjalankan usahanya dengan serius.
5.
Penutup
5.1. Simpulan
Prosedur pembiayaan musyarakah yang diberikan
oleh PT Bank Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin adalah sebuah bentuk akad
kerjasama antara bank dan nasabah dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi modal dan kerja dalam menjalankan suatu usaha yang produktif. Hasil
keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati dan salah satu pihak
boleh meminta keuntungan yang lebih sesuai dengan porsi kerjanya, dan juga
kerugian dibagi secara proporsional menurut modal yang disetorkan oleh
masing-masing pihak. Dan Fungsi jaminan dalam akad musyarakah adalah
sebagai salah satu langkah untuk melindungi dana masyarakat agar tidak hilang
begitu saja akibat keteledoran dari nasabah, hal ini merupakan suatu prinsip
kehati-hatian yang diharuskan oleh pihak manajemen dalam pembiayaan. Bagi
nasabah jaminan berfungsi sebagai cerminan rasa tanggung jawab atas usaha yang diberikan modal oleh bank sehingga dapat
menjalankan usahanya dengan serius.
5.2.Saran
Dalam menjalankan usaha dengan akad musyarakah,
pihak bank seringkali hanya menjadi sleping partner bagi nasabah,
sehingga usaha hanya diwakilkan kepada salah mitra saja (nasabah). Untuk lebih
mengoptimalkan pembiayaan musyarakah ini alangkah lebih baiknya pihak bank juga
turut serta langsung untuk melihat manajemen usaha yang dijalankan. Bagi
nasabah pembiayaan musyarakah, hendaknya dapat memahami dengan penyertaan
jaminan. Pengadaan jaminan disertakan demi kebaikan bersama. Nasabah juga
diharapkan menghindari moral yang negatif dalam menjalankan kerjasama mengingat
dana yang dikeluarkan bank bukanlah dana bank pribadi, melainkan dana yang
berasal dari masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-‘Alim
Al-Qur’an dan Terjemahnya, diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an,
Bandung, PT Mizan Pustaka, 2010.
Anshori,
Abdul Ghafur, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008),. Bandung,
PT Refika Aditama, 2009.
Anshori,
Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia,. Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, 2007.
Antonio,
Muhammad Syafi'I, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,. Jakarta, Gema
Insani, 2001.
Ascarya,
Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006.
Az-Zuhaily>, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy> Wa Adillatuhu,.
diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattami., et al, Fiqih Islam Wa Adilatuhu,
Jakarta, Gema Insani, Juz 5, 2011.
Djamil,
Faturrahman, Penyelesaian Pembaiayaan Bermasalah di Bank Syariah,
Jakarta, Sinar Grafika, Cet 1, 2012.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyrakah.
Firdaus,
Muhammad., et al., Mengatasi Masalah Dengan Penggadaian Syariah,
Jakarta, Renaisans, Cet 1, 2005.
Ibnu
Hajar al-Kinani, Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin
Ahmad, Bulughul Maram,. Diterjemahkan oleh K.H Kahar Masyhur, Bulughul Maram,
Jakarta, PT Rineka Cipta, 1992.
Ibnu
Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Lebanon, Darul Fikr, Jilid 2, 2008.
Ibnu
Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid
Wa Nihayah al-Muqtashid,. Diterjemahkan oleh Drs. Imam Ghazali Said, MA dan
Drs. Achmad Zainuddin, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid,
Jakarta, Pustaka Amani, 2007, Jilid 3, Cet III, 2007.
Kamil,
Ahmad, dan Muhammad Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, Jakarta, Kencana, Ed 1, Cet I, 2007.
Muhammad,
Kontruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah: Mudharabah Dalam Wacana Fiqh dan
Praktik Ekonomi Modern, Yogyakarta, Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), Cet
I, 2003.
Mujieb,
M. Abdul., et al., Kamus Istilah Fikih, Jakarta, Pustaka Firdaus,
Cet III, 2002.
Musjtari,
Dewi Nurul, Penyelesaian Sengketa Dalam Praktik Perbankan Syariah,
Yogyakarta, Parama Publishing, Cet I, 2012.
Salim
HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, Ed 1, Cet III, 2005.
Shomad,
Abd, “Akad Mudharabah Dalam Perbankan Syariah”. Yuridika, Vol. 16, No.
4, Juli-Agustus 2001.
Sjahdeini,
Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Sofwan,
Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perseorangan, Yogyakarta, Liberty Offset Yogyakarta, Cet II,
2001.
Tim
Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Usman,
Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama, Cet II, 2003.
Wangsawidjaja,
Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Widjanarto,
Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama
Grafiti, Ed 4, 2003.
usaha/musyarakah.
[1] Widjanarto,
Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 2003), Ed. IV, h. 59.
[2] Abd.
Shomad, Akad Mudharabah dalam Perbankan Syariah, Yuridika, Vol 16 No. 4,
Juli-Agustus 2001, h. 363.
[3] Fatwa
Dewan Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.
[4] Abdul Ghafur Anshori, HUKUM PERBANKAN SYARIAH (UU NO. 21 TAHUN 2008), (PT Refika Aditama:
Bandung, 2009), h. 135.
[5] Faturrahman. Djamil, Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Cet.
1, h. 42.
[7] Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,
PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004, h. 21-22.
[8] Mumahammad Syafi’I
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek,
h. 90.
[9] Al-‘Alim Al-Qur”an dan
Terjemahnya, Diterjemahan oleh yayasan penyelenggara penerjemah
al-qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), Cet. 3, h. 455.
[10] Bulughul Maram, diterjemahkan oleh K. H.
Kahar Masyhur, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 487-488.
[11] Ahmad. Kamil, Muhammad.
Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,
(Jakarta: Kencana, 2007), Ed. 1, Cet. 1, h. 355.
[12] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 57.
[13] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 128.
[14] Wangsawidjaja, Pembiayaan
Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 199.
[16] Muhammad, KONTRUKSI
MUDHARABAH DALAM BISNIS SYARIAH: Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik
Ekonomi Modern, ( Yogyakarta, Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), 2003), Cet.
I, h. 33.
[17] Ibid, h. 34.
[18] Ibid, h. 34-44.
[19] Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatuh al-Mujatahid wa Nihayah al-Muqtashid,
(Lebanon: Darul Fikr, 2008), Jilid. 2, h. 203.
[20] Ibnul Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, Analisa Fiqih Para Mujtahid, diterjemahkan oleh Drs. Imam Ghazali
Said, MA & Drs. Achmad Zaidun, (Jakarta: PUSTAKA AMANI, 2007), Jilid. 3,
Cet. III, h. 143.
[21] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta:
Raja Gafindo Persada, 2006), h. 52.
[22] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih
Islam wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattami, Dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), Juz. 5, Cet. 1, h. 450-451.
[24] Tim Penyusun Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 348.
[27] Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia
Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan
Perseorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2001), Cet. II,
h. 47.
[28] M. Abdul Mujieb et al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. III, h.
59.
[29] Muhammd Firdaus NH, et al., Mengatasi Masalah dengan Penggadaian Syariah, (Jakarta: Renaisans,
2005), Cet. 1, h. 16.
[32] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), Cet. 2, h. 286.
[34] Juliadi Rahman, Staff Marketing PT. Bank
Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Banjarmasin, 19 Mei 2014.
[35]
http://www.bankKalsel.co.id/index.php/produk-dan-layanan/pembiayaan/kerjasama-usaha/musyarakah.
diakses pada, 25 Mei 2014.
[36] Juliadi Rahman, op. cit.
[37] Ibid.
[38] Sarini Murni Asih, Staff Marketing PT. Bank
Kalsel Syariah Cabang Banjarmasin, Wawancara Pribadi, Banjarmasin, 26 Mei 2014.
[39] Ibid,
[40] Juliadi Rahman, op. cit.
[41] Sarini Murni Asih, op. cit.
[42] Ibid,
[43] Ibid,
[44] Juliadi Rahman, op. cit.
[45] Ibid,
[46] Ibid,
[47] Ibid,
[48] Juliadi Rahman, op. cit.
[49] Ibid.
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[53] Sarini Murni Asih, op. cit.
[54] Juliadi Rahman, op.cit.
[55] Sarini Murni Asih, op.cit.
[56] Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 290.
[57] Juliadi Rahman, op.cit.
[58] Dewi
Nurul Musjtari, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah,
(Yogyakarta: Parama Publishing, 2012), Cet. 1, h. 86-87.
[60] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan.
[61] Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor.
08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar