BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Ajaran Islam
mengakui adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan pada setiap
orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang
mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha dan resiko. Namun
perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara
yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu dalam tidak
sesuai dengan syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan
saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan suatu
amanah. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan
sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.
orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang
mempunyai perbedaan keterampilan, inisiatif, usaha dan resiko. Namun
perbedaan itu tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh antara
yang kaya dengan yang miskin karena kesenjangan yang terlalu dalam tidak
sesuai dengan syariah Islam yang menekankan bahwa sumber-sumber daya bukan
saja karunia dari Allah bagi semua manusia, melainkan juga merupakan suatu
amanah. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan
sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.
Kurangnya
program-program efektif untuk mereduksi kesenjangan sosial yang
terjadi selama ini dapat mengakibatkan kehancuran, bukan penguatan perasaan
persaudaraan yang hendak diciptakan ajaran Islam. Syariah Islam sangat
menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata
sebagaimana yang tercantum dalam Surah Al Hasyr ayat 7, yakni “… kekayaan
itu tidak beredar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu saja.”
terjadi selama ini dapat mengakibatkan kehancuran, bukan penguatan perasaan
persaudaraan yang hendak diciptakan ajaran Islam. Syariah Islam sangat
menekankan adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata
sebagaimana yang tercantum dalam Surah Al Hasyr ayat 7, yakni “… kekayaan
itu tidak beredar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu saja.”
Distribusi
kekayaan dan pendapatan yang merata bukan berarti sama rata
sebagaimana faham kaum komunisme, tetapi ajaran Islam mewajibkan setiap
individu untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sangat melarang
seseorang menjadi pengemis untuk menghidupi dirinya.
sebagaimana faham kaum komunisme, tetapi ajaran Islam mewajibkan setiap
individu untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sangat melarang
seseorang menjadi pengemis untuk menghidupi dirinya.
Dalam literatur
Ekonomi Syariah, terdapat berbagai macam bentuk transaksi
kerjasama usaha, baik yang bersifat komersial maupun sosial, salah satu
berbentuk “qardh”. Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata
lain merupakan sebuah transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada
saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan
dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong dan bukan transaksi komersial
kerjasama usaha, baik yang bersifat komersial maupun sosial, salah satu
berbentuk “qardh”. Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata
lain merupakan sebuah transaksi pinjam meminjam tanpa syarat tambahan pada
saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan
dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong dan bukan transaksi komersial
Al-Qardh adalah dana talang atau pinjaman bagi
orang yang membutuhkan dana cepat, dan al-qardh ini merupakansalah satu jasa
bank dalam melayani masyarakat, selain kafalah, hiwalah dan lain-lain. Dalam
melakukan akad ql-qardh ini tentunya ada syarat, sukun, dan macam-macam
perjanjian ataw perikatan, dalam peraktinya al-qard ini bebeda dengan praktik
akad-akad yang lainnya, karna dalam al-qardh ini termasuk akad tabaru atau akad
tolong molong dalam arti akad ini tidak mengambil keuntungan.
Untuk mengetahui syarat, rukun, batal dan
syahnya perikatan dan yang lainnya sudah di jelaskan oleh pemakalah sebelumnya,
dalam makalah ini hanya dijelaskan mengenai praktik perikatan dalam aqad qardh
atau dana talangan dalam dunia perbankan syari’ah, untul ;ebih jelaskan akan di
bahas dalam bab pembahasan selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian dan Unsur-unsur dalam aqad
Al-Qardh.?
2.
Landasan Hukum (Al-Quran, Hadist, Ijma) dan
Fatwa DSN tentang Al-Qardh.?
3.
Syarat dan Rukun dalam aqad Al-Qardh.?
4.
Bagaimana Aplikasi dalam Dunia Perbankan
Syari’ah atau Praktik Aqad Al-Qardh dalam Perbankan Syari’ah.?
5.
Darimana Sumber Dana Al-Qardh.?
6.
Bagaimana Manfaat Al-Qardh.?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akad Al-Qardh
Istilah “perjanjian” dalam hukum
Indonesia disebut “Aqad” dalam hukum Islam. Kata aqad
berasal dari kata al-‘aqad, yang berarti mengikat, menyambung atau
nebghubungkan (ar-rabt). [1]
Menurut bahasa ‘Aqad mempunyai bebeapa arti,
antara lain:
1.
Mengikat (Ar-Rabtu), yaitu “Mengumpulkan dua
ujung tali dan mengikat salahsatunya dengan yang lain sehingga bersambung,
kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
2.
Sambungan (‘Akdah), yaitu “Sambungan yang
memegang kedua ujung itu dan mengikatkatnya.”
3.
Janji (Al-‘Ahud), yaitu dijelaskan dalam
Al-Quran:
4’n?t
ô`tB
4’nû÷rr&
¾ÍnωôgyèÎ
4’s+¨?$#ur
¨bÎ*sù
©!$#
=Åsãƒ
tûüÉ)GßJø9$#
ÇÐÏÈ
“Siapa yang
menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Imran:76)
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa setiap
‘aqdi (persetujuan) mencakup tiga hal, yaitu:
1.
Perjanjian (‘ahdu);
2.
Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih;
Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa
definisi yang diberikan kepada aqad atau perjanjian:
1.
Menurut Pasal 262 Mursyid al-Haira, akad
merupakan “Pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari
pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.”[3]
2.
Menurut penulis, akad adalah, “pertemuanijab
dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan
suatu akibat hukum pada objeknya.”
Dari kedua definisi diatas memperlihatkan
bahwa:
Pertama,
akad merupakan
keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akad hukum.
Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan kabul adalah
jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhaadap
penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak
masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena akad adalah keterkaitan
kehendak kedua belah pihak yng tercermin dalam ijab dan kabul.
Kedua, akad
merupakan tindakan hukum dua pihak karna akad adalah ijab yang merepresentasikan
kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain.
Ketiga,tujuan akad
adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas lagi tujuan akad adalah
maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui
pembuatan akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam disebut “Hukum Akad” (hukum
al-‘Aqdi).[4]
Pengertian akad dalam terminologi lainya adalah
sbb:
a. “Perikatan ijab
dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.”
b. “Berkumpulnya
serah terima diantara dua pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada
kedua pihak.”
c. “Terkumpulnya persyaratan serah terima atau
sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan
hukum.”
Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa
mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan
dalam aqad tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi
komersial.[6]
Secara syar’i para ahli fiqh mendefinisikan
Qardh:
1. Menurut
pengikut Madzhab Hanafi , Ibn Abidin mengatakan bahwa suatu pinjaman adalah apa
yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan
dalam kepunyaannya dalam baik hati.
2. Menurut Madzhab
Maliki mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk
pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal.
3. Menurut Madzhab
Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan memperoleh
manfaat dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya.
4. Menurut Madzhab
Syafi’i Qardh adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang,
disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya.
Dari pengertian akad dan al-Qardh diatas dapat
disimpulkan bahwa, “ Aqad Al-Qardh adalah Perikatan atau
perjanjian antara kedua belah pihak, dimana pihak pertama menyediakan harta
atau memberikan hartadalam arti meminjamkan kepada pihak kedua sebagai peminjam
uang atau orang yang menerima harta yang dapat ditagih atau diminta kembali
harta tersebut, dengan kata lain meminjamkan harta kepada orang lain yang
mebutuhkan dana cepat tanpa mengharapkan imbalan.
Dalam aqad al-Qardh ini, untuk
menghindarkandiri dari riba, biaya administrasi pada pinjaman al-Qardh:
a.
Harus dinyatakan dalam nominal bukan
presentase;
b.
Sifatnya harus nyata, jelas dan pasti serta
terbatas pada hal-hal yang mutlak diperlukan untuk tejadinya kontrak;
c.
Uang yang dijadikan sebagai biaya administrasi
harus habis dalam waktu perikatan tersebut.
B.
Unsur-unsur Akad Al-Qardh
Unsur-unsur
dalam aqad al-Qardh yaitu sebagai berikut:
1. Pertalian Ijab
dan Kabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh suatu
pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kabul
adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mukib tersebut oleh pihak
lainnya (qabul). Ijab dan kabul harus ada dalam aqad al-Qardh.
2. Dibenarkan oleh
Syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan
dengan syariah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al-Quran dan Nabi
Muhammad SAW dalam Hadits. Pelaksanaan akd, tujuan akad, maupun objek akad
tidah boleh bertentangan dengan syariah. Jika berten tsngan, akan mengakibatkan
akad itu tidak sah.
3. Mempunyai
Akibat Hukum
Akad merupakan salah satu dari tindakan
hukum(thassaruf). Adanya akad akan menimbulkan akibat hukum terhadap objek
hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekunesi hak
dan kewajiban yang mengikat para pihak.[7]
C. Landasan Hukum
1.
Al-Quran
a. Qs : Al-Hadid :
11
”Siapakah
yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan
melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh
pahala yang banyak.” (QS: Al-Hadid: 11)
Yang menjadi
landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada
Allah”, artinya untuk membelanjakan harta dijalan Allah. Selaras dengan
meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru unutk “meminjamkan kepada sesama
manusia”, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society).
b. Al : Baqarah :
245
Artinya : “Al-Qur’an Siapakah yang mau
memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.“ (Al-Baqarah : 245)
c.
Qs : Al-Maidah
: 2
Artinya
: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah : 2)
2. Al-Hadits
a.
Artinya: “ Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa
Nabi saw, berkata, “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim
(lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah”. (HR:
Ibnu Majah no. 2421, kitab al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi)
b.
Artinya : “As-Sunnah Dari Anas ra, dia
berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di
pintu surga tertulis ’shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan
Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata : “Wahai jibril, mengapa Qardh lebih
utama dari shadaqoh?’ ia menjawab “karena ketika meminta, peminta tersebut
memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak berutang
kecuali karena kebutuhan”. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abas bin Malik ra,
Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Umamah ra) Ibnu Mas’ud
meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata,”Bukan seorang muslim (mereka) yang
meminjamkan muslim (lainya) dua kali lipat kecuali yang satunya adalah
(senilai) sedekah.” (HR Ibnu Majah,Ibnu Hibban dan Baihaqi).
3.
Al-Ijma’
“Para
ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini
didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan
saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkaan.
Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan du
dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan
umatnya.”[8]
4.
Fatwa DSN tentang Al-Qardh No
:19/DSN-MUI/IV/2001
Dewan Syariah
Nasional setelah :
Menimbang :
a. Bahwa Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) di samping lembaga komersial, harus dapat berperan
sebagai lembaga sosial yang dapat meningkatkan perekonomian secaramaksimal.
b. Bahwa salah satu
peningkatan sarana perekonomian yang dapat dilakukan oleh LKS adalah penyaluran
dana melalui prinsip al-Qardh, yakni suatu akad pinjaman kepada nasabah dengan
ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS
dengan waktu yang telah di sepakatioleh LKS dan nasabah.
c. Bahwa akad
tersebut sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa
tentang al-Qardh untuk di jadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat :
a. Firman Allah
SWT, antara lain :
“Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu’amalah
tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis.” (QS :
Al-Baqarah : 282)
b. Hadis-hadis
Nabi SAW, antara lain :
-
“Orang yang melepaskan orang muslim dari
kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di akhirat, Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya.” (HR :
Muslim)
-
“Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh
orang mampu menghalalkan hargadari dan memberikan sanksi kepadanya.” (HR : Abu
Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
-
Hadis NabiRiwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf :
“Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum
muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau mengharamkan y ag
harar; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat
yang menghaamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
c. Kaidah Fiqh :
“Setap utang piutang mendaatangkan manfaat
(bagi yang berpiutang, muqridh) adalah riba.”
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat Pleno
Dewan Syari’ah Nasional pada hari Senin, 24 Muharram 1442 H/18 April 2008.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FSTWS TENTANG AL-QARDH
Pertama : Ketentuan
Umum Al-Qardhyang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
1.
Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada
nasabah (muqtaridh) yang memerlukan
2.
Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah
pokok yang diterima pada waktu yangtelah disepakati bersama.
3.
Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4.
LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah
bilamana di pandang perlu.
5.
Nasabh al-Qardh dapat memberikan tambahan
(sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6.
Jika nasabah tidak dapt mengembalikan sebagian
atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah
memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat :
a. Memperpanjang jangka waktu pengambilan, atau
b.
Menghapus
(write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Kedua : Sanksi
1.
Dalam hal nasabah tidak menunjukan keinginan
mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukankarena
ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2.
Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah
sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan
barang jaminan.
3.
Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah
tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.
Ketiga : Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber dari :
a. Bagian modal LKS;
b. Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
c.
Lembaga lain
atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
Keempat :
1.
Jika salah satu pihak tidak memnunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antarapihak, maka penyelesainnya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
2.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
dengan ketentuan jika kemudian hari ternyata dapat kekeliruan, akan diubah
disempurnakan sebagaimana mestinya.
D.
Rukun dan Syarat Al-Qardh
1.
‘Aqid ialah orang
yang berakad (dua belah pihak), dalam arti pihak pertama adalah orang yang
menyediakan harta atau pemberi harta (yang meminjamkan), dengan pihak kedua
adalah orang yang membutuhkan harta atau orang yang menerima harta (meminjam).
Seseorang yangberakad terkadang terkadang orang yang memiliki hak (‘aqid ashli)
dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.[9] Syarat
dari kedua orang yang melakukan akad yaitu cakap bertindak (ahli), tidak sah
akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang dibawah
pengampuan (mahjur) karna boros atau lainnya.
2.
Ma’qud ‘alaih adalah
benda-benda yang diakadkan, seperti benda (harta). Dalam arti setiap peikatan
dalam aqad al-qardh harus ada barang sebagai perikatan atau transaksi (objek
akad). Syarat objek akad adalah dapat menerima hukumnya.
3.
Maudhu’ al ‘aqd
adalah tujuan
atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda kad, maka berbeda tujuan pokok akad,
dalam akad jual beli yujuan pokoknya ialah meminfahkan barang dari penjual
kepada pembeli dengan diberi ganti, dan dalam akad jual beli ini akan
mendapatkan keuntungan, berbeda dengan
perikatan atau aqar al-qardh, dalam aqad al-qardh tujuan pokok perikatannya
adalah tolong menolong dalam arti meminjamkan harta tanpa mengharapkan imbalan,
uang yang di pinjamkan di kembalikan sesuai dengan uang yang dipinjamkan, tidak
ada tambahan dalam pengembalian uangnya. Saratnya adalah ada itikad
baik.[10]
4.
Shighat al-‘aqd
ialah ijab dan
qabul, ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang
yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul
adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan
setelah adanya ijab. Pengertian ijab qabul dalam pengamalan dewasa ini ialah
bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli
sesuatu terkadang tidak berhadapan, seperti dalam akad salam.[11] Syaratnya
adalah ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka
bila orang yanh berijab menarin kembali ijabnya sebelum kabul, maka batalah
ijabnya. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab
sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.[12]
Dalam praktik perbankan Syariah, rukun dan
syarat dalam aqad al-qardh selain diatas adalah:
a.
Bank (pihak
yang menyediakan uang atau meminjamkan harta);
b. Nasabah (pihak yang meminjam uang);
Sifat qardh ini
tidak memberikan keuntungan finansial. Karena itu, pendanaan qardh dapat
diambil menurut kategori berikut:
a.
Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha
sangat kecil dan keperluan social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan
sedekah.
b.
Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan
nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana di atas dapat
diambilakan dari modal bank.
E.
Praktik Aqad
Al-Qardh dalam Perbankan Syariah
Akad al-Qardh
biasanya diterapkan sebagai berikut:
1.
Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang
telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talang
segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikannya
secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
2.
Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana
cepat, sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan
dalam bentuk deposito.
3.
Sebagai produk untuk menyumbangkan usaha yang
sangat kecil atau membantu sektor sosial. Guna pemenuhan skema khusus ini telah
dikenal suatu produk khusus yaitu alqardhal-hasanah.[14]
4.
Sebagai dana talang untuk janga waktu singkat,
maka nasabah akan mengembelikannya dengan cepat, seperti kompensating balance
dan factoring (anjak piutang).[15]
Pinjaman qardh
biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan
pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian
dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.
Aplikasi qardh dalam perbankan ada empat hal:
a. Sebagai
pinjaman talangan haji
b. Sebagai pinjaman
tunai dari produk kartu kredit syariah
c. Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil
d. Sebagai
pinjaman kepada pengurus bank
F.
Sumber Dana Al-Qardh
Sifat al-Qardh tidak memberikan keuntungan
finansial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut:
a.
Al-qardh yang diperlukan untuk keuangan nasabah
secara cepat dan berjangka pendek.talangan dana diatas dapat diambilkan dari
modal bank.
b.
Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha
sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumbe dari dana zakat, dan sedekah.
Disamping sumber dana umat, para praktisi perbankan syariah, demikian juga
ulama, melihat adanya sumber dana lain yang dapat dialokasikanuntuk qardh
al-hasan, yaitu prndapat-pendapat yang diragukan, seperti jasa nostro di bank
korespondensi yang konvensional, bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan
sebagainya. Salah satu pertimbangan pemanfaatan dana-dana ini adalah kaidah akhaffu
dhararain (mengambil mudharat yang lebih keci). Hal ini mengingat jika dana
umat Islam dibiarkan di lembaga-lembaga non-muslim mungkin dapat dipergunakan
untuk sesuatu yang merugikan Islam, misalnya dana kaum muslimin Arab di
bank-bank Yahudi Switzerland. Oleh karena itu, dana yang parkir tersebut lebih
baik diambil dan dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana alam atau membantu
dhu’afa.
G.
Manfaat Aqad Al-Qardh
Manfaat aqad al-qardh banyak sekali,
diantaranya:
a. Memungkikan nasabah yang sedang dalam kesulitan
mendesak untuk mendapatkan dana talangan jagka pendek.
b. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu
ciri pemberi antara bank syariah dan bank konvensionalyang didalamnya
terkandung misi sosial, disamping misi komersial.
c. Adanya misi-sosial kemasyarakatkatan ini akan
meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank
syariah.
d. Risiko al-qardh terhitung tinggi karena ia di
anggap pembiayaan yang tidak ditutup dengan jaminan.[16]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Aqad Al-Qardh adalah perikatan atau perjanjian
antara kedua belah pihak, dimana pihak pertama menyediakan harta atau
memberikan hartadalam arti meminjamkan kepada pihak kedua sebagai peminjam uang
atau orang yang menerima harta yang dapat ditagih atau diminta kembali harta
tersebut, dengan kata lain meminjamkan harta kepada orang lain yang mebutuhkan
dana cepat tanpa mengharapkan imbalan.
Dengan kata lain, aqad al-Qardh merupakan
pinjaman oleh pihak bank kepada nasabah tanpa adanya imbalan, perikatan jenis
ini bertujuan untuk menolong, bukan sebagai perikatan yang mencari untung
(komersil)
Yang melandasi diperbolehkannya aqak al-Qardh
ini tercantum dalam al-Quran surat. Al-Hadid : Di jelaskan yang menjadi
landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada
Allah”, artinya untuk membelanjakan harta dijalan Allah. Selaras dengan
meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru unutk “meminjamkan kepada sesama
manusia”, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society).
Rukun dan syarat dalaam aqad al-Qardh yang
lebih sempitnya adalah subjek perikatan (al-‘aqidain), objek perikatan
(mahallul ‘aqad), tujuan perikatan (maudhu’ul ‘aqad), dan aigat ‘aqad (ijab dan kabul).
Unsur-unsur dalam aqad al-Qardh adalah
pertalian ijab dan kabul, dibenarkan oleh Syara’, dan mempunyai akibat hukum.
Selain itu dalam praktk perbankan harus ada bank, nasabah, dan proyeksi usaha.
Praktik dalam perbankannya diantaranya sebagai
dana talang untuk jangka waktu singkat, maka nasabah akan mengembalikannya
dengan cepat, sebagai fasilitas untuk memperoleh dana cepat karena nasaba tidak
bisa menarik dananya, misalnya karena tersimpat dalam deposito, sebagai
fasilitas membantu usaha kecil atau sosial.
Manfaat aqad al-qardh adalah membantu nasabh
yang membutuhkan dana cepat, alqardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri
pemberi antara bank syariah dan bank konvensionalyang didalamnya terkandung
misi sosial, disamping misi komersial, meningkatkan citra baik dan meningkatkan
loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Gemala. “Hukum
Perikatan Islam di Indonesia”. Jakarta: KENCANA PERNADA MEDIA GROUP, 2007.
Anwar, Syamsul.
“Hukum Perjanjian Syariah”. Jakarta: RAJAWALI PERS, 2010.
Antonio,
Muhammad Syafi’i. “Bank Syariah dari Teori kePraktik”. Depok: GEMA
INSANI, 2001.
Suhendi, Hendi.
“Fiqh Muamalah”. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010.
Ghazaly, Abdul
Rahman. “Fiqh Muamalah”. Jakarta: KENCANA PERNADA MEDIA GROUP, 2010.
Fatwa DSN
(Dewan Syariah Nasional) NO: 19/DSN-MUI/IV/2001
2 Prof. Dr. H.
Hendi Suhendi, “Fiqh Muamalah”, hlm. 45.
10 Prof. Dr. H.
Hendi Suhendi, “Fiqh Muamalah”, hlm. 47
11 Prof. Dr. H.
Abdul Rahman Ghazaly, M.A, “Fiqh Muamalat”, hlm. 52
13 Dr. Muhammad
Syafi’i Antonio, M.Ec, “Bank Syariahdsri Teori ke Praktik”. hlm.134
14 Dr. Muhammad
Syafi’i Antonio, M.Ec, “Bank Syariah dari Teori ke Praktik”. Hlm. 133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar