A.
Manajemen
Pembiayaan
Pembiayaan merupakan aktivitas yang sangat
penting, karena dengan pembiayaan akan diperoleh sumber pendapatan utama dan
menjadi penunjang kelangsungan usaha bank. Sebaliknya, bila pengelolaannya
tidak baik akan menimbulkan permasalahan dan berhentinya usaha bank.
Oleh karena itu diperlukan adanya suatu manajemen pembiayaan
syariah yang baik sehingga penyaluran dana atau dalam hal ini pembiayaan kepada
nasabah bisa efektif dan efisien sesuai dengan tujuan dari perusahaan maupun
syariat Islam itu sendiri.
Secara etimologi manajemen berarti seni
melaksanakan dan mengatur. Adapun Manajemen dalam konteks terminologi
adalah (Ricky W. Griffin) sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals)
secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai
sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada
dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Pembiayaan diartikan sebagai suatu kegiatan pemberian fasilitas
keuangan/finansial yang diberikan satu pihak kepada pihak lain untuk mendukung
kelancaran usaha maupun untuk investasi yang telah direncanakan.
Berdasarkan UU nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, Bank Syariah didefenisikan sebagai Bank yang
menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah.
Manajemen Pembiayaan Bank Syariah adalah sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya yang dilakukan
oleh Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah dalam hal pemberian fasilitas keuangan/finasial yang kepada
pihak lain berdasarkan prinsip-prinsip syariah untuk mendukung kelancaran usaha
maupun untuk investasi yang telah direncanakan
Pembiayaan Berdasarkan Syariah Islam dalam Undang-Undang No. 21
tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 25
mengenai kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh suatu perbankan syariah
disebutkan bahwa penyaluran dana (pembiayaan) yang dapat dilakukan oleh bank
syariah adalah melalui:
1.
Transaksi
berdasarkan prinsif jual beli
2.
Taransaksi
berdasarkan prinsif sewa menyewa
3.
Transakasi
berdasakan prinsif bagi hasil
4.
Transaksi
berdasarkan prinsif jasa.
Transaksi berdasarkan prinsif jasa salah satunya adalah hiwalah
disini penulis akan mengupas tentang pembahasan Hiwalah.
B.
Pengertian
Hiwalah
Kata Hawalah, huruf haa’
dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari
kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul
(perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu
berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar
fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang
lain.
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang
wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari
satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah
pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan
muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
C.
Dasar Hukum
Hiwalah
Islam
membenarkan hiwalah dan membolehkannya karena ia diperlukan. Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
“Menunda-nunda
pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka,
jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan)
kepada pihak yang mampu, terimalah”
(HR. Bukhari).
Pada
hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika
orang yang berhutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya dan
berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia
mengikuti (menagih) kepada orang yang di-hiwalah-kan (muhal ‘alaih),
dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).
Lembaga keuangan
syariah dibolehkan mengoperasikan produk hawalah dengan berbagai
ketentuan. Ulama fiqh menentukan berapa rukun yang harus dipenuhi dalam akad hawalah,
rukun dimaksud adalah; muhil (orang yang berutang dan sekaligus
berpiuatang), muhal /muhtal (orang yang berpiutang kepada muhil),
muhal ‘alaih, (orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang
kepada muhtal), muhal bih ( utang muhil kepada muhtal), dansighat (ijab
dan qabul).
Ulama juga menentukan
beberapa syarat terkait dengan rukun yang telah disebutkan: muhil harus
baliq dan berakal, selain itu juga harus terdapat kerelaan muhil. Jika muhil
dipaksa, maka akad hawalah tidak sah, kerelaan ini disyaratkan mengingat kalau
terjadi Ruju’ (kembali) kepadanya. Muhal harus berakal dan mampu
melakukan transaksi dan dituntut kerelaannya untuk melakukan akad hawalah.
Selain itu, juga harus terdapat qabul dari muhal pada majlis akad hawalah, jika
seandainya muhal tidak berada dalam majlis akad, kemudian berita akad itu
sampai kepadanya, walaupun iya membolehkannya, akad itu tetap tidak sah, karena
ucapan kabul dari muhal merupakan salah satu rukun hawalah. Muhal bih harus berupa utang, yakni hutang muhal ‘alaih
kepada muhil. Utang tersebut merupakan suatu yang mengikat (lazim).
Keterkaitanya dengan
ketentuan perbankan adalah akad hawalah ditetapkan untuk perbankan syariah
melalui surat keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank
Umum berdasarkan prinsif syariah. Ketentuan umum akad Hawalah dalam Bank
Syariah untuk akad hawalah yang diterapkan dalam operasional Bank syariah,
terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan. Ketentuan tersebut dirasa
sudah cukup jelas.
D.
Berakhirnya
Hiwalah
Apabila kontrak hiwalah telah
terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhal’alaih bangkrut
(pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak
boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki,
jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan
kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh
kembali lagi menagih hutang kepada muhil.
Menurut pendapat Mazhab
Syafi’iah. Konsekuensi hukum hawalah adalah berpindahnya kewajiban (membayar
utang). Dari muhil kepada muhal ‘alaih dalam bentuk lepasnya tanggung jawab
muhi untuk membayar utang. Pada saat itu juga, akad hiwalah berakhir. Tidak ada
hubungan apapun lagi antara muhil dan muhal. Yang tersisa hanyalah hubungan
antara muhal dengan muhal ‘alaih. Muhal pun tidak berhak lagi untuk menagih
kepada muhil, bahkan sekalipun muhal ‘alaih tidak membayar padanya karena suatu
sebab. Misalnya, muhal ‘alaih bangkrut atau mengingkari utang tersebut. Hal
tersebut disebabkan kewajiban (membayar utang) sudah berpindah dengan akad hawalah
dari tempatnya yang pertama ke tempat yang lain. Sesuatu yang sudah berpindah
dari tempatnya tidak akan kembali ke tempat semula, kecuali dengan akad perpindahan
yang baru lagi.
Menurut pendapat Mazhab Hanafiah. Jika muhal sulit memperoleh
pembayaran dari muhal ‘alaih karena sebab yang jelas, ia berhak kembali menagih
utang tersebut kepada muhil. Dengan demikian, akad hawalah berakhir.
Menurut Abu Hanifah, sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Muhal ‘alaih meninggal dalam keadaan bangkrut
2. Muhal ‘alaih mengingkari akad hawalah sampai berani bersumpah
akan hal itu. Ditambah lagi, muhal dan muil tidak memiliki bukti tentang adanya
akad hawalah tersebut
3. Pengikut Abu Hanifah menambahkan sebab yang ketiga, yaitu hakim memutuskan
bahwa muhal ‘alaih bankrut pada masa hidupnya. Dalil mereka mengenai hal ini
adalah bahwa muhal sudah tidak akan mungkin memperoleh haknya dari muhal ‘alaih
dalam situasi semacam ini. Tambahan lagi, terbebasnya muhil dari kewajiban
membayar utang. Terikat dengan
terpeliharanya hal muhal.
E.
Fatwa DSN
Tentang Hiwalah
Seiring dengan berkembangnya
institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula
dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah
Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu,
Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No:
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah disebutkan bahwa pernyataan ijab dan
qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka
dalam mengadakan kontrak (akad).
Dalam perniagaan, terkadang pembayaran atas suatu
transaksi tidak dilakukan secara tunai, namun dengan adanya tempo waktu
tertentu. Disisi lain pihak yang melakukan penjualan atau pengiriman barang
membutuhkan uang tunai dengan segera, guna memutar dan menjalankan perniagaan
kembali. Peluang ini dapat dibaca oleh pihak perbankan dengan menwarkan jasa factoring/
anjak piutang, kepada pihak ketiga
memindahkan piutang itu kepada bank, pihak bank lalu membayar piutang tersebut,
dan selanjutnya bank akan mengalihkan kepada pihak ketiga.
Melihat praktek tersebut, factoring identik dengan konsep hawalah dengan term
fiqih. Secara linguistik, hawalah berarti memindahkan, perpindahan. Secara
istilah, hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya, dalam istilah para ulama, hal ini merupakan
pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang ) menjadi tanggungan
muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
Dalam operasional bank, hawalah adalah pemindahan
utang piutang seorang nasabah (muhil) kepada pihak bank (muhal ‘alaih) dari seorang nasabah yang lain (muhal).
Hawalah terjadi ketika nasabah pertama (muhil) meminta pihak bank (muhal
ilaih) untuk membayarkan terlebih
dahulu piutang yang timbul dari jual belinya. Pada saat piutang tersebut jatuh
tempo, nasabah yang berutang (muhal) akan membayar utangnya kepada pihak bank,
bukan kepada nasabah pertama. Sedangkan, pihak bank (muhal ilaih) akan
memproleh imbalan (fee) sebagai jasa pemindahan piutang ini melihat praktek
ini, Dewan Syariah Nasional merasa perlu untuk menetapkan Fatwa agar praktek
tersebut sesuai dengan ketentuan syariah, dan sekaligus dapat dijadikan pedoman
bagi lembaga keuangan syariah dalam menjalankan operasionalnya.
F.
Jenis – Jenis
Hiwalah
Akad Hiwalah, dalam
praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah
berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun Hiwalahnya.
Kelompok pertama yang berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah,
yaitu Hiwalah Dayn dan Hiwalah Haqq. Hiwalah Dayn adalah
pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Sedangkan Hiwalah
Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.[
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana
melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita memandangnya sebagai
pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya
sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring)
yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah
Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
Dan Menurut hadist riwayat
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
Kelompok kedua yaitu Hiwalah yang
berdasarkan rukun Hiwalah, terdiri dari Hiwalah Muqayyadah dan Hiwalah
Muthlaqah. Hiwalah Muqayyadah adalah Hiwalah yang terjadi
dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal Alaih,
dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya. Maka dalam rukun Hiwalah,
terdapat Muhal bih 2.
Hiwalah Muthlaqah adalah Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya
kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya,
karena memang hutang muhal alaih tidak pernah ada padanya. Dengan
demikian, Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada
praktik Perbankan, dimana tidak ada hutang muhal alaih kepadanya
sehingga didalam rukun hiwalahnya, tidak terdapat Muhal bih 2.
G.
Aplikasi
Hiwalah Dalam Intitusi Keuangan
Dalam
praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu
supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank
mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko
kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak
yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan
yang berutang.
Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik
proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan
likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan
menerima pembayaran dari pemilik proyek. Proses penagihan hutangnya dapat dilihat dalam flowchart
berikut:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
Dan
menurut Ijma para Ulama, akad hiwalah telah disepakati boleh
untuk dilakukan. Hal ini didasari kepada kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
H.
Rukun dan
Syarat-Syarat dalam Hiwalah
Dalam
hal ini, rukun akad hiwalah adalah muhil, yakni orang yang
berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal , yakni orang berpiutang
kepada muhil. Dan muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada
muhil dan wajib membayar hutang kepada muhal, muhal bih 1, yakni
hutang muhil kepada muhal, dan juga muhal bih 2 sebagai
hutang muhal alaih kepada muhil dan rukun terakhir adalah sighat
(ijab-qabul),
Untuk
sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut:
pertama,
relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal ‘alaih berdasarkan
dalil kepada hadis di atas. Rasulullah
SAW telah menyebutkan kedua belah pihak, karenanya muhil yang berhutang
berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan
keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil,
maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya.
Kedua,
samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta
mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang berbentuk
emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya.
Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah-kan untuk
dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang
mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.
Ketiga,
stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai yang gajinya
belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah.
Keempat,
kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah,
dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal
‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak
boleh lagi kembali kepada muhil. Demikianlah menurut pendapat jumhur (kebanyakan)
ulama.
Berikut adalah proses dalam akad Hiwalah berdasarkan
definisinya:
Saat ini, akad hiwalah juga dapat
diaplikasikan di Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti anjak piutang maupun debt
transfer. BMT BIF Gedongkuning sebagai salah satu Lembaga Keuangan Syari’ah
juga menggunakan akad hiwalah sebagai salah satu produk pembiayaan. Akad
hiwalah digunakan jika anggota mengajukan pinjaman untuk keperluan
membayar biaya Rumah Sakit, sekolah atau membayar hutang anggota di pihak lain
yang hampir jatuh tempo. Dalam pelaksanaan akad hiwalah tersebut, BMT
BIF Gedongkuning mengenakan fee.
Namun,
dalam prakteknya di BMT BIF Gedongkuning hanya dilakukan oleh dua pihak yaitu
pihak BMT BIF dan pihak anggota, sehingga jika dilihat, praktek tersebut hampir
sama dengan akad al-Qard (hutang piutang).
Setelah melakukan penelitian di BMT BIF
Gedongkuning Yogyakarta tentang praktek hiwalah, dapat diambil
kesimpulan antara lain: dari segi subyek, akad hiwalah di BMT BIF
Gedongkuning adalah sah. Dimana anggota sebagai muhil, pihak lain (Rumah
Sakit, sekolah atau person) adalah muhal, BMT BIF Gedongkuning adalah muhal
‘alaih. Dari segi sigah, tidak sah karena salah satu dari tiga pihak
tidak mengetahui adanya akad hiwalah.
Dengan
melihat berbagai transaksi modern saat ini yang menggunakan akad Hiwalah,
ditemukan bahwa telah terjadi perubahan model dalam proses akad Hiwalah.
Dimana pada model klasik berdasarkan definisi, Muhil menjadi hilang
tanggung jawab hutangnya karena muhal ’alaih yang meneruskan hutang muhil
kepada Muhal karena Muhal ’alaih telah memiliki hutang kepada
muhil sebelumnya.
Namun
dalam model moderen saat ini, Muhil masih bertanggungjawab
terhadap hutangnya. Hanya pihak piutangnya saja yang berpindah dari muhal ke
muhal ’alaih.
Kemudian
contoh yang lain adalah dalam praktek Credit Card, istilah yang pas
(sesuai) adalah hiwalah haqq, karena terjadi perpindahan menuntut
tagihan (piutang) dari nasabah kepada bank oleh merchant. Contoh
ini pun sama dengan contoh BMT, dimana dari segi sigah, transaksi ini
tidak sah dikarenakan salah satu dari tiga pihak tidak mengetahui adanya akad hiwalah.
DAFTAR PUSTAKA
Kamil, Ahmad & M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum dan
Ekonomi Syariah, (2007: Kencana Prenada Media Grop, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar