BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari –
hari, masyarakat memiliki kebutuhan – kebutuhan yang harus dipenuhi baik
kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak
memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam
perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa
pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non
bank. Lembaga perbankan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam syariah
Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang mengatur hubungan sesama
manusia.
Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah
ijarah (sewa-menyewa). Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah
tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan
terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah
transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika
tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara sederhana tentang
definisi ijarah baik dari pandangan ulama fiqih kontemporer maupun modern,
landasan hukum, rukun dan syarat sahnya, bentuk – bentuk ijarah dan fatwa DSN
tentang ijarah.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan pembiayaan ijarah ?
2.
Apa yang menjadi landasan hukum mengenai
pembiayaan ijarah ?
3.
Apa saja rukun dan syarat sahnya melakukan
ijarah ?
4.
Apa saja bentuk-bentuk dari Ijarah ?
5.
Bagaimana fatwa DSN tentang pembiayaan ijarah ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Dapat memahami apa itu pengertian ijarah .
2.
Mengetahui landasan hukum mengenai pembiayaan
ijarah.
3.
Mengetahui rukun dan syarat sahnya melakukan
ijarah.
4.
Mengetahui bentuk-bentuk dari Ijarah.
5.
Mengetahui dan memahami fatwa DSN tentang
pembiayaan ijarah .
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu
(ganti), ajru (upah).[1]Menurut pengertian
Syara’, Al-Ijarah ialah: Urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan
tujuanya, dapat diserah terimakan, boleh dengan ganti (upah) yang telah
diketahui (gajian tertentu).[2]
Seperti halnya barang
itu harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.
Pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang
yang menyawakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir (
orang yang menyawa = penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil
manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan
sebagai imbalan manfaat disebut Ajran
atau Ujrah (upah). Dan setelah terjadi akad Ijarah telah
berlangsung orang yang menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa
berhak mengambil manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian).[3]
Pengertian Ijarah dalam
terminologi menurut fiqih klasik dan fiqih kontemporer, yaitu :
1.
Menurut fiqih klasik
a. Menurut
Hanafiyah, ijarah ialah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui
dan disengaja dari suatu zat yang di sewa dengan imbalan.
عقد
يفيد تمليك منفعة معلومة مقصودة من العين المستأجرة بعوض
b. Menurut
Malikiyah, ijarah ialah nama bagi aqad-aqad untuk kemanfaatan yang bersifat
manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.
نِ لآ لْمَنْقُوْا بَعْضِوَ دَمِيْ
لآ ا مَنْفَعَةِ يعَلَقُدِ التّعَا تَسْمِيَةُ
c. Menurut Syafi’iyah ijarah
adalah Akad atas suatu
kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti
atau kebolehan dengan pengganti tertentu.[4]
معلوم بعوض والإباحة للبذل قابلة مباحة معلومة مقصودة منفعة على عقد
d. Menurut
Hanabilah, ijarah ialah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal
ijarah .
هُمَا مَعْنَا فِيْ وَالْكَرَاءِ رَةِ جَا لاا بِلَفْظِ تَنْعَقِدُ فِعِ
الْمَنَا عَلَى عَقْدٌ وَهِيَ
2. Menurut fiqih kontemporer
a.
Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’I
berpendapat ijarah berarti upah mengupah. Hal ini
terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir
dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah).[5]
b.
Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya
Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.[6]
c.
Undang
undang sipil; Islam Kerajaan Uni Emirat Arab mendefinisikan ijarah sebagai
berikut: “ ijarah atau sewa yaitu memberi penyewa kesempatan untuk mengambil
pemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang
telah disepakati bersama.[7]
d.
Rahmat
Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة
(menjual manfaat).
e.
Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian”.
f.
Menurut
Syafi’I Antonio Al-ijarah adalah pemindahan hak guna atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barang itu sendiri.[8]
g.
Sedangkan
menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri.[9]
B. Landasan Hukum Syariah
Adapun yang
menjadi landasan hukum yang membolehkannya pembiayaan ijarah adalah :
1.
Al-Qur’an
·
Qs.Al-Zukhruf
(43) : 32 :
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
·
QS.Al-Baqarah
(2) : 233 :
Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan,
Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
·
QS.Al-Qashash (28) : 26:
salah seorang
dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
2.Hadits, Ijma dan Kaidah Fiqih
·
Hadits riwayat ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda :
عَرَقُهُ يَجِفَّ أَنْ قَبْلَ أَجْرَهُ الأَجِيرَ أَعْطُوا
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya
kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
·
Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id
al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
أَجْرَهُ ا فَلْيُعْلِمْهُ أَجِيْرًا سْتَأْجَرَ مَنِ
“Barang siapa mempekerjakan pekerja,
beritahukanlah upahnya”.
·
Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
“Kami
pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah
melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya
dengan emas atau perak”.
·
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram”.( HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf )
·
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
·
Kaidah fiqh:
يْمِهَا تَحْرِ عَلَى دَلِيْلٌ يَدُلَّ
أَنْ إِلاَّ اْلإِبَاحَةُ الْمُعَامَلاَتِ فِي اَلأَصْلُ.
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menghindarkan mafsadat (kerusakan,
bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
C. Rukun dan Syarat
Sahnya Ijarah
a. Menurut fatwa DSN
NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah, rukun dan
syarat sahnya ijarah adalah :
Rukun :
1. Pernyataan ijab dan
qabul.
2. Pihak-pihak yang
berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, LKS),
dan penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset,
nasabah).
3. Obyek kontrak:
pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
4. Manfaat dari
penggunaan aset dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin.
5.
Sighat Ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak,
baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara
penawaran dari pemilik aset (LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa
(nasabah).
Syarat ijarah :
1.Kerelaan dari dua
pihak yang melakukan akad ijarah tersebut.
2.Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan,
sehingga mencegah terjadinya perselisahan,
3. Kegunaannya dari barang
tersebut,
4. Kemanfaatan benda
dibolehkan menurut syara’,
5.Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat
dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita.[10]
b.Menurut
ulama fiqih klasik :
Rukun
:
Menurut ulama Hanafiyah, rukun
ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar,
al-ikhtira’, dan al-ikra. Sedangkan menurut Ibnu Juzay dalam kitabnya
Al-Qowanin Al-Fiqhiyah menerangkan tentang rukun ijarah, yakni : “Ijarah itu diperbolehkan
menurut kesepakatan para ulama, adapun rukun ijarah yakni:
1. Orang yang
menyewa.
2. Orang
Yang menyewakan. Dan disyaratkan bagi keduanya sebagaimana disyaratkan
dalam transaksi jual beli, dan dimakruhkan orang muslim menyewakan kepada orang
kafir.
3. Uang
sewa .
4.
Adanya manfaat dari barang sewa tersebut. [11]
Syarat :
Syarat Ijarah terdiri
empat macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-inqad
(terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah,
dan syarat lazim.
- Syarat Terjadinya Akad (al-inqad)
Syarat in’inqad
(terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
Sebagaimana telah
dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang
melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta
tidak diisyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya
sendiri, akad ijarah anak mumayyiz dipandang sah bila telah diizinkan walinya.[12]
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh
adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah,
tetapi bergantung atas keridaan walinya.[13]
Ulama Hanabilah dan
Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan
berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.[14]
2.
Syarat Pelaksanaan
(an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana,
barang harus dimiliki oleh ‘aqid atas ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad
(ahliah). Dengan demikian ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak
dapat menjadikan adanya ijarah.
3.
Syarat
Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat
berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang
yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad),
yaitu:
a.
‘aqid (orang yang ber
akad)
·
Adanya keridaan dari
kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan
pada firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS.An-Nisa : 29)
Ijarah dapat
dikategorikan jual-beli sebab mengandung unsur pertukaran harta.Syarat ini
berkaitan dengan ‘aqid.
b.
Ma’qud ‘Alaih (barang
yang menjadi objek akad)
·
Bermanfaat dengan
jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud
‘alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid.
Diantaranya cara untuk
mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya,
pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan
atau jasa seseorang.
Ø Penjelasan
manfaat
Penjelasan dilakukan
agar benda yang disewakan benar-benar jelas. Tidak sah mengatakan, “Saya
sewakan salah satu dari rumah ini”.
Ø Penjelasan
waktu
Jumhur ulama tidak
memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan
syarat asalnya masih tetap ada sebab tidak ada dalil yang mengharuskan untuk
membatasinya.[15]
Ulama Hanafiyah tidak
mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah
mensyaratkannya sebab bila tidak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidak
tahuan waktu yang wajib dipenuhi.[16]
Ø Penjelasan
jenis pekerjaan
Penjelasan tentang jenis
pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang untuk bekerja
sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
Ø Penjelasan
waktu kerja
Batasan waktu kerja
sangat bergantung pada pekerjaan dan kesempatan dalam akad.
·
Ma’qud ‘Alaih
(barang) harus dapat memenuhi secara syarat
Dipandang tidak sah
menyewa hewan untuk berbicara dengan anaknnya, sebab hal itu sangat mustahil
atau dipandang tidak sah menyewa seorang perempuan sedang haid untuk
membersihkan masjid sebab diharamkan syara’.
·
Kemanfaatan benda
dibolehkan menurut syara’.
Pemanfaatan barang harus
digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’, seperti menyewakan
rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu dan lain-lain.
Para ulama sepakat
melarang ijarah, baik benda atau pun orang untuk berbuat maksiat atau
berbuat dosa.
·
Tidak menyewa utuk
pekerjaan yang diwajibkan kepadanya.
Diantara contohnya
adalah menyewa orang untuk sholat fardu, puasa dan laian-lain. Juga dilarang
menyewa istri sendiri melayaninya sebab hal itu kewajiban si istri.
·
Tidak mengambil
manfaat bagi diri orang yang disewa
Tidak menyewakan diri
untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk
dirinya. Juga tidak mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti
menggiling gandum dan mengambil bubuknya atau tepungnya untuk dirinya. Hal itu
didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Daruquthri bahwa Rosulullah
Saw melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama’ Syafi’iyah
menyepakatinya. Ulama Hanabilah dan Malikiyah membolehkannya jika
ukurannya jelas sebab hadist diatas dipandang tidak shohih.
- Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa
pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan
manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.
c.
Syarat ujrah (upah)
Para ulama’ telah
menetapkan syarat upah, yaitu:
- Berupa harta tetap yang dapat diketahui
- Tidak boleh sejenis dengan barang dan manfaat dari ijarah.
4. Syarat kelaziman
Syarat kelaziman ijarah
terdiri atas dua hal sebagai berikut:
a. Ma’qud aliahi (
barang sewaan ) terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat
dalam barang sewaan, menyewa boleh memilih antara, meneruskan dengan membayar
penuh atau membatalkannya.
b.
Tidak ada unsur yang dapat membatalkan akad
Ulama hanafiah
berpendapat bahwa ijarah batal karna adanya undzur sebab kebutuhan atau manfaat
akan hilang apabila ada udzur. Udzur yang dimaksud adalah sesuatu yang baru
yang menyebabkan kemudaratan bagi yang akad.
Menurut jumhur ulama’
ijarah adalah akad lazim seperti jual beli. Oleh karna itu, tidak bisa batal
tanpa ada sebab yang membatalkannya. Menurut ulama’ Syafi’iyah, jika tidak ada
udzur tetapi masih memungkinkan untuk mengganti dengan barang yang lain, ijarah
tidak batal tetapi diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika
kemanfaatannya betul-betul hilang, seperti hancurnya rumah yang disewakan.
D. Bentuk – Bentuk
Ijarah
a.Ijarah sederhana
Ijarah adalah akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.[17] Bila digunakan untuk
mendapatkan manfaat barang maka disebut sewa-menyewa. Sedangkan jika digunakan
untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja, disebut upah-mengupah. Sedangkan
akad ju’alah adalah akad ijarah yang pembayarannya didasarkan atas
kinerja objek yang disewa. Pada ijarah, tidak terjadi perpindahan kepemilikan
obyek ijarah. Obyek ijarah tetap menjadi milik yang
menyewakan. Tansaksi ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada
dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak
pada obyek transasksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang,
maka pada ijarah obyek transaksinya dapat berupa barang namun dilandasi dengan
pemindahan manfaat dan dapat pula berupa jasa.
b.Ijarah muntahiya bittamlik
Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah sejenis
perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa
yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan penyewa. Sifat kepemilikan
inilah yang membedakannya dengan ijarah biasa. Dalam ijarah muntahiya bittamlik , pemindahan
hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
a.Pihak
yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir
masa sewa.
b.Pihak
yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada
akhir masa sewa.
Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) di Indonesia di atur
dalam Fatwa DSN 27/DSN-MUI/III/2002: al-Ijarah al-Muntahiyah bi
al-Tamlik, baik rukun dan syarat maupun penyelesaian sengketa IMBT mengikuti peraturan
berlaku pada Fatwa DSN 09/DSN-MUI/IV/2000, ketentuan IMBT yang berbeda dengan
ijarah biasa adalah :
·
Pihak
yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad
Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau
pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
·
Janji
pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد),
yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus
ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
E.Fatwa DSN tentang Ijarah dan IMBT
a.
Fatwa
DSN 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dewan
Syariah Nasional setelah :
Menimbang: a.Bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh manfaat suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri;
b.Bahwa kebutuhan akan ijarah kini dapat dilayani oleh
lembaga keuangan syariah (LKS)
melalui akad pembiayaan ijarah;
c.Bahwa agar akad tersebut sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang akad ijarah untuk dijadikan pedoman
oleh LKS.
Mengingat :
Landasan hukum ( hal 5 )
Memperhatikan : Pendapat
peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Kamis, tanggal 8 Muharram
1421 H./13 April 2000.
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN IJARAH
Pertama : Rukun dan Syarat Ijarah: Lihat hal 7
Kedua : Ketentuan Obyek Ijarah:
1. Obyek
ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat
barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3. Pemenuhan
manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
4. Kesanggupan
memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5. Manfaat
harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan)
yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi
manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga
dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa adalah sesuatu
yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat.
Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa
dalam Ijarah.
8. Pembayaran sewa boleh
berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan
(flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat
dan jarak.
Ketiga : Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan
Ijarah
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi sewa:
a. Menyediakan aset yang disewakan.
b. Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c. Menjaminan bila terdapat cacat pada aset
yang disewakan.
2. Kewajiban nasabah sebagai penyewa:
a. Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk
menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai kontrak.
b. Menanggung biaya pemeliharaan aset yang
sifatnya ringan (tidak materiil).
c. Jika aset yang disewa rusak, bukan karena
pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat : Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.[18]
Ditetapkan di: Jakarta
Tanggal: 8 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M
Tanggal: 8 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M
b.Fatwa DSN
27/DSN-MUI/III/2002: al-Ijarah
al-Muntahiyah bi al-Tamlik
Pertama: Ketentuan Umum:
Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi
al-Tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
- Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
- Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Kedua: Ketentuan tentang al-Ijarah
al-Muntahiyah bi al-Tamlik
- Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
- Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
Ketiga:
- Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
- Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di: Jakarta
Tanggal: 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M
Tanggal: 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M
BAB III
ANALISIS
A. Analisis
Pengertian
Dari berbagai definisi ijarah menurut berbagai pandangan
ulama diatas, baik itu ulama fiqih
klasik maupun kontemporer bahwa pengertian ijarah kurang lebih yaitu ijarah
adalah suatu kegiatan sewa menyewa barang atau upah mengupah jasa untuk
memperoleh manfaat.
B.
Analisis Landasan Hukum
·
Qs.Al-Zukhruf
(43) : 32 :
Ayat ini dijadikan
dasar bahwa pemanfaatan jasa atau skill orang lain adalah suatu keniscayaan
kerena Allah menciptakan makhlukNya dengan potensi yang beraneka ragam agar
mereka saling bermuamalah.
·
QS.Al-Baqarah
(2) : 233 :
Apabila karena sebab kesulitan satu dan lain hal, ibu dan ayah bersepakat untuk anaknya menyusu
dari perempuan lain , maka hal tersebut dibolehkan dengan syarat pemberian
pembayaran yang patut atas manfaat yang diberikan perempuan lain atau Ibu susu
kepada bayi mereka. Kasus penyusuan ini menjadi dasar atas dibolehkannya
mendapatkan pembayaran atas pekerjaan, manfaat atau jasa yang dilakukan kepada
orang lain.
·
QS.Al-Qashash (28) : 26 :
Ayat ini merujuk kepada
keabsahan kontrak ijarah. Ayat ini menggambarkan proses penyewaan jasa
seseorang dan bagaimana pembayaran upah sewa itu dilakukan.
·
Hadits riwayat ibn Majah dari Ibnu Umar
Merupakan dalil lain diperbolehkanya
akad ijarah, Hadits ini memerintahkan kepada penyewa untuk memberikan upah orang
yang disewa sebelum kering keringatnya. Hadits ini memberikan sebuah etika
dalam melakukan akad ijarah, yakni memberikan pembayaran upah secepat mungkin.
Relevansinya dengan praktik kontrak ijarah pada saat sekarang adalah adanya
keharusan untuk melakukan pembayaran uang sesuai dengan kesepakatan / batas
waktu yang telah disepakati.
·
Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id
al-Khudri
Hadits
ini memerintahkan kita untuk mempertegas upah sewa kepada pihak yang kita sewa,
kedua pihak yang bertransaksi harus menjelaskan hak dan kewajiban diantara
keduanya untuk menghindari adanya perselisihan, dan guna memperjelas akad.
·
Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash
Hadits
ini merujuk pada praktek akad ijarah yang dilakukan sahabat dizaman Rasulullah
SAW. Pada awalnya, para sahabt melakukan akad ijarah dengan menyewakan
perkebunan mereka, dengan upah sewa berupa hasil pertanian, kemudian Rasulullah
SAW melarangnya, dan disuruh mengganti upah sewa dengan menggunakan
emas/perak/uang.
·
Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf
Dalam
Hadits ini merujuk kepada kebebasan untuk melakukan transaksi dan
diperbolehkannya menetapkan beberapa syarat dalam transaksi sepanjang syarat
tersebut tidak bertentangan dengan nash syar’i, kedua belah pihak diberikan
kebebasan untuk menentukan syarat-syarat sepanjang tidak melanggar koridor yang
telah disebutkan.
·
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
Ulama pada zaman para
sahabat sepakat akan kebolehan akad ijarah, hal ini didasari pada kebutuhan
masyarakat akan jasa-jasa tertentu seperti halnya kebutuhan akan barang.
·
Kaidah
fiqih
a.Kaidah
ini merujuk kepada prinsip bahwa semua muammalah itu pada dasarnya boleh
kecuali ada dalil yang mengharamkanya. Dengan demikian akad ijarah adalah akad
yang boleh karena tidak bertentangan dengan ketentuan syariah yang manapun
seperti tidak mengandung gharar, dharar, maisyir, riba dan lain-lain.
b. Kaidah
ini merujuk pada prinsip bahwa kita boleh melakukan sesuatu sepanjang tidak
menimbulkan mafsadah (kerusakan/bahaya), dan mampu mendatangkan maslahat. Jika
memang akad ijarah bias mendatangkan maslahat bagi kesejahteraan dan pemenuhan
kebutuhan hidup manusia, dan bisa dihindarkan beberapa hal yang dapat
menimbulkan kerusakan, maka akad ijarah bisa digunakan
C.Analisis rukun dan syarat
Dari
segi rukun dalam pandang ulama fiqih klasik memberikan beberapa hal yang harus
dipenuhi,yaitu menurut hanafiyah harus adanya ijab dan qabul yang didalamnya
terdapat unsur kejelasan mengenai sewa menyewa ,manfaat dari penggunaan asset,
kejelasan pembayaran dan adanya kontrak, kemudian menurut Ibnu juzay dalam
kitabnya menyatakan bahwa rukun yang harus dipenuhi yaitu adanya objek dan
subjek, uang sewa dan manfaat dari barang sewa.
Sedangkan
menurut fatwa DSN tentang rukun ijarah adalah menurut penulis disini rukunnya
kurang lebih saja dengan rukun yang terdapat dalam rukun ulama fiqih klasik,
yaitu adanya ijab dan qabul, pihak-pihak yang ber akad, obyek kontrak, manfaat
dari penggunaan asset dan sighat ijarah, ulama DSN juga berlandaskan Nash dan
merujuk kepada pemikiran ulama klasik tentang rukun ijarah yang relevan dengan
zaman sekarang.
Sedangkan
dari segi syarat menurut pandangan ulama kontemporer yang juga merujuk kepada
syarat ulama fiqih klasik yaitu :
1. Kerelaan dari dua pihak
yang melakukan akad ijarah tersebut (ulama fiqih kontemporer), syarat ini
termasuk syarat al-inqad (terjadinya akad) (ulama fiqih klasik).
2. Mengetahui manfaat
dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya
perselisahan (ulama fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat sah ( ulama
fiqih klasik).
3. Kegunaannya dari barang
tersebut (ulama fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat lazim ( ulama
fiqih klasik).
4. Kemanfaatan benda
dibolehkan menurut syara’(ulama fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat
sah (ulama fiqih klasik).
5. Objek transaksi akad itu
(barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita (ulama
fiqih kontemporer), syarat ini termasuk syarat
sah dan lazim (ulama fiqih klasik).
D.Analisis Bentuk-Bentuk Ijarah
Dizaman Rasul belum dikenal dengan istilah ijarah
muntahiya bittamlik tetapi hanya mengenal ijarah murni (ijarah) yaitu sewa
menyewa yang tidak diikuti oleh pemindahan hak milik. Di zaman sekarang ini
kebutuhan manusia yang semakin bertambah sehingga muncul aqad-aqad baru,
termasuk dalam hal sewa-menyewa.
Karena kebutuhan tersebut, islam memberikan
kebebasan kepada umatnya untuk melakukan modifikasi-modifikasi yang diperlukan
asalkan tidak melanggar prinsip-prinsi dasar muamalah serta membawa
kemaslahatan kepada umatnya. Aqad ijarah berkembang pesat karena kebutuhan
hidup manusia itu sendiri dan tidak semua orang mempunyai rumah, kenderaan,
alat-alat rumah tangga dan lain-lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
tersebut dapat dilakukan dengan cara menyewa kepada orang lain dan berpindah
kepemilikan diakhir akad, karena itulah ijarah mengalami perkembangan dan
inovasi baru dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari berbagai definisi ijarah menurut berbagai pandangan
ulama diatas, baik itu ulama fiqih
klasik maupun kontemporer bahwa pengertian ijarah kurang lebih yaitu ijarah
adalah suatu kegiatan sewa menyewa barang atau upah mengupah jasa untuk
memperoleh manfaat. Landasan
hukum atau rujukan ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma’dan kaidah fiqih .Dari segi rukun dan
syarat pun, rukun dan syarat ulama fiqih kontemporer juga yang terdapat dalam
rukun dan syarat ulama fiqih klasik. Dari segi bentuk-bentuk ijarah, dizaman Rasul belum dikenal dengan istilah ijarah
muntahiya bittamlik tetapi hanya mengenal ijarah murni (ijarah) yaitu sewa
menyewa yang tidak diikuti oleh pemindahan hak milik.
DAFTAR PUSTAKA
Abi
Ishaq Aasy-Syirazi, AL- Muhadzdzab, juz I.
Al-Kasani,
Juz IV.
Al-Qowanin
Al-Fiqhiyah : Ibnu Juzay, Darul Fikr.
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta,
1986.
Ir. Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis
fiqih dan keuangan,
(Jakarta) :2004.
Muhammad Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj Juz II.
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII
Press, Yogyakarta, 2000.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta
:2001, Gema Insani), cet-1.
Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung : PT. AL – Ma’arif, 1987)
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Pena
Pundi Aksara, Jakarta, 2004.
Syafi’i
Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani
Press,2001), hlm, 117.
Syamsuddin
Abu Abdillah, Terjemah FHATHUL QARIB,(Surabaya : CM Grafika, 2010)
Syarh Al-Kabir li
Dardir, juz IV.
http://www.badilag.net/data/FATWAMUIEDIT/9PembiayaanIjarah.htm.diakses pada tanggal 18 mei 2013
[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
13, (Bandung : PT. AL – Ma’arif, 1987) hlm. 7.
[2] Syamsuddin Abu Abdillah, Terjemah
FHATHUL QARIB,(Surabaya : CM Grafika, 2010) hlm. 209.
[3] Sayyid Sabiq, Op.Cit,...hlm.
9.
[4] Muhammad
Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj Juz II, hlm. 332
[5] Idris Ahmad, Fiqh
al-Syafi’iyah, Karya Indah, Jakarta, 1986, hlm. 139
[6] Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Pena Pundi Aksara,
Jakarta, 2004, hlm. 203
[7] Muhammad, Sistem
dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm 34
[8] Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, (Jakarta :2001, Gema
Insani), cet-1, hml. 117
[9] Ir.
Adiwarman A. Karim, SE., M.B.A.,M.A.E.P,bank islam analisis fiqih dan
keuangan, (Jakarta) :2004.
[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
13, (Bandung : PT. AL – Ma’arif, 1987) hlm. 12-13.
[11] Al-Qowanin Al-Fiqhiyah : Ibnu
Juzay, Darul Fikr. Hal : 236
[12] Al-Kasani, Juz IV, hlm.
176
[13] Syarh Al-Kabir li Dardir, juz
IV, hlm.3
[14] Muhammad Asy Syarbini., juz
II, hlm. 332
[15] Muhammas Asy-Syarbini, juz II.
hlm. 349
[16] Abi Ishaq Aasy-Syirazi, AL-
Muhadzdzab, juz I. Hlm 396
[17] Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke
Praktik (Jakarta: Gema Insani Press,2001), hlm, 117.
[18] http://www.badilag.net/data/FATWAMUIEDIT/9PembiayaanIjarah.htm.diakses pada tanggal 18 mei
2013
makasih membantu tugas kuliah kelompok saya
BalasHapus